Agar Sepak Bola Wanita Indonesia Tidak Begini-begini Saja

11 Maret 2019 16:06 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Zahra Muzdalifah di AIA Championship 2019. Foto: Ahmad Fuad Sufyan/The Footballicious
zoom-in-whitePerbesar
Zahra Muzdalifah di AIA Championship 2019. Foto: Ahmad Fuad Sufyan/The Footballicious
ADVERTISEMENT
Bagi sepak bola wanita Indonesia, setiap hari adalah hari rindu. Rindu untuk bertanding, rindu untuk diperhitungkan, rindu untuk punya ruang di negeri ini.
ADVERTISEMENT
Wanita-wanita yang berlaga di atas lapangan hijau itu ibarat manusia nomad. Bertanding dari satu kompetisi independen ke kompetisi lain tanpa ada gelaran liga.
Begitu ajang internasional datang, mereka dikumpulkan menjadi satu, digenjot dengan cepat untuk merengkuh gelar juara. Tapi yang dibutuhkan sepak bola wanita bukan lesakan yang kepalang cepat. Mereka butuh dibentuk, dirawat, dan bertumbuh dengan cara yang tepat.
Dhanielle Daphne, pemain Tim Drupadi di AIA Championship 2019. Foto: Marini Saragih/kumparan
Dhanielle Daphne yang ikut bertanding sebagai wakil Indonesia di AIA Championship 2019, bertemu dengan sepak bola pertamanya dengan cara yang sederhana. Menurut perempuan berusia 18 tahun ini, perkenalannya dengan sepak bola dimulai dari Piala Dunia 2006.
Awalnya ia tak paham mengapa orang-orang di rumahnya rela memangkas jam tidur hanya untuk bersorak-sorak di depan televisi. Tapi, cinta itu memang persoalan yang embuh-embuhan. Tahu-tahu dengan mantap ia menyatakan bahwa sepak bola adalah cinta pertamanya.
ADVERTISEMENT
“Buat saya dan teman-teman, sepak bola itu cinta pertama. Awalnya karena penasaran sama orang rumah, saya jadi coba-coba tonton video sepak bola. Ya, macam-macam. Pastinya (David) Beckham. Terus (Zinedine) Zidane, Pele, (Diego Armando) Maradona. Dari situ saya tertarik dan sampai minta bola, terus coba-coba main sendiri. Jadinya otodidak gitu ‘kan," jelas Dhanielle.
“Nah, dari situ saya minta ke orang tua untuk main sepak bola. Tapi, mereka melarang. Ya, alasannya stigma seperti: Perempuan main bola, ‘kan kayak enggak banget.”
Dhanielle Daphne, pemain Tim Drupadi di AIA Championship 2019. Foto: Marini Saragih/kumparan
“Sampai akhirnya diizinkan untuk ikut ekskul di sekolah. Baru ikut, sama gurunya langsung dimasukkan ke tim utama karena katanya punya bakat. Dari situ, jadi makin ingin main di lapangan besar. Jadi, panjang banget ceritanya. Baru dikasih izin main bola waktu umur 9 atau 10 tahun.”
ADVERTISEMENT
“Waktu itu saya mau cari SSB yang ada (tim) putrinya. Sudah keliling Jakarta, tapi tidak ada satupun. Ya sudah, akhirnya masuk ke SSB GMSB (Kuningan, Jakarta Selatan). Di sana juga putra semua, saya putri sendiri. Awalnya pelatih-pelatih juga ada yang meremehkan, bahkan saya dimasukkan ke tim yang umurnya lebih kecil. ‘Kan sebel banget," tambah Dhanielle.
Tim Drupadi di laga semifinal AIA Championship 2019. Foto: Ahmad Fuad Sufyan/The Footballicious
Lapangan bola selalu menawarkan banyak pilihan bagi siapa pun untuk membalas perlakuan tak sedap. Mereka yang diremehkan dipersilakan untuk memberontak. Mereka yang dicaci dibukakan pintu untuk menjadi bengal.
Tapi, Dhanielle memilih cara yang elegan. Segala anggapan remeh itu dijawabnya dengan kelolosan ke Timnas U-12 Indonesia. Dalam wawancaranya ia menjelaskan, waktu itu ia terpilih ke 24 besar dari 800 anak. Tapi serupa pengalaman pertamanya di SSB, ia menjadi perempuan satu-satunya.
ADVERTISEMENT
Kabar baiknya, itu tak menjadi kelolosan terakhir Dhanielle di level internasional. Ia pun terpilih dalam skuat Timnas Wanita Indonesia yang berlaga di Asian Games 2018. Jalan Timnas Wanita memang tak panjang di rumah sendiri karena langkah mereka terhenti di fase grup.
Dua tim sepak bola wanita Indonesia di Regional AIA Championship 2019, Drupadi dan Anjani. Foto: Ahmad Fuad Sufyan/The Footballicious
Pembinaan memang menjadi salah satu persoalan mengapa sepak bola wanita Indonesia tenggelam. Menurut pelatih tim sepak bola wanita yang berlaga di AIA Championship 2019, Andre Picessa Pratama, salah satu persoalan yang ada di sepak bola wanita mirip dengan persoalan akar rumput (grassroot): logika kepelatihan yang terbalik.
“Ada tiga hal yang tidak dimiliki sepak bola wanita di Indonesia. Pertama, database pemain usia enam hingga 40 tahun. Kedua, sarana dan prasarana, termasuk kompetisi. Ketiga, pelatih berkualitas yang berlisensi,” jelas Andre.
ADVERTISEMENT
“Di Indonesia, pelatih yang berlisensi AFC Pro cuma ada 20-an orang. Di luar negeri bisa ratusan. Pelatih berlisensi tinggi, yang punya pengetahuan sepak bola mumpuni, seharusnya melatih grassroot. Kalau kita terbalik. Baru punya lisensi D malah melatih grassroot. Seharusnya yang melatih grassroot itu pelatih-pelatih berlisensi tinggi supaya tidak salah.”
“Apalagi, teknik dasar malah dilatih di sekolah, bukannya SSB. Kalau seperti ini 'kan setiap pelatnas harus latihan teknik dasar lagi. Seharusnya kalau sudah masuk pelatnas tidak perlu latihan teknik dasar, tapi sudah masuk taktik dan strategi,” ucap Andre.
Andre Picessa Pratama, pelatih tim sepak bola wanita Indonesia di AIA Championship 2019. Foto: Marini Saragih/kumparan
Itu baru persoalan pembinaan. Masalah yang tak kalah serius adalah ketiadaan kompetisi. Bagi para pesepak bola, kompetisi adalah ruang untuk bertumbuh. Logikanya, kalaupun mereka memiliki bakat dan rajin latihan, apa gunanya tanpa kompetisi?
ADVERTISEMENT
Berangkat dari situ tak mengherankan bila Timnas Wanita hanya dipersiapkan jelang multiajang seperti Asian Games atau kompetisi selevel Piala AFF. Karena ketiadaan kompetisi, banyak pesepak bola wanita yang beralih menjadi pemain futsal. Situasi Timnas Wanita bertambah pelik karena skuat merupakan hasil kawin silang antara sepak bola dan futsal.
“Persoalan kita, di sini tidak ada liga. Kalau mau sepak bola wanita kita maju, bagaimana caranya harus punya kejuaraan. Oke, katakan saja untuk pertama kali tidak usah turnamen jangka panjang. Minimal Liga 1 punya kejuaraan, yang katakanlah, di satu atau dua tempat seperti Jakarta dan Bandung dengan sistem turnamen. Tapi kita tetap bisa melihat bakat-bakat terbaik,” jelas Andre.
Tim Drupadi melangkah ke final AIA Championship 2019, London is calling!! Foto: Ahmad Fuad Sufyan/The Footballicious.
“Karena sampai kemarin (Asian Games 2018) pun, Om Satia Bagja mengambil pemain-pemain dari Timnas Futsal. Kebetulan saya yang menangani mereka. Bahkan saya membawa beberapa pemain untuk seleksi di Timnas Nasional. Sementara, teknik dasar sepak bola dan futsal itu berbeda jauh. Ini kendala. Kalaupun kemarin gagal, saya tidak menyalahkan Om Satia Bagja. Yang saya sayangkan, federasi kita tidak punya inisiatif untuk mengadakan kejuaraan wanita,” jelas Andre.
ADVERTISEMENT
Berhitung mundur, ranah sepak bola Indonesia pernah memberikan ruang bagi sepak bola wanita. Sejak akhir 1960-an, klub-klub sepak bola wanita menjadi penanda bahwa selalu ada tempat bagi wanita di atas lapangan bola Indonesia.
Bahkan pada 1970-an, klub-klub putri yang ada saling adu kuat lewat berbagai kompetisi yang ada. Baru pada 1981 mereka bersaing di bawah payung PSSI lewat Piala Kartini dan Invitasi Galanita 1982. Buana Putri dan Putri Priangan menjadi dua raksasa yang acap bertarung berebut gelar dalam rivalitas tinggi.
Tim Anjani di AIA Championship 2019. Foto: Ahmad Fuad Sufyan/The Footballicious
Sementara di level internasional, Timnas Wanita sudah mengukir prestasi jauh sebelum Galanita ada. Dalam debutnya, Piala Asia Wanita 1977 di Taiwan, Timnas Wanita berhasil sampai ke semifinal.
ADVERTISEMENT
Peringkat keempat juga berhasil direngkuh kembali pada gelaran Piala Asia 1986. Lantas bila bicara ASEAN Women's Championship (cikal-bakal Piala AFF Wanita), Indonesia menjadi runner up pada 1982 dan 1985.
Di turnamen segitiga Indonesia-Malaysia-Singapura 1979, Timnas Wanita pun berhasil menjadi juara. Sayangnya, sejak 1989 Indonesia tak pernah lagi ikut serta dalam Piala Asia Wanita. Bahkan di ajang SEA Games, Indonesia terakhir kali mengirim skuat wanita pada 2005.
Menyelisik ulang, Timnas Wanita berhasil mengalahkan Jepang dengan skor 1-0 di Piala Asia Wanita pada 1977. Namun pada 2013, Jepang sudah berhasil menjadi juara. Itu artinya, saat sepak bola wanita negara lain maju, Indonesia justru mandek.
Lizettia, penggawa Anjani, di semifinal fase Plate Regional AIA Championship 2019. Foto: Ahmad Fuad Sufyan/The Footballicious
Menjadi dewasa di ranah sepak bola Indonesia kelewat mengerikan. Usia dewasa memang tak ada sangkut pautnya dengan kedewasaan. Selama bertahun-tahun, menjadi dewasa di sini berarti menghadapi sistem yang carut-marut, manajemen yang asal-asalan, skandal-skandal tak perlu, dan hal-hal tak sedap lainnya.
ADVERTISEMENT
Lizzetia Awani, pemain Anjani yang merengkuh gelar juara Liga Futsal Nusantara Jawa Barat 2018 bersama Football Plus, ikut menyadari bahwa cita-cita untuk menjadi pesepak bola wanita profesional di Indonesia mirip dengan meletakkan harapan di atas ketidakpastian.
Masalahnya, ya, ketiadaan liga itu tadi. Menurut Lizzetia, liga seharusnya dirawat sebagai wadah agar sepak bola wanita tetap hidup di Indonesia walaupun tetap ada kesempatan-kesempatan lain yang bisa diambil di ranah ini.
“Kalau untuk berkarier (sebagai pesepak bola profesional), sih, lumayan susah. Tapi, sepertinya tetap ada banyak jalan buat ke depan yang bisa ditemui dari sepak bola.”
