Analisis: Taktik Bima Kurang Sakti

10 November 2018 7:06 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bima Sakti, pelatih Indonesia U-19 (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Bima Sakti, pelatih Indonesia U-19 (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
ADVERTISEMENT
Stadion Nasional Singapura pada akhirnya gagal ditaklukkan. Tak sia-sia sekitar 25 ribu suporter Timnas Singapura datang ke stadion kebanggaan mereka itu. Menghadapi Indonesia di pertandingan pertama Grup B Piala AFF 2018, tuan rumah berhasil menang dengan skor 1-0 melalui gol dari sang kapten, Hariss Harun, saat babak pertama tinggal menyisakan delapan menit.
ADVERTISEMENT
Kemenangan Singapura ini jelas terasa fenomenal bagi mereka. Sebab, jelang pertandingan ini, The Lions memang memosisikan diri sebagai underdog. Semua elemen sepak bola mereka, mulai dari pelatih Fandi Ahmad sampai suporter yang dijumpai kumparanBOLA sebelum laga, berkata seperti itu, baik secara tersirat maupun tersurat.
Nyatanya, Singapura menang, Indonesia tak berdaya. Di klasemen, Singapura kini berhak atas posisi dua. Mereka hanya kalah selisih gol dari Thailand yang pada laga lain sukses menggelontor gawang Timor Leste tujuh gol tanpa balas. Kemenangan ini pun dijadikan modal berharga bagi Fandi dan anak-anak asuhnya untuk menatap laga kedua kontra Filipina, 13 November nanti.
Indonesia memang pantas kalah pada laga ini. Fandi sukses memberi pelajaran taktikal kepada Bima Sakti, di mana dia sanggup membawa para pemainnya menegasi permainan Indonesia. Dari sana, kemudian kemampuan terbaik Hariss cs. sukses dikeluarkan.
ADVERTISEMENT
Patahnya Sayap 'Garuda'
Seusai laga, Fandi membeberkan rahasia di balik keberhasilan Singapura menundukkan Indonesia. Suplai dari sayap, yang merupakan kelebihan utama Indonesia, berhasil diputus. Meski demikian, ini sebenarnya bukanlah rahasia. Sejak sebelum laga, Fandi sudah mengatakan bahwa dia mewaspadai para pemain sayap Indonesia dan kewaspadaan itu dia ubah menjadi aksi nyata.
Febri Hariyadi adalah pemain sayap andalan Indonesia. Hampir semua serangan Indonesia, khususnya pada babak pertama, dialamatkan kepada winger Persib Bandung ini. Namun, Febri sama sekali tidak berkutik dan ada dua alasan di balik ini.
Pertama, para pemain Singapura secara disiplin mampu menjalankan instruksi Fandi dengan menekan pivot Indonesia --biasanya Evan Dimas-- dan full-back kiri Risky Rizaldi Pora. Dengan ditekannya dua sosok ini, maka suplai bola ke arah Febri pun menjadi terbatas. Umpan datar sama sekali bukan pilihan dan itulah mengapa, bola ke Febri lebih banyak dilepas oleh Ricky Fajrin.
ADVERTISEMENT
Namun, sesampainya bola di kaki Febri, pemain-pemain belakang Singapura kemudian langsung menutup ruang gerak pemain bernomor punggung 13 tersebut. Febri hampir selalu bisa digiring sampai ke tepi lapangan sehingga ruang untuk melepas umpan pun habis. Ini adalah alasan kedua.
Praktis, pada babak pertama, inilah yang senantiasa dilakukan oleh Indonesia. Irfan Jaya dan Putu Gede Juniantara yang bermain di sayap kanan sama sekali tidak mampu menebar marabahaya di area permainan Singapura. Intinya, Indonesia cuma menyerang lewat satu sayap, tetapi sayap itu pun akhirnya dilumpuhkan.
Febri Hariyadi dalam pertandingan Indonesia vs Singapura di babak penyisihan Piala AFF 2018 (Foto: Helmi Afandi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Febri Hariyadi dalam pertandingan Indonesia vs Singapura di babak penyisihan Piala AFF 2018 (Foto: Helmi Afandi/kumparan)
Sebenarnya, tertutupnya akses bola ke arah Febri dan tak berkutiknya dua penghuni flank kanan Indonesa ini sempat diakali dengan mengarahkan bola pada Stefano Lilipaly yang bermain sebagai gelandang serang tengah. Namun, cara ini pun tidak berhasil dan atas kegagalan tersebut, lagi-lagi ada dua faktor yang mendasari.
ADVERTISEMENT
Pertama, kedisiplinan taktikal para pemain tengah Singapura itu sendiri. Bagaimana Singapura bertahan memang sangat layak diapresiasi. Mereka sadar bahwa secara teknik, mereka ada di bawah Indonesia. Itu semua akhirnya ditutup dengan kolektivitas.
Kolektivitas itu mewujud dalam dua hal. Yakni, bagaimana mereka melakukan marking terhadap pemain lawan dan manipulasi ruang. Marking terhadap orang dilakukan dengan 'mengeroyok' para pemain Indonesia yang menguasai bola. Setiap ada pemain berkostum putih yang memegang bola, dua sampai tiga, bahkan sesekali empat, pemain berkaus merah mengerubunginya sampai bola akhirnya terlepas atau dilepaskan tak tentu arah.
Lalu, manipulasi ruang ini dilakukan utamanya dengan membuat area pemain Indonesia mengolah bola jadi sangat kecil. Opsi bagi pemain Indonesia, baik untuk menggiring ataupun mengumpan, jadi sangat sedikit. Selain itu, para pemain Singapura juga mampu dengan disiplin bergerak ke kanan dan kiri secara kolektif untuk memblok jalan masuk pemain Indonesia.
ADVERTISEMENT
Faktor kedua adalah penampilan Lilipaly sendiri. Sudah tahu para pemain Singapura melakukan penjagaan sedemikian ketat, dia tetap bermain statis di posisinya. Fano--demikian Lilipaly disapa-- praktis tidak melakukan upaya apa pun untuk memancing para pemain tengah dan belakang Singapura keluar supaya ruang bisa terbuka.
Alberto Goncalves dalam pertandingan Indonesia vs Singapura di babak penyisihan Piala AFF 2018 (Foto: Helmi Afandi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Alberto Goncalves dalam pertandingan Indonesia vs Singapura di babak penyisihan Piala AFF 2018 (Foto: Helmi Afandi/kumparan)
Pada babak kedua, Bima menarik keluar Irfan dan memasukkan Riko Simanjuntak. Masuknya Riko ini sempat memberi angin segar karena sayap Timnas Indonesia tak lagi berat sebelah. Riko, dengan aksi-aksi mengejutkannya, mampu merepotkan pertahanan Singapura. Puncaknya adalah saat dia diganjal di kotak penalti, tetapi wasit Nguyen Hien Triet dari Vietnam bergeming.
Namun, Riko adalah kartu truf. Riko adalah pemain yang seharusnya dimasukkan apabila pilihan lain memang benar-benar sudah habis karena keunggulan pemain Persija ini terletak pada pergerakannya yang sulit ditebak. Bisa dibilang, memasukkan Riko adalah perjudian dan meski ada sisi positifnya, dia tentu tak bisa terus-terusan diandalkan karena makin lama, pergerakan yang sulit ditebak akan menjadi mudah dibaca.
ADVERTISEMENT
Apa yang terjadi pada Timnas Indonesia itu akhirnya bisa dilihat hasilnya dalam statistik pertandingan. Labbola mencatat bahwa Indonesia menguasai bola sampai 62%, tetapi hanya bisa melepas empat tembakan dengan satu di antaranya tepat sasaran. Bandingkan dengan Singapura yang bisa menembak sampai 12 kali (empat tepat sasaran, satu mengenai mistar) ke gawang Indonesia.
Ini bisa dipertegas lagi dengan dua statistik Opta yang menyebutkan bahwa pertama, Indonesia bisa melepas 448 umpan tetapi 53,4%-nya dilakukan di area permainan sendiri. Kedua, Alberto 'Beto' Goncalves sama sekali tidak pernah menyentuh bola di kotak penalti Singapura pada babak pertama. Ketiga, Singapura dua kali lebih sering menyentuh bola di kotak penalti 'Garuda'.
Transisi Adalah Kunci
ADVERTISEMENT
Pertahanan solid dan transisi, itulah dua kunci kemenangan Singapura yang disebutkan oleh Bima dalam jumpa pers pascalaga. Dua hal itu dilakukan dengan semangat dan agresivitas yang akhirnya membuat Indonesia tak berdaya.
Secara khusus, transisi yang disebutkan Bima itu adalah transisi dari bertahan ke menyerang dan apa yang dikatakan pelatih 42 tahun itu benar. Transisi Singapura memang luar biasa bagus. Apa yang mereka lakukan ini pun, lagi-lagi, merupakan solusi dari problem yang diutarkan Fandi sebelum pertandingan.
Ceritanya, Fandi sebenarnya khawatir karena dia menganggap timnya punya masalah dalam transisi dari menyerang ke bertahan. Dia pun kemudian menyusun rencana agar Singapura tidak perlu melakukan itu. Caranya, dengan memasang blok pertahanan rendah.
Namun, itu saja tidak cukup. Untuk menghindarkan tim dari kekalahan, itu mungkin cukup, tetapi tidak jika Singapura mengincar poin penuh. Maka, cara menyerang yang efisien pun diciptakan.
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya, Singapura menyerang seperti gelombang. Pertama, ketika mereka mencuri bola, setidaknya tiga pemain depan akan maju secara bersamaan dalam posisi sejajar untuk membikin pertahanan Indonesia panik. Setelah itu, setelah bola benar-benar sudah berhasil dikuasai, lini kedua Singapura akan naik untuk menimbulkan superioritas jumlah.
Riko Simanjuntak terjatuh usai berduel dengan pemain Singapura dalam pertandingandi babak penyisihan Piala AFF 2018. (Foto: Helmi Afandi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Riko Simanjuntak terjatuh usai berduel dengan pemain Singapura dalam pertandingandi babak penyisihan Piala AFF 2018. (Foto: Helmi Afandi/kumparan)
Selain menciptakan superioritas numerikal dengan cerdik, Singapura juga memahami betul bagaimana second ball bekerja. Gol Hariss adalah wujud dari pemanfaatan second ball dan itulah yang membuat Singapura begitu sering bisa mengancam gawang Andritany Ardhiyasa; karena mereka tahu harus bagaimana dan bergerak ke mana untuk menjinakkan bola liar.
Bicara soal transisi, Singapura sendiri juga berhasil membuat transisi bertahan ke menyerang Indonesia tak bekerja. Caranya adalah dengan melakukan tactical foul. Beberapa kali para pemain tengah Singapura melanggar pemain Indonesia yang hendak melepaskan umpan ke arah pemain depan dalam situasi transisi. Cara ini memang 'kotor' tetapi nyatanya ia masih berada dalam koridor yang benar.
ADVERTISEMENT
Tidak Ada Tanggapan dari Bima
Dulu, ketika masih menangani Barcelona, Pep Guardiola kerap dikritik lantaran tidak punya plan cadangan. Bahkan, ada anekdot yang menyebutkan bahwa plan B milik Pep adalah 'stick to plan A'. Luis Milla, sebagai pelatih yang berasal dari cetakan sama dengan Pep pun sering berbuat demikian. Kini, penyakit serupa menular kepada Bima.
Praktis, selain memasukkan kartu truf bernama Riko, tidak ada lagi respons taktikal yang dilakukan oleh Bima. Mantan asisten Milla tersebut sepertinya percaya bahwa dengan melakukan apa yang sudah dilakukan, maka lama kelamaan lawan akan luluh juga. Faktanya jelas tidak seperti itu.
Indonesia baru bisa agak berkembang permainannya ketika laga tinggal menyisakan 15 menit. Namun, itu pun terjadi tanpa disertai respons taktikal berarti. Bima hanya menambah satu orang dari tengah untuk membantu lini depan. Akan tetapi, itu semua tetap tak berhasil karena, well, dengan berkurangnya personel lini tengah, missing link tercipta. Ini jadi seperti buah simalakama.
ADVERTISEMENT
Seusai laga, Bima berjanji akan mengubah itu. Dia berujar bahwa di laga berikutnya, dia bakal mencari cara agar Indonesia tak terus-terusan menyerang lewat sayap. Akankah itu berhasil? Hmm, cuma waktu yang bisa menjawab.