Allegri dan Hegemoni

19 April 2017 19:33 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Allegri sebelum laga versus Barcelona.  (Foto: Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Allegri sebelum laga versus Barcelona. (Foto: Reuters)
Massimiliano Allegri lahir di Livorno, kota yang terletak di barat laut Roma. Tak ada yang spesial dari kota yang berbatasan langsung dengan Laut Liguria itu selain bangunan indah —seperti yang dimiliki kota-kota lain di Italia.
ADVERTISEMENT
Tapi satu yang spesial di sana, Livorno jadi kota di mana Antonio Gramsci, yang merupakan seorang filsuf dan ketua Partai Komunis Italia, menetapkan rumusan teori hegemoninya yang terkenal itu.
Kami tak akan membahas lebih dalam mengenai paham komunis atau Gramsci, tapi Allegri. Setidaknya pria yang pernah dihatuhi sanksi larangan bertanding akibat pengaturan skor di tahun 2001 itu kini menancapkan hegemoni tersendiri, bagi Juve, bagi Italia, dan tentu saja dirinya.
***
Namanya tak sementereng Pep Guardiola, Zinedine Zidane ataupun Antonio Conte yang sudah beken duluan sebelum menjadi pelatih. Jangankan meraih titel juara, dia lebih banyak menghabiskan waktu untuk memperkuat klub-klub semenjana macam Livorno dan Pescara atau mentok saat bermain untuk Cagliari serta Perugia di pertengahan 1990-an.
ADVERTISEMENT
Kariernya sebagai pelatih diawali dari berapa tim kecil seperti Aglianese hingga Grosseto. Sampai akhirnya namanya mulai mencuuat saat berhasil membawa Sassuolo promosi untuk pertama kalinya ke Serie B, disusul keberhasilannya membawa Cagliari finis di posisi kesembilan di edisi 2008/2009.
Titik balik karier kepelatihannya adalah saat menangani AC Milan di musim 2010/2011. Tak main-main, dia langsung membawa Il Diavolo meraih scudetto saat itu juga sekaligus mengkhiri dahaga juara selama tujuh musim. Akan tetapi, hanya itu yang satu-satunya gelar yang diraihnya di Kota Mode itu, hingga akhirnya kerja samanya bersama Milan berakhir pada awal Januari 2014.
Tak lama kemudian, Allegri mendapatkan kepercayaan untuk menggantikan Antonio Conte yang "naik pangkat" melatih Tim Nasional Italia. Tak sedikit yang meragukan kapasitasnya mengingat sosok Conte bak dewa yang berhasil mengangkat roh Juve yang terkubur dalam-dalam pasca-calciopoli.
ADVERTISEMENT
Tapi Allgeri mampu menghapus anggapan itu dan bisa mengelola warisan Conte dengan caranya sendiri. Dua scudetto dan Coppa Italia serta satu trofi Supercoppa Italia jadi buktinya. Keberhasilannya membawa La Vecchia Signora ke partai puncak Liga Champions tentu jadi keberhasilan tersendiri yang belum bisa dicapai pendahulunya itu.
Sebagai seorang pelatih, Allegri tak bisa dibilang saklek yang harus merealiasikan keinginannya dalam kondisi apapun. Tapi, kata “pragmatis" juga tak terlalu tepat untuk menggambarkan gaya kepelatihan pria berusia 49 tahun itu. Kata “adaptatif” setidaknya menjadi gambaran paling tepat untuk merepresentasikan karakternya.
Allegri pada laga versus Barca di J-Stadium. (Foto: Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Allegri pada laga versus Barca di J-Stadium. (Foto: Reuters)
Salah satu contohnya adalah evolusi formasi yang pernah dilakukannya di pertengahan musim ini. Setelah dikandaskan Lazio pertengahan Januari lalu, Allegri mulai menanggalkan pakem 3-5-2 yang amat identik dengan Juve. Skema 4-2-3-1 yang diaplikasikan kontra Lazio di pekan selanjutnya terbukti manjur-paling tidak hingga saat ini.
ADVERTISEMENT
Bagaimana tidak, dalam 19 laga termutakhir "Si Nyonya Tua" hanya sekali takluk dan dua kali bermain imbang. Sisanya? Berhasil dibabat habis oleh Gianluigi Buffon dan kawan-kawan. Termasuk di dalamnya adalah ketika sukses menjungkalkan Barcelona 3-0 di leg pertama perempat final Liga Champions.
Tak hanya evolusi yang jadi kunci keberhasilan Allegri, karena evolusi yang tak diimbangi oleh sikap adaptatif akan berujung cultural shock yang akan jadi bumerang bagi timnya. Komposisi pemain yang memang ideal jadi faktor pendukungnya. Deretan nama seperti Dani Alves, Alex Sandro, Juan Cuadrado, Stephan Lichtsteiner serta Kwadwo Asamoah yang bisa bermain multi-posisi membuat peralihan pakem berjalan mulus.
Selain itu Allegri juga tak mau terlalu ambil risiko saat timnya unggul. Pasalnya, sejak awal peluit dibunyikan di situlah pengambilan risiko dimulai. Ketika timnya tertinggal, dia tak segan untuk melakukan perombakan dalam artian bermain lebih agresif. Terdengar klise memang, tapi nyatanya berulang kali sukses.
ADVERTISEMENT
Kala menjamu Napoli di ajang Coppa Italia misalnya. Saat itu Juve tertinggal satu gol lebih dulu di babak pertama lewat Jose Callejon. Allegri bereaksi dengan memasukkan Cuadrado dan menarik keluar Lichtsteiner.
Kendati tak menyumbang gol, namun Cuadrado sukses memborbardir sisi kiri pertahanan Napoli. Juventus akhirnya menang 3-1 bagi via sepasang gol Paulo Dybala dan satu gol Gonzalo Higuain.
Laga kontra FC Porto pada panggung Liga Champions lebih epik lagi. Setelah mengalami kebuntuan dalam membongkar pertahanan Azuis e Brancos selama lebih dari sejam, Allegri mengutus Marko Pjaca dan Alves yang kemudian mencetak masing-masing satu gol yang membawa Juve keluar sebagai pemenang laga di Estadio do Dragao itu.
ADVERTISEMENT
***
Setelah berhasil menancapkan hegemoni di Italia, kini Juve di bawah kendali Allegri tengah mengembangkan sayapnya untuk menguasai Eropa. Misi yang tak berlebihan, mengingat kemenangan mereka atas Barcelona di Juventus Stadium pekan lalu.
Nanti, mereka hanya cukup mempertahankan keunggulan agregat gol saja. Keok 0-1 bahkan 0-2 pun tak jadi soal, toh mereka akan tetap lolos ke semifinal untuk kedua kalinya dallam tiga musim terakhir. Tapi Allegri, tentu tak akan membiarkan Juve takluk semudah itu.
Sekali lagi, untuk Juve, Italia dan dirinya. Ini bukan Hegemoni Gramsci, tapi hegemoni Allegri.