Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.1
Battle of Santiago: Ketika Piala Dunia Ada di Titik Nadir
7 Mei 2018 15:34 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:09 WIB
ADVERTISEMENT
11 September 1973, menyusul bombardir dari darat dan udara yang dilakukan oleh angkatan bersenjata pimpinan Jenderal Augusto Pinochet, Salvador Allende lengser dari kursi kepresidenan Cile. Hari itu juga, demokrasi yang sudah berlangsung sejak 1932 di negara Amerika Selatan itu mati suri.
ADVERTISEMENT
Pinochet naik takhta setahun setelahnya, tetapi sebelumnya dia melakukan apa yang senantiasa dilakukan para diktator di belahan dunia lain. Pinochet menghancurkan sisa-sisa kekuatan politik kiri yang jadi alasan di balik keberhasilan Allende menjadi orang nomor satu di Cile. Ribuan orang dilenyapkan haknya sebagai manusia, termasuk sejumlah orang asing.
Dua dari ratusan orang asing yang menjadi korban Pinochet ini adalah Charles Horman dan Frank Teruggi. Keduanya merupakan jurnalis asal Amerika Serikat dan ini agak ironis karena Pinochet sendiri naik takhta karena sokongan rezim Richard Nixon. Horman dan Teruggi menjadi korban perang proksi antara Blok Barat dan Blok Timur. Mereka berdua dieksekusi di Stadion Nasional Cile di Santiago.
Stadion Nasional yang berdiri sejak 1938 itu memang menjadi salah satu lokasi favorit Pinochet dan junta militernya untuk menyiksa serta membunuhi para insurgen. Salah satu pertimbangannya adalah soal kapasitas. Di sana, rezim militer Cile bisa menampung sampai kurang lebih 7.000 orang. Para lelaki ditawan di area lapangan dan tribune, sementara para perempuan disekap di ruang ganti.
ADVERTISEMENT
Reputasi buruk Stadion Nasional Cile ini masih terdengar bahkan sampai hampir tiga dasawarsa sejak Pinochet lengser pada 1990. Lewat pelbagai kesaksian, laporan, sampai film, stadion ini digambarkan sebagai tempat untuk menjemput ajal. Pada 2008 silam, pemerintah Cile bahkan sampai harus mengganti namanya menjadi Estadio Nacional Julio Martinez Pradanos ― dari nama seorang jurnalis dan komentator sepak bola legendaris ― untuk mengenyahkan reputasi kelam tadi.
Bagaimana Pinochet dan junta militernya memperlakukan Stadion Nasional ini memang pada akhirnya menjadi narasi utama dari perjalanan sejarah arena tersebut. Akan tetapi, ada sebuah narasi sampingan yang tak bisa diabaikan begitu saja. Sebelas tahun sebelum kudeta terjadi, Stadion Nasional Santiago juga pernah menjadi ajang pertumpahan darah dalam Pertempuran Santiago (Battle of Santiago).
ADVERTISEMENT
Setelah sempat berhenti selama 12 tahun, Piala Dunia digelar untuk keempat kalinya pada 1950 di Brasil. Namun, dalam dua gelaran berikutnya, 1954 dan 1958, turnamen ini selalu diadakan di Eropa, tepatnya di Swiss dan Swedia. Hal ini membuat negara-negara Amerika Selatan meradang. Kalau Piala Dunia edisi 1962 sampai digelar lagi di Eropa, mereka akan melakukan boikot.
Awalnya, Argentina mengajukan diri untuk menjadi tuan rumah. Mereka pun cukup dijagokan lantaran dianggap punya infrastruktur sepak bola yang cukup memadai. Akan tetapi, pada akhirnya FIFA memilih negara tetangga, Cile, sebagai tuan rumah.
Meski berstatus sebagai underdog saat pemilihan tuan rumah, Cile berhasil membuktikan diri bahwa mereka layak didapuk menjadi tuan rumah. Persiapan mereka kebut sedemikian rupa, termasuk dengan merenovasi Stadion Nasional. Perubahan utama yang dilakukan pada stadion ini adalah dengan memperbesar kapasitas sehingga akhirnya bisa menampung 95 ribu penonton.
ADVERTISEMENT
Sayang, persiapan apik Cile ini tersendat. Pada 1960, gempa terbesar yang pernah terekam dalam sejarah manusia terjadi di Valdivia. Gempa 9,5 magnitudo itu lantas menyebabkan tsunami yang akhirnya menghancurkan banyak kota di Cile dan memakan ribuan korban jiwa. Impak gempa inilah yang nantinya belum akan bisa diatasi sepenuhnya oleh Cile ketika Piala Dunia dimulai.
Para peserta Piala Dunia pun datang dengan mendapati negara tuan rumah masih babak belur di sana sini. Meski demikian, segala kebutuhan turnamen berhasil dirampungkan tepat waktu. Keberhasilan Cile melakukan ini mendapat pujian dan sambutan hangat dari berbagai negara di dunia.
Kecuali Italia.
Corrado Pizzinelli dari La Nazione dan Antonio Ghirelli dari Corriere della Sera adalah dua jurnalis yang diterjunkan untuk meliput langsung Piala Dunia 1962 di Cile. Ketika negara-negara lain memberi pujian, kedua orang itu memilih untuk menebar cercaan.
ADVERTISEMENT
Mereka mendeskripsikan Santiago sebagai sebuah kota kumuh di mana 'telepon tidak tersambung, mencari taksi sulitnya seperti mencari suami yang setia, untuk mengirim telegram mahalnya setengah mati, untuk menerima surat perlu waktu lima hari, dan jalan-jalannya dipenuhi pelacur'. Selain itu, mereka juga menyebut orang-orang Santiago rentan terhadap 'malnutrisi, kebodohan, alkoholisme, dan kemiskinan'.
Pizzinelli dan Ghirelli nantinya akan menyangkal telah menulis hal-hal semacam itu. Menurut mereka, kata-kata yang ditulis sudah didistorsi. Akan tetapi, orang-orang Cile tidak percaya dan kedua orang ini pun akhirnya harus kabur meninggalkan Cile. Parahnya lagi, kelakuan dua orang ini membuat seorang penulis asal Argentina dipukuli orang karena dianggap mirip dengan salah satu dari mereka.
Kontroversi ini sebenarnya bisa saja dihindari seandainya artikel Pzzinelli dan Ghirelli bisa ditahan. Akan tetapi, pers Cile kemudian mendapatkan informasi perihal keberadaan artikel tadi. Bahkan, harian El Mercurio mendistorsi isi artikel itu supaya lebih kontroversial lagi. Harian lain, Clarin de Santiago, menerbitkan artikel tersebut dalam bahasa Spanyol dengan disertai tajuk 'Perang Dunia'.
ADVERTISEMENT
Amarah publik Cile meledak. Tak pelak, kontingen Italia pun dijadikan sasaran tembak saat bersua dengan Tim Nasional (Timnas) kebanggaan mereka di partai kedua Grup 2.
Situasinya, bagi Italia, ketika itu juga pelik. Di pertandingan pertamanya, Sandro Salvadore dkk. hanya mampu bermain imbang tanpa gol dengan Jerman Barat . Di laga lain, Cile sukses menumbangkan Swiss dengan skor 3-1. Untuk menjaga peluang lolos, Italia harus menang menghadapi Cile, bagaimana pun caranya.
Italia yang terjepit tahu bahwa Cile sedang marah besar. Itulah mengapa, sehari sebelum pertandingan mereka mengajukan protes kepada FIFA atas penunjukan wasit asal Spanyol untuk memimpin laga. Mereka tidak mau kalau wasit yang punya kedekatan bahasa itu kemudian menguntungkan tuan rumah. Akhirnya, FIFA mengalah dan menunjuk wasit asal Inggris, Ken Aston.
ADVERTISEMENT
Aston merupakan wasit yang memimpin laga antara Cile dan Swiss. Dari laga itu, pria kelahiran 1915 tersebut banyak memberikan keuntungan bagi Leonel Sanchez dan koleganya. Italia sebenarnya tidak puas dengan keputusan FIFA ini tetapi kemudian tetap menerimanya.
Namun, sekuat apa pun Italia mencoba untuk mencari keuntungan, pada hari pertandingan, 2 Juni 1962, semuanya jadi percuma. Tak ada wasit yang bisa mengontrol pertandingan semacam itu. Terlebih, salah satu dari asisten wasit yang membantu Aston, Leo Goldstein, kompetensinya dipertanyakan. Banyak yang menganggap Goldstein ditunjuk jadi wasit Piala Dunia semata-mata karena dia lolos dari Holocaust setelah mengaku bisa mewasiti pertandingan sepak bola.
Persis sebelum sepak mula, para pemain Italia melakukan upaya terakhir untuk merebut hati publik Cile. Mereka berlarian ke berbagai sudut lapangan untuk memberi bunga kepada para penonton. Namun, yang terjadi adalah bunga-bunga itu dilemparkan balik ke arah pemain Lo Nazionale. Hari itu, Italia akan ditelan hidup-hidup.
ADVERTISEMENT
Dan benar saja. Baru 12 detik laga berjalan, Aston sudah meniup peluit tanda terjadinya pelanggaran. Ini adalah awal dari segala tingkah laku brutal yang berjalan sampai laga kelar nanti.
Tak sampai lima menit usai pelanggaran pertama tadi, Aston mengusir gelandang Italia, Giorgio Ferrini. Penggawa Torino itu beraksi keras terhadap aksi tak terpuji pemain Cile, Honorino Landa, yang menendangnya. Aston yang melihat jelas reaksi keras Ferrini itu langsung melakukan pengusiran.
Akan tetapi, Ferrini bergeming. Dia tidak terima diusir karena wasit tidak memberi peringatan apa-apa kepada Landa. Selama kurang lebih sepuluh menit laga tertunda karena protes Ferrini ini sampai akhirnya, polisi ― ya, polisi ― harus turun tangan. Oleh aparat keamanan, pemain berposisi gelandang bertahan itu digiring keluar lapangan.
ADVERTISEMENT
Pengusiran pemain kedua ― saat itu belum ada kartu merah dan kuning ― untuk pasukan Paolo Mazza terjadi jelang babak pertama usai. Kejadian ini berawal dari provokasi yang dilakukan oleh winger Leonel Sanchez yang menduduki bola setelah mendapat umpan dari kiper. Apa yang dilakukan Sanchez itu menyulut amarah wing-back Italia, Mario David.
David yang melihat Sanchez menduduki bola berusaha untuk merebut bola secara paksa. Sanchez pun terjatuh, tetapi setelah itu langsung bangkit dan memberi hook kiri ke arah dagu David. Meski kejadian itu hanya berjarak beberapa meter dari Goldstein, sang asisten wasit tak memberi sinyal apa-apa kepada Aston. Sanchez pun lolos dari hukuman.
Namun, Sanchez akhirnya harus benar-benar menghadapi murka dari David. Pemain Milan itu pun kemudian menendang kepala Sanchez dengan tendangan kung fu. Celakalah bagi David karena saat dia melakukan balas dendam itu, Aston melihat. Alhasil, David harus menyusul Ferrini masuk kamar ganti lebih cepat.
ADVERTISEMENT
Nantinya, pada babak kedua, Sanchez akan kembali melayangkan tinjunya. Korban kedua pemain Universidad de Chile itu adalah Humberto Maschio yang mengalami patah hidung. Lagi-lagi, Sanchez lolos dari hukuman dan itulah yang kemudian menyebabkan mental para pemain Italia benar-benar runtuh.
Sejak itu, mereka kemasukan dua gol ― salah satunya lahir dari assist Sanchez ― dan peluang lolos ke fase gugur semakin kecil. Italia sendiri nantinya gagal lolos ke fase gugur meski sukses menghajar Swiss 3-0 karena di saat bersamaan Jerman Barat berhasil menundukkan Cile 2-1. Jerman Barat dan Cile pun melenggang.
Seusai laga, kontroversi kian menjadi. FIGC melayangkan nota protes resmi kepada FIFA. Mereka mengutuk kepemimpinan Aston dan mengatai para pemain Cile dengan sebutan 'kanibal'. Sebaliknya, Federasi Sepak Bola Cile (FFC) pun demikian. Salah satu pejabat mereka, Jorge Pica, bahkan menuduh para pemain Italia sengaja melakukan doping demi menyakiti para pemain Cile.
ADVERTISEMENT
Di luar sepak bola, situasinya lebih panas lagi. Setelah kejadian itu, kontingen Italia pun dilarang memasuki bar dan restoran setempat. Sebagai aksi balas dendam, aksi massa juga terjadi di Kedutaan Besar Cile di Roma. Gedung Kedubes Cile itu bahkan akhirnya sampai harus dijaga oleh tentara.
Menanggapi hal itu, FIFA kembali menunjukkan inkompetensinya. Satu-satunya orang yang dijatuhi hukuman retrospektif adalah Ferrini yang mendapat larangan bermain satu laga.
Sementara, Sanchez, David, dan Aston lolos dari hukuman. Presiden FIFA kala itu, Sir Stanley Rous, bahkan kemudian mengundang Aston untuk duduk di Komisi Wasit. Aston sendiri tampaknya lebih nyaman bekerja di tempat barunya karena kemudian dia berhasil membuat terobosan dengan memperkenalkan kartu kuning dan merah di Piala Dunia 1970.
ADVERTISEMENT
Pertempuran Santiago ini bukanlah satu-satunya pertandingan penuh kekerasan di Piala Dunia 1962. Pada gelaran ini, Pele bahkan harus pulang ke Brasil lebih cepat karena ditendangi tanpa henti.
Kemudian, ada pula laga Argentina vs Bulgaria yang diwarnai 69 tendangan bebas, laga Uni Soviet vs Yugoslavia yang diwarnai patahnya kaki Eduard Dubinski dari Rusia, serta laga Yugoslavia vs Uruguay yang diwarnai perkelahian massal dan dua pengusiran. Meski demikian, Pertempuran Santiago-lah yang paling menonjol dari semua.
Seusai laga, Aston bersaksi bahwa dia sudah melakukan apa yang dia bisa.
"Aku tahu ini bakal jadi laga sulit, tetapi kenyataannya laga ini justru sama sekali tidak bisa ditangani. Kalau aku tidak punya rasa hormat pada diriku sendiri, aku sudah tinggalkan pertandingan itu," ucap Aston yang juga jadi korban dengan mengalami cedera ligamen, seperti dikutip dari The Guardian.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Aston juga mengeluhkan inkompetensi para asistennya, terutama Goldstein yang menyaksikan secara jelas kejadian Sanchez vs David.
"Saat itu aku sedang berdiri membelakangi kejadian. Apabila hakim garis atau wasit tak melihat apa-apa, ya tak ada yang bisa dilakukan. Aku, sih, yakin hakim garis melihat kejadian itu, tetapi dia memutuskan untuk tidak memberi tahuku. Asistenku memang tidak begitu bagus, sehingga jadinya seperti aku melawan 22 pemain," lanjut Aston.
Reaksi keras juga lantas berdatangan dari pihak-pihak lain. Presiden DFB, Peco Beuwens, berkata, "Aku tidak pernah melihat wasit Inggris selemah itu."
Media-media pun melontarkan kecaman yang tak kalah pedas. Salah satu dari kecaman paling keras ― tetapi elegan ― datang dari penyiar BBC bernama David Coleman.
ADVERTISEMENT
Ketika itu, rekaman highlight pertandingan baru sampai dua hari setelah pertandingan digelar. Ketika sedang menyiarkannya, Coleman membuka highlight dengan kata-kata legendaris sebagai berikut:
"Selamat malam. Pertandingan yang akan Anda saksikan ini adalah pertandingan paling bodoh, paling mengerikan, paling menjijikkan, dan paling hina dalam sejarah sepak bola. Ini adalah kali pertama kedua tim bertemu; kami berharap ini jadi yang terakhir pula."
"Moto nasional Cile adalah 'Dengan Akal Sehat atau Dengan Kekerasan'. Hari ini, para pemain Cile tidak siap untuk menggunakan akal sehatnya, sementara para pemain Italia hanya menggunakan kekerasan, dan hasilnya adalah bencana untuk Piala Dunia."
***
Pertempuran Santiago bukanlah satu-satunya laga sepak bola yang kemudian mendapat embel-embel 'Pertempuran' di depannya. Pada 1934, Italia yang berstatus juara dunia pernah terlibat dalam Pertempuran Highbury menghadapi Inggris. Di laga itu, Italia yang harus kehilangan Luis Monti akibat patah kaki kalah dengan skor 2-3.
ADVERTISEMENT
Selain Pertempuran Highbury, ada pula Pertempuran Bordeaux antara Brasil dan Cekoslowakia di Piala Dunia 1938, Pertempuran Berne antara Hongaria dan Brasil di Piala Dunia 1954, sampai Pertempuran Nuernberg antara Belanda dan Portugal di Piala Dunia 2006. Meski demikian, tak ada satu pun 'pertempuran' itu yang diawali oleh terlukanya kebanggaan nasional dan hasilnya, tak ada satu pun dari mereka yang impaknya sebesar Pertempuran Santiago.
Italia dan Cile sendiri akhirnya bersua kembali di Piala Dunia pada edisi 1998. Dalam gelaran di Prancis tersebut, dendam yang pernah ada sudah menguap. Meski demikian, Italia tetap gagal membalas kekalahan karena saat itu kedua tim bermain imbang 2-2. Unggul lebih dulu lewat Christian Vieri, Italia kemudian tertinggal karena dua gol Jose Marcelo Salas. Beruntung, ada Roberto Baggio yang menyelamatkan anak-anak asuh Cesare Maldini dari kekalahan.
ADVERTISEMENT