Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0

ADVERTISEMENT
Burj Khalifa menancap gagah di tanah Dubai, Uni Emirat Arab (UEA).
ADVERTISEMENT
Ketinggiannya mencengangkan: Nyaris satu kilometer dengan 160 lantai yang bisa dihuni. Tak heran jika Burj Khalifa mendapat status sebagai bangunan tertinggi yang pernah ada di dunia.
Biaya yang dibutuhkan untuk membangunnya juga tak kalah hebat, 1,5 miliar USD. Namun, angka tersebut rasanya jadi terkesan biasa saja sebab di sini kita membicarakan salah satu negara terkaya di dunia: Uni Emirat Arab.
Sebagai negara dengan kekayaan minyak serta gas bumi yang melimpahnya minta ampun, bukan rahasia lagi bila aspek ekonomi menjadi andalan UEA untuk mengembangkan atau sekadar menampakkan diri ke permukaan. Sepak bola pun tak terkecuali dan ini sudah berlangsung sejak dulu.
Pada 1990 ketika UEA menembus Piala Dunia untuk kali pertama, Presiden Federasi Sepak Bola UEA saat itu, Sheikh Hamdan Bin Rashid Al Maktoum, menjanjikan bonus uang yang sangat besar bagi para pemain. Tentu saja ada syarat yang mesti dipenuhi.
ADVERTISEMENT
Namun, Sheikh Hamdan tak muluk-muluk. Ia tahu bahwa tim sepak bola UEA baru saja merangkak. Di sisi lain, mereka juga tergabung di grup yang amat berat.
Ada Jerman Barat dan Yugoslavia yang menjadi kekuatan sepak bola masa itu. Ada pula pendatang baru bernama Kolombia.
Maka, syarat yang kemudian diberikan relatif gampang. Mereka harus mendapatkan setidaknya satu poin pada gelaran tersebut.
Bonus itu pada akhirnya tak diberikan. UEA gagal mendapat satu poin pun. Mereka kalah 0-2 dari Kolombia, dihajar 1-5 oleh Jerman Barat, dan takluk 1-4 dari Yugoslavia.
Meski demikian, keinginan untuk memberi bonus tadi sudah cukup untuk menjadi bukti bahwa lewat keuangannya, UEA menaruh minat yang besar pada perkembangan sepak bola.
ADVERTISEMENT
UEA pada tahun itu dinakhodai oleh Carlos Alberto Parreira. Ia seorang pelatih ternama yang empat tahun kemudian, mempersembahkan gelar juara dunia bagi Brasil. Dari sini, lagi-lagi kita melihat UEA memang tak main-main.
Namun, langkah itu tak mengejutkan karena mereka punya kondisi finansial yang mencukupi untuk merekrut pelatih-pelatih besar. Keputusan itu pada tahun-tahun berikutnya terus mereka ulangi dengan mendatangkan Carlos Queiroz, Roy Hodgson, hingga Dick Advocaat.
Terkini, Federasi Sepak Bola UEA menunjuk mantan pelatih Belanda, Bert van Marwijk, sebagai arsitek tim. Tim asuhan Van Marwijk inilah yang pada Kamis (10/10/2019) bakal berhadapan dengan Timnas Indonesia.
Pada dasarnya, pelatih-pelatih tersebut belum membuahkan hasil yang benar-benar mentereng. Meski begitu, mereka cukup berperan terhadap cetak biru pengembangan sepak bola UEA.
ADVERTISEMENT
Federasi menjadi pihak yang diuntungkan dalam hal ini. Apalagi, kehadiran sejumlah nama yang menjadi tulang punggung Timnas UEA, yang kini sering disebut-sebut orang tengah dalam periode keemasan, tak lepas dari peran para pelatih tadi.
Namun, mereka bukan satu-satunya faktor. Klub-klub liga profesional UEA juga turut memegang peranan penting.
Salah satunya Al Ain, klub tersukses dan paling populer di UEA. Mereka dikenal sebagai pengumpul sekaligus penghasil talenta-talenta berbakat. Omar Abdulrahman adalah bukti paling sahih.
