Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Bagaimana Sepak Bola Bertahan Membawa Prancis ke Final?
11 Juli 2018 14:49 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
ADVERTISEMENT
"Lebih baik saya kalah dengan Tim Nasional (Timnas) Belgia ini daripada menang dengan Timnas Prancis itu."
ADVERTISEMENT
Memang selalu indah mengenakan kacamata nostalgia. Dahulu, Eden Hazard , sang empunya kutipan di atas, begitu menikmati sepak bola menyerang Prancis, terutama era 1998. Di zaman itu, Zinedine Zidane menari seperti balerina di atas lapangan. Sementara, ada Thierry Henry hingga David Trezeguet yang mencuat sebagai penyerang muda berbakat.
Sekarang, dia kecewa karena timnya kalah 0-1 di semi final Piala Dunia 2018 meski mencatatkan jumlah operan dan aksi dribel hampir dua kali lipat dari Les Bleus . Satu gol itu pun tiba melalui tendangan sudut. Dengan kata lain, sepak bola Prancis, jika menurut Hazard, adalah sepak bola yang tak sedap di mata.
Namun, nostalgia kerapkali mengaburkan fakta bahwa zaman adalah sesuatu yang sifatnya dinamis. Sehingga, Hazard abai apa yang dikatakan Oscar Tabarez dan Fernando Hierro di laga sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Tabarez, usai Timnas Uruguay menang 2-1 atas Portugal di laga 16 dengan bermodalkan 32% penguasaan bola, bilang bahwa sebuah tim bisa tetap membunuh harapan lawan dengan penguasaan bola yang minim.
Sementara, Hierro, yang saat itu mencatatkan rekor seribu operan tapi kalah dari Rusia di babak adu penalti laga 16 besar, bilang bahwa tim-tim di Piala Dunia kali ini tahu caranya bermain sepak bola direct dengan transisi yang lebih cepat.
Dan andai Didier Deschamps mengenakan kacamata yang sama seperti Hazard di Piala Dunia edisi Rusia, tentulah kita takkan menyaksikan Prancis tiba di final. Mungkin, anak-anak asuhnya akan bernasib sama nahasnya seperti Timnas Jerman, Timnas Argentina, hingga Timnas Spanyol --tim-tim yang, pada akhirnya, menjadi korban karena tak siap dengan perubahan yang dilakukan lawan.
ADVERTISEMENT
Pertahanan Prancis yang Tak Ubahnya Spons
Tiap tim giant killing di Piala Dunia kali ini punya kecenderungan untuk bertahan seperti spons. Maksudnya, mereka akan menyerap segala serangan lawan alih-alih bertahan dengan keras. Prancis boleh jadi merupakan raksasa sepak bola dunia, tapi mereka juga melakukan hal serupa mengingat jeda satu laga ke tiap laga lainnya yang sangat berdekatan.
Dalam formasi 4-2-3-1, Corentin Tolisso atau Blaise Matuidi ditempatkan di posisi paling kiri. Namun, pemain itu tidak bermain sebagai winger, melainkan mengemban tugas bertahan. Di tengah, ada N’Golo Kante yang menjadi pelindung Paul Pogba. Di depan, ada Olivier Giroud yang juga siap dalam tugas bertahan.
Simak bagaimana posisi Giroud pada laga melawan Belgia. Ia kerap turun hingga melewati garis tengah. Bahkan, posisinya kerap lebih dalam dari Pogba sekalipun. Dengan begitu, Prancis bertahan dengan mengandalkan penempatan posisi pemain, alih-alih mengandalkan aksi bertahan (tekel, duel) semata.
ADVERTISEMENT
Lalu, ada Benjamin Pavard dan Lucas Hernandez yang berhasil menunjukkan bahwa keduanya bisa diandalkan sebagai full-back kanan dan kiri. Kepingan ini kemudian dilengkapi dengan hadirnya dua bek tengah dengan karakter yang berbeda; Samuel Umtiti yang agresif ditandemkan dengan Raphael Varane yang terkenal begitu elegan.
Adapun, pemain-pemain ini, meski posisinya berbeda, memiliki satu kesamaan: Ketenangan, entah situasinya seburuk apa pun. Terbukti, sesering apa pun Prancis didominasi lawan (dari segi penguasaan bola), mereka tetap minim membuat kesalahan. Sehingga, transisi dari menyerang ke bertahan pun bisa dilakukan dengan dengan cepat.
Inilah sebabnya, kecuali lawan Argentina, Prancis tak pernah bobol dalam skema open-play. Inilah juga mengapa mereka, kecuali lawan Australia, tak pernah bobol satu gol pun dari skema bola mati.