Tim Anjani (kiri) di AIA Championship 2019. Foto: Ahmad Fuad Sufyan/Dok.Footballicious-AIA
Lizzetia mungkin tidak berlagak tegar. Segala pengalaman yang didapatnya di lapangan hijau bisa digunakannya sebagai bekal untuk mulai menjalani hidup sebagai profesional di bidang lain.
ADVERTISEMENT
Kalaupun tidak menjadi pemain, ia masih bisa berharap menjadi pelatih. Meskipun tidak bisa melakoni kehidupan profesional sebagai pegiat lapangan hijau bukannya tidak mungkin prestasi dan pengalamannya sebagai pesepak bola bisa mengantarkannya pada pintu yang lain--beasiswa, contohnya.
Hanya, tidak ada yang bisa menampik bahwa menjadi pesepak bola profesional selalu menjadi asa yang diperam oleh mereka yang jatuh-bangun di atas lapangan hijau.
Firman Utina, penggawa Yudistira, di laga babak grup fase regional AIA Championship 2019. Foto: Ahmad Fuad Sufyan/The Footballicious
Firman Utina yang kini menjabat sebagai Presiden Asosiasi Pesepak Bola Profesional (APPI) pun tidak menyangkal bahwa Indonesia belum memberikan tempat yang layak bagi para wanita yang berupaya mendobrak pagar stigma sepak bola cuma untuk laki-laki.
Menurut Firman, berharap pada federasi serupa upaya menjaring angin. Ia meyakini bahwa kompetisi sepak bola wanita harus mulai dikerjakan secara independen.
ADVERTISEMENT
Yang harus diperhatikan, menghidupkan kompetisi tidak bisa dilakukan secara sporadis. Sepak bola wanita yang dikungkung memang harus melawan. Tapi, perlawanan tanpa arah yang jelas sama dengan melepaskan rangkaian tembakan tidak tepat sasaran di sepanjang laga.
Upaya seperti ini bukannya tidak mungkin membuahkan gol. Tapi, bukankah lebih baik jika serangan dibangun di atas visi yang jernih dan dengan arah yang terukur?
ADVERTISEMENT
“Mengelola sepak bola wanita itu harus sama dengan mengelola grassroot. Kalau bicara liga, kita jangan bicara PSSI karena mereka cuma memikirkan apa yang bisa mereka dapat. Kalau kita bicara liga, mereka pasti berpikir, memangnya liga perempuan bisa dijual?” ujar Firman kepada para pewarta.
“Yang terpenting, kesadaran kita dulu. Di akademi saya, ada dua anak perempuan. Usia mereka sudah 13 tahun dan saya bingung mereka harus dibawa ke mana. Usia seperti mereka seharusnya sudah dipisah, mereka harusnya punya wadah sendiri,” jelas Firman.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya kendala Firman itu bukannya tak memiliki solusi sama sekali. Sesuai metode kepelatihan yang ada, mereka bisa diturunkan dulu ke level usia setahun lebih muda. Tapi, itu benar-benar solusi jangka pendek. Yang diinginkan Firman dan seharusnya menjadi perhatian pegiat sepak bola Tanah Air adalah mencari dan mengerjakan solusi jangka panjang.
Berpindah ke Jepang, negeri ini punya cara yang unik untuk mencetak talenta-talenta olahraga. Ambil contoh dalam sepak bola. Jepang mencanangkan 'J-League 100 Years Plan' sebagai langkah untuk menjuarai Piala Dunia pada 2092.
Nindy San, penggawa Anjani, di laga melawan Thailand. Foto: Ahmad Fuad Sufyan/The Footballicious
Program-program ini dicanangkan sejak 1992. Artinya, Jepang menilai bahwa 100 tahun sebagai rentang waktu yang paling tepat untuk mereka jika ingin menjuarai kompetisi sepak bola tertinggi itu.
ADVERTISEMENT
Apa yang dilakukan Jepang mempertegas adagium bahwa cepat tidak sama dengan instan. Cepat di sini tidak berbicara soal mendapatkan hasil dalam waktu cepat--walau siapa yang tidak ingin--tetapi memulai segala sesuatunya dengan cepat.