Sosok berusia 28 tahun ini dapat dibilang sebagai bakat terbaik yang pernah dimiliki UEA. Berposisi sebagai gelandang serang, Omar punya kemampuan yang komplet. Akurasi umpannya luar biasa, sepakannya terukur, dribelnya di atas rata-rata.
Dengan berbagai kemampuan itu, status sebagai pemain terbaik Asia 2016 mampu ia raih. Di tahun itu pula Omar mampu menjuarai Liga Champions Asia 2016 bersama Al Ain.
ADVERTISEMENT
Eits.. ini belum ditambah dengan sederet capaian lain di level nasional.
Satu-satunya yang banyak disayangkan orang bila bicara soal Omar adalah fakta bahwa ia belum pernah merasakan atmosfer sepak bola Eropa. Dengan usianya yang kini 28 tahun, hal tersebut bahkan nyaris tak mungkin.
Meski begitu, publik UEA tetap bisa berbangga akan sosoknya. Ia bisa dijadikan sebagai bukti bahwa UEA sejatinya mampu menghasilkan bakat yang luar biasa, sebagaimana yang disematkan pula pada pemain lain, macam Ahmed Khalil atau bahkan Ali Mabkhout.
Khalil dan Mabkhout bermain untuk Al Ahli dan Al Jazira. Seperti Al Ain, dua klub tersebut adalah klub penting di UEA. Hal ini berlaku juga untuk Al Wasl.
ADVERTISEMENT
Klub yang disebut terakhir sempat mencuri perhatian ketika menunjuk Diego Maradona sebagai pelatih pada 2012. Hasil yang didapat tak memuaskan. Kiprah Maradona cuma bertahan 10 bulan, padahal ia dikontrak selama dua musim.
Meski begitu, Maradona tak lantas meninggalkan UEA. Ia tetap bermukim di sana selama beberapa tahun lantaran ditunjuk sebagai Duta Olahraga Dubai.
Dengan peran ini, menariknya, ia justru memberi kontribusi yang tak terkira bagi sepak bola negara tersebut. Lewat pengalaman yang ia miliki, Maradona banyak memberikan masukan penting.
Bimbingannya soal pengembangan sistem akademi adalah yang paling kentara. Di sisi lain, pemerintah dan federasi sepak bola UEA sedang getol-getolnya mendidik bakat-bakat baru.
Berbagai investasi besar-besaran lantas digelontorkan. Pada akhirnya, akademi sepak bola di UEA berkembang secara perlahan.
ADVERTISEMENT
Hal ini makin masif manakala sejumlah klub dan liga top Eropa berdatangan guna melakukan kerja sama kemitraan. La Liga, misalnya, bekerja sama dengan perusahaan telekomunikasi lokal untuk mendirikan akademi di Dubai.
Akademi tersebut termasuk salah satu akademi dengan anggaran terendah di UEA. Namun, yang ditawarkan sangat menggiurkan. Para pemain di bawah 16 tahun yang terpilih bakal dibawa ke Spanyol untuk berlatih di Akademi Malaga, Granada, hingga Sevilla.
***
UEA bukan kekuatan utama sepak bola Asia. Meski begitu, mereka sudah memenuhi sejumlah syarat untuk mengarah ke sana: Kekuatan finansial, keinginan kuat untuk berkembang, peran klub, dan keberadaan talenta berbakat.
Satu-satunya hal yang belum mereka miliki adalah sistem persepakbolaan yang tepat. Barangkali itu alasan mengapa mereka masih belum bisa meraih prestasi menjanjikan. Akan tetapi, tampaknya itu hanya tinggal menunggu waktu.
ADVERTISEMENT
***
Laga Grup G Kualifikasi Piala Dunia 2022 antara Timnas Uni Emirat Arab dan Timnas Indonesia akan digelar pada Kamis (10/10/2019) di Stadion Al Maktoum. Sepak mula berlangsung pada 23.00 WIB.