ADVERTISEMENT
Saat laga lawan Belgia berjalan lima menit, misalnya. Baik Kylian Mbappe, Pogba dan Pavard yang berada di sektor kanan saat itu punya kans untuk melakukan perjudian untuk melakukan intersep kepada Hazard yang melakukan dribel dari tengah lapangan yang berniat untuk melakukan cut-inside.
Namun, ketiga pemain itu tidak melakukannya. Ketiganya hanya berusaha menempel ketat Hazard dengan harapan Hazard akan melakukan serangan yang tanggung. Upaya ini berhasil: Hazard tersudut di pinggir lapangan dan tak punya pilihan lain selain melancarkan umpan yang bisa dipatahkan Umtiti dengan mudah.
Aksi dribel Belgia, sebagaimana dibilang di awal, hampir dua kali lipat jumlahnya jika dibandingkan dengan Prancis. Jumlah tepatnya, sebagaimana WhoScored mencatat, adalah 15 kali. Dalam 14 kali kesempatan lainnya, Prancis melakukan hal serupa. Dan pada akhirnya, Belgia merasakan frustrasi yang serupa dirasakan lawan-lawan Prancis sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Membunuh dengan Berbagai Cara
50% dari total gol Prancis hadir dalam skema open-play, sementara 40% hadir dari bola mati, dan sisanya hadir dari gol bunuh diri pemain lawan. Itu mendakan bahwa Prancis punya berbagai cara untuk mencetak gol bermodalkan taktik defensif mereka.
Dalam skema serangan balik cepat, Prancis diunggulkan dengan hadirnya Mbappe dan Antoine Griezmann untuk memukul lawan. Untuk Mbappe, dia mendapat sokongan dari tiga pemain sekaligus ketika menyerang.
Ada Paul Pogba yang siap dengan hollywood pass-nya, Benjamin Pavard yang siap melakukan operan satu-dua jika ia diadang oleh full-back lawan. Hingga, Olivier Giroud yang siap mengecoh bek tengah lawan. Sementara, Griezmann akan jadi opsi lainnya ketika tim lawan memilih hanya fokus kepada Mbappe.
ADVERTISEMENT
Dalam dua laga sebelum semi final, kedua pemain ini sama-sama sukses membukukan gol. Mbappe cetak dua gol ke gawang Argentina dalam laga 16 besar, sementara Griezmann cetak satu gol ke gawang Uruguay di perempat final. Prosesnya sama: memanfaatkan kesalahan tim lawan yang tengah mengepung pertahanan Prancis dengan melakukan umpan terobosan yang tak diduga-duga.
Selain itu, Samuel Umtiti dan Raphael Varane berhasil menunjukkan bahwa mereka berdua berbahaya dalam duel udara akhir-akhir ini. Umtiti cetak gol semata wayang Prancis ke gawang Belgia dalam skema tendangan sudut, sementara Varane cetak satu dari dua gol Prancis ke gawang Uruguay dalam skema tendangan bebas melalui kepalanya.
Penutup
Prancis hanyalah salah satu contoh bagaimana tim yang bermain pragmatis atau defensif bisa melangkah lebih jauh ketimbang mereka yang mengandalkan possession. Penulis buku sejarah taktik 'Inverting The Pyramid', Jonathan Wilson, menyebut bahwa ini memang bukan akhir dari sepak bola yang mengandalkan possession, tapi memang lebih banyak tim bisa beradaptasi menghadapi gaya semacam itu.
ADVERTISEMENT
Sepak bola internasional, kata Wilson, memang berbeda dari sepak bola klub. Piala Dunia tidak selamanya jadi etalase tren perkembangan taktik. Oleh karenanya, jangan heran apabila di level klub possession football masih sukses, tetapi di level internasional tidak.
"Memang, Piala Dunia pernah menampilkan tren taktik, tapi tidak pernah jadi acuan secara keseluruhan. Ketika Brasil bermain dengan format empat bek pada 1958 dan dunia terkejut, gaya itu sesungguhnya sudah dimainkan selama empat atau lima tahun oleh Vila Nova, Flamengo, dan Sao Paulo. Begitu juga yang terjadi ketika Belanda memopulerkan total football pada 1974. Ketika itu, Ajax-nya Rinus Michels dan Stefan Kovacs sudah tiga kali menjuarai European Cup (dengan gaya yang sama, red)," tulis Wilson pada kolomnya di The Guardian.
ADVERTISEMENT
Dari Prancis pun kita belajar bahwa Piala Dunia kali ini tentang bermain efektif. Prancis sangat sabar meski selalu paling sering diserang dengan tak buru-buru melancarkan upaya menjegal lawan. Lalu, setelah tim lawan frustrasi menembus pertahanan mereka, Antoine Griezmann dan kolega pun menghukumnya dengan berbagai cara. Cara yang pada akhirnya membawa mereka tiba di final.