Athletic Club vs Real Sociedad dalam Kerangka Sejarah Perjuangan Basque

6 Maret 2020 19:04 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pemain Athletic Club, Eneko Boveda (kiri), berduel denngan penyerang Real Sociedad, Mikel Oyarzabal. Foto: AFP/Ander Gillenea
zoom-in-whitePerbesar
Pemain Athletic Club, Eneko Boveda (kiri), berduel denngan penyerang Real Sociedad, Mikel Oyarzabal. Foto: AFP/Ander Gillenea
Ada suatu masa ketika sepak bola Basque tidak cuma berputar di sekeliling Athletic Club de Bilbao dan Real Sociedad. Saat La Liga pertama kali digulirkan pada 1929, ada dua klub Basque lain yang menjadi peserta pertama kompetisi.
Dua klub itu bernama Real Union dan Arenas Club. Jika nama mereka terdengar asing, itu wajar. Sebab, keduanya saat ini cuma berlaga di Segunda Division B alias divisi empat Liga Spanyol.
Sejarah memang tak ramah kepada mereka. Namun, pada masa-masa awal berdirinya dulu, Real Union dan Arenas Club pernah menjadi dua tim terbaik di Spanyol, tepatnya pada 1927.
Ketika La Liga belum digulirkan, Copa del Rey alias Piala Raja adalah kompetisi paling bergengsi di Spanyol. Pada edisi 1927 itu Real Union dan Arenas Club bertemu di partai puncaknya.
Dalam final di Estadio Torrero, Zaragoza, tersebut Real Union keluar sebagai pemenang dengan skor tipis 1-0. Di perpanjangan waktu, Jose Echeveste mencetak gol untuk mengantarkan timnya jadi juara keempat kalinya.
Laga Real Union vs Arenas Club itu adalah Derbi Basque terakhir yang tersaji di partai puncak Copa del Rey, sampai akhirnya Athletic Club dan Real Sociedad memastikan tempat di final edisi 2020 ini.
Athletic Club sampai ke final usai menyingkirkan Granada lewat aturan gol tandang. Menang 1-0 di laga pertama, mereka kalah 1-2 pada pertandingan kedua. Satu gol di kandang Granada itulah yang meloloskan Athletic.
Sociedad, sementara itu, lolos ke final berkat kemenangan agregat 3-1 atas klub divisi dua, Mirandes. Laga final sendiri akan digelar pada 18 April mendatang di Estadio La Cartuja, Sevilla.
Pertandingan Sociedad vs Athletic ini menjadi menarik bukan hanya karena ia merupakan Derbi Basque pertama di final Copa del Rey dalam 93 tahun tetapi juga karena inilah derbi pertama di final setelah Perang Sipil.
Perang Sipil Spanyol sendiri terjadi pada 1936 sampai 1939. Terbilang singkat, memang. Akan tetapi, impak dari perang ini nantinya bakal terasa sampai lebih dari empat dasawarsa dan orang Basque menjadi salah satu yang paling menderita karenanya.
Pada dasarnya, Perang Sipil Spanyol terjadi antara orang-orang Republikan berhaluan kiri dan orang-orang Nasionalis yang berhaluan kanan. Para Republikan ini berupaya mencegah kudeta dari kaum Nasionalis terhadap pemerintahan Republik Spanyol Kedua yang berdiri pada 1931.
Banyak orang Basque yang bergabung dalam kelompok Republikan. Mereka umumnya terlibat dalam Perang di Utara (Ofensiva del Norte) yang berlangsung dari Maret hingga Oktober 1937.
Lukisan 'Guernica' karya Pablo Picasso yang menggambarkan pemboman kota Guernica di Basque oleh Tentara Nasionalis dalam Perang Sipil Spanyol. Foto: Wikimedia Commons
Keterlibatan orang-orang Basque di Perang Sipil Spanyol ini tak bisa dilepaskan dari gerakan nasionalisme yang lahir pada abad ke-19. Menariknya, keputusan bergabung dengan kaum Republikan sebenarnya bersifat pragmatis.
Gerakan nasionalisme Basque mulanya berhaluan kanan, sama seperti kaum Carlist yang jadi sekutu mereka. Kedua kelompok ini, sampai 1932, masih sama-sama berstatus oposisi bagi rezim Republik Spanyol Kedua.
Namun, sebuah pengkhianatan kemudian dilakukan kelompok Carlist. Kaum nasionalis Basque pun kemudian berpindah haluan. Mereka memihak kelompok Republikan yang akhirnya memberi mereka otonomi.
Sayangnya, otonomi itu kemudian hilang seiring dengan berakhirnya Ofensiva del Norte. Tentara Nasionalis yang dibantu serdadu fasis Italia dan pasukan Nazi terlalu kuat bagi kelompok Republikan yang dibantu Tentara Basque.
Bagi orang-orang Basque, otonomi adalah sesuatu yang sakral. Hilangnya otonomi dari Prancis pada akhir abad ke-18 dan Spanyol pada pertengahan abad ke-19 membuat gerakan nasionalisme Basque bangkit.
Milica Z. Bookman, seorang ahli ekonomi dari Amerika, menyatakan bahwa gerakan nasionalisme Basque ini adalah gerakan iredentisme, alias gerakan untuk mengklaim sesuatu dari masa lalu yang hilang.
Tentara Basque yang tergabung dalam kelompok Republikan di Perang Sipil Spanyol. Foto: Wikimedia Commons
Dalam konteks Basque, sesuatu yang hilang ini adalah hak untuk memerintah diri mereka sendiri. Dulunya, hak ini pernah mereka miliki ketika Kerajaan Navarra masih berdiri.
Kerajaan Navarra bertahan selama sekitar 700 tahun sampai akhirnya bergabung dengan Kastila dan Aragon untuk membentuk Kerajaan Spanyol. Pada akhir abad ke-16, wilayah utara Kerajaan Navarra itu bergabung dengan Prancis.
Meski bergabung dengan dua negara berbeda, orang-orang Basque yang berdiam di Pegunungan Pirenia itu memiliki hak untuk memerintah diri mereka sendiri. Di Spanyol, hak itu disebut fueros. Sementara, di Prancis namanya fors. Orang Basque sendiri menyebutnya fuorka.
Akan tetapi, hak itu kemudian hilang. Di Prancis, hak ini hilang pasca-Revolusi, sementara di Spanyol hak ini dihapuskan pasca-Perang Carlist Ketiga. Hilangnya hak-hak inilah yang membuat gerakan nasionalisme Basque bangkit.
Jatuhnya Basque pada Perang Sipil Spanyol sebenarnya tidak bisa juga dipisahkan dari peran kaum nasionalis yang memilih untuk menyerah kepada tentara Italia kiriman Benito Mussolini.
Diktator Spanyol Fransisco Franco Foto: Reuters
Sejak itu, banyak pemimpin Partai Nasionalis Basque (PNV) yang kabur ke luar negeri, terutama ke Paris yang akhirnya menjadi pusat gerakan bawah tanah. Dari sinilah kemudian Euskadi Ta Askatasuna (ETA) lahir.
Di pengasingan, tak banyak yang bisa dilakukan PNV untuk memerdekakan Basque. Apalagi, setelah Jenderal Francisco Franco naik takhta menyusul kemenangan kelompok Nasionalis di Perang Sipil, status PNV di Spanyol adalah ilegal.
Karena berstatus ilegal, perjuangan lewat jalur diplomasi jadi sulit sekali dilakukan. Terlebih, setelah Perang Dunia II, Spanyol pimpinan Franco menjadi sekutu Amerika Serikat, dan Prancis pun masuk ke dalamnya.
Mandeknya perjuangan lewat jalur perundingan membuat sebagian anggota PNV, terutama yang berusia muda, memutuskan untuk membentuk organisasi baru yang lebih ekstrem bernama ETA tadi pada 1959.
Pada akhirnya, ETA menjadi organisasi teroris. Ribuan serangan bersenjata telah mereka lancarkan dari berdiri sampai akhirnya bubar jalan pada 2011 silam. Aksi-aksi ETA ini membuat represi Franco kepada Basque jadi makin hebat.
Kelompok separatis bersenjata ETA menggelar konferensi pers untuk mengklaim pertanggungjawaban atas tewasnya anak buah Jenderal Franco pada 1973. Foto: AFP
Sebelum Perang Sipil, meski orang-orang Basque kehilangan hak otonomi, mereka setidaknya masih bisa menunjukkan identitas mereka lewat bahasa, bendera, maupun produk-produk budaya lainnya.
Akan tetapi, setelah Franco naik, semua itu diharamkan. Serangan-serangan ETA pun tidak membantu orang-orang Basque sendiri. Bahkan, karena ETA, simbol-simbol Basque jadi disamakan dengan simbol terorisme itu sendiri.
Sampai Franco wafat, bendera Basque bahkan masuk kategori benda ilegal di Spanyol. Bendera bernama Ikurrina ini kembali menjadi legal pada 1977 dan sepak bola punya andil besar di sana.
Dalam Derbi Basque edisi 1976, seorang pemain Real Sociedad yang punya afiliasi dengan ETA, Josean de la Hoz Uranga, mengusulkan agar pemain kedua kesebelasan masuk lapangan dengan membawa Ikurrina.
Uranga sendiri sebenarnya cuma pemain pinggiran di Sociedad tetapi dia berhasil meyakinkan kapten tim, Inaxio Kortabarria, untuk mengajak kapten Athletic Club, Jose Angel Iribar, untuk melakukan gestur itu.
Bendera Basque itu dijahit oleh saudara perempuan Uranga dan diselundupkan ke dalam stadion dengan dimasukkan ke tas perlengkapan. Uranga sempat dirazia polisi tetapi bendera itu tetap lolos.
Jose Antonio (Josean) de La Hoz Uranga. Foto: Real Sociedad
Iribar setuju untuk membawa Ikurrina bersama Kortabarria ke dalam lapangan. Syaratnya, semua pemain Athletic setuju melakukannya. Setelah semua setuju, bendera itu pun dibawa ke lapangan.
Menariknya, tidak semua pemain di pertandingan itu mendukung kemerdekaan Basque. Padahal, mereka semua adalah orang Basque. Saat itu, seperti halnya di Athletic, cuma pemain Basque yang bisa memperkuat Sociedad.
Kortabarria termasuk dalam mereka yang mendukung kemerdekaan Basque. Sementara, salah satu pemain Athletic, Angel Maria Villar, di kemudian hari menjadi Presiden RFEF selama dua dasawarsa.
Namun, pada hari itu, semua setuju untuk membawa bendera Basque masuk lapangan. Di mata mereka, yang terpenting adalah identitas Basque bisa diakui lagi di Spanyol.
Yang lebih menarik lagi di situ adalah reaksi polisi. Alih-alih melakukan represi, mereka membiarkan Kortabarria dan Iribar membawa bendera. Namun, tak lama kemudian, bendera tersebut memang diamankan.
Meski demikian, bendera Ikurrina itu tidak hilang. Saat ini, ia bisa ditemukan di museum milik Real Sociedad.
Kapten Real Sociedad, Inaxio Kortabarria (kiri), dan kapten Athletic Club, Jose Angel Iribar, membawa bendera Ikurrina ke lapangan pada derbi 1976. Foto: Wikimedia Commons
Dari sekian banyak media Spanyol yang ada, cuma harian olahraga Catalunya, Mundo Deportivo, yang menyebutkan keberadaan bendera itu dalam laporan pertandingannya. Akan tetapi, eksposur terhadap momen itu tetap besar karena pertandingan disiarkan di televisi secara langsung.
Momen itu kemudian berujung pada permintaan sejumlah wali kota di Basque agar Ikurrina kembali dilegalkan. Pada 25 Januari 1977, untuk pertama kalinya sejak Perang Sipil, Ikurrina kembali dikibarkan secara resmi.
Harus diakui bahwa ke-Basque-an Sociedad saat ini tak lagi seperti dulu. Hanya Athletic-lah yang sampai sekarang masih setia dengan kebijakan khusus Basque-nya.
Namun, kedua kesebelasan itu sama-sama punya andil besar dalam perjuangan Basque meraih pengakuan kembali sebagai sebuah entitas masyarakat yang unik di Spanyol.
Soal merdeka atau tidak, itu urusan lain. Yang jelas, orang-orang Basque punya identitas dan sejarah yang tidak semestinya dilenyapkan begitu saja.
Athletic dan Sociedad, lewat 'Derby of Ikurrina', memastikan itu tidak terjadi. Itulah mengapa, pertemuan mereka di final Copa del Rey 2020 nanti bakal menjadi pertemuan bersejarah.