Jepang memulai rencana jangka panjangnya dengan menumbuhkan kesenangan. Tetapi saat kesenangan itu mulai tumbuh, mereka tidak berhenti pada kesenangan.
Begitu pula yang mereka kerjakan di tenis. Sejak 2012, Asosiasi Tenis Jepang (JTA) bekerja merombak ranah tenis. Salah satu programnya adalah mempromosikan tenis sebagai olahraga jangka panjang, olahraga kompetitif, dan olahraga yang menarik untuk ditonton.
Itu artinya, Jepang juga membentuk masyarakat yang suka bermain dan menonton tenis, selain mencetak para atlet dan mengejar gelar juara. Seiring dengan meningkatnya kegemaran akan tenis, fasilitas dan metode kepelatihan pun bertambah.
ADVERTISEMENT
Kapten Tim Drupadi, Zahra Muzdalifah (kostum putih-ungu), di AIA Championship 2019. Foto: Ahmad Fuad Sufyan/Dok.Footballicious-AIA
Naomi Osaka yang merengkuh dua gelar Grand Slam di nomor tunggal putri itu menjadi bukti. Osaka bahkan menjadi petenis Asia pertama--baik wanita maupun pria--yang duduk di peringkat satu dunia.
Apa yang dilakukan Jepang juga bisa dilakukan di sepak bola wanita. Menurut Firman, ketimbang berteriak-teriak kepada federasi, lebih baik memulainya dengan memperkenalkan sepak bola wanita. Tidak perlu jauh-jauh dulu. Orang tua dijadikan sebagai sasaran pertama pemahaman ini.
Stigma bahwa sepak bola bukan olahraga wanita juga berkembang dalam benak orang-orang terdekat si pemain. Itulah yang pertama kali harus diubah. Bahwa lewat sepak bola, wanita-wanita Indonesia bisa memiliki hidup yang keren.
Laga Tim Anjani melawan wakil Thailand. Foto: Ahmad Fuad Sufyan/The Footballicious
“Pemaparan (pengenalan akan sepak bola wanita) ini bisa menjadi awal. Pemaparan ini harus dimengerti oleh orang tua. Pokoknya, supaya para orang tua bisa percaya pada sepak bola wanita," jelas Firman.
ADVERTISEMENT
“Setelahnya, kita harus cari dan kumpulkan putri-putri ini dulu. Kita bangun komunitas untuk mereka, kita rangkul, kita pisahkan mereka dulu. Kalau tunggu bola (inisiatif federasi) tidak akan jalan. Caranya, ya, kita mulai saja dari festival (secara mandiri)," jelas mantan penggawa Persib Bandung ini.
Intan Nur Aini, penggawa Drupadi, di AIA Championship 2019. Foto: Ahmad Fuad Sufyan/The Footballicious
Tidak ada liga tidak sama dengan kematian sepak bola wanita. AIA Championship 2019 menjadi bukti. Pada gelarannya yang keempat, kategori AIA Championship for Women menjadi menu baru. Jadi, sebelum berlaga di putaran final di London pada 9-13 Mei 2019, mereka harus bertanding dulu di fase regional yang digelar di Bangkok pada 7-8 Maret 2019.
Nah, untuk mendapatkan tim wanita yang bertanding di Bangkok, AIA Championship dimulai dengan seleksi tim sepak bola wanita di Jakarta pada Januari 2019. Dari situ dipilih 16 orang yang akan dibagi ke dalam dua tim wanita wakil Indonesia untuk berduel di fase regional.
ADVERTISEMENT
“Pertama kali kategori wanita digelar, ada 16 tim yang berpartisipasi. Menariknya, tim-tim ini tidak hanya dari Jakarta, tapi juga dari luar kota seperti Cilacap, bahkan Lampung. Dari sini kami menarik kesimpulan, mencari tim sepak bola wanita di Indonesia itu tidak sesusah yang dibayangkan,” jelas Kathryn Monika Parapak, Head of Brand and Communication AIA.
Kathryn Parapak, Head of Brand and Communication AIA. Foto: Marini Saragih/kumparan
Segala upaya yang dikerjakan tidak sia-sia walaupun harus dibayar mahal oleh para pelakonnya. Salah satu pemain yang terpilih, Nindy Santrika, bahkan harus menempuh perjalanan selama delapan sampai sembilan jam dari Cilacap untuk berlatih sekali sepekan di Jakarta.
Tapi, segala upaya yang mereka lakukan tidak berujung buntung. Indonesia berhasil membentuk dua wakil, Anjani dan Drupadi, di fase regional AIA Championship 2019.
ADVERTISEMENT
Hasilnya pun manis. Drupadi menjejak ke putaran final usai mengalahkan wakil China 2-1 pada Jumat (8/3/2019). Itu artinya, mereka akan bertarung di Enfield Training Centre, arena latihan Tottenham Hotspur, demi merengkuh mahkota juara.
Suporter Anjani merayakan gol Nindy San di semifinal fase Plate regional AIA Championship 2019. Foto: Ahmad Fuad Sufyan/The Footballicious
Keberadaan stakeholder yang berkomitmen untuk terlibat dalam pembinaan sepak bola juga menjadi kunci. Slogan sepak bola urusan kita akan menjadi gaung emosional yang lama-lama hilang jika perhatian hanya tertuju pada level teratas. Mereka yang masih ada di dasar dan masih menapak juga pantas buat diberi perhatian.
Liga Topskor (U-14) dan Liga Kompas Gramedia (U-15) bisa dijadikan contoh. Bergulir tanpa campur tangan federasi, dua kompetisi ini justru mencetak bakat-bakat muda yang menjadi andalan Timnas kelompok umur.
ADVERTISEMENT
Menurut Firman, tidak akan ada gelar juara Piala AFF U-19 dan Piala AFF U-22 yang diraih Indonesia tanpa keberadaan kompetisi macam ini. Maka perlakuan serupa juga bisa dilakukan untuk sepak bola wanita.
“Saya kaget ada banyak pemain sepak bola wanita di sini. Mereka mainnya juga bagus-bagus. Jangan dulu bicara ke PSSI, pokoknya buat saja dulu kompetisi khusus putri supaya ada wadah untuk mengeluarkan bakat, kecintaan, dan keinginan putri-putri kita ini berlatih sepak bola,” jelas Firman.
Drupadi merayakan kemenangan di semifinal AIA Championship 2019. Foto: Ahmad Fuad Sufyan/The Footballicious
“Begitu ada banyak festival, otomatis mereka ikut. Orang tua juga ikut senang, bangga lihat anak-anaknya. Dengan kita bangun lebih dulu, saya rasa PSSI bisa menerima bahwa ini hal yang baik yang harus mereka perhatikan juga. PSSI 'kan hanya mau menerima yang terbaik. Kalau akhirnya mereka mengaku-ngaku mereka yang membuat, ya, tidak masalah. Yang penting kita membentuk,” tegas Firman.
ADVERTISEMENT
Negeri ini adalah rumah bagi para penggila dan pencinta sepak bola. Nama-nama besar lahir di atas lapangan hijau, gelar juara muncul walau jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari. Nama-nama muda yang menjejak ke Eropa bergelimang lampu sorot, digadang-gadangkan sebagai the next entah siapa yang kini dikenal sebagai para pesohor.
Mereka yang disangka ada di titik nadir tak jarang menggeliat tanpa suara. Tahu-tahu kita akan menyadari bahwa sebenarnya mereka tak pernah mati.
Wanita-wanita di lapangan bola Indonesia menapak jalan sunyi. Mereka melangkah tanpa gembar-gembor nama besar dan elu-elu.
Tapi, terkadang pendakian memang lebih baik dilakukan dalam sunyi. Hingga akhirnya yang lain terdiam, mendengar wanita-wanita ini berteriak lantang di atas puncak gunung prestasi.
ADVERTISEMENT