Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Ketika datang pada musim panas 1996, Gianluca Vialli meyakini Chelsea sebagai tempat yang baik.
Selain bisa menghasilkan banyak uang, ia dapat hidup di London. Hal terasyik yang bisa didapat dengan tinggal di London saat itu adalah ketenangan.
Vialli belum menjadi orang tenar di Inggris. Ia bisa menikmati hari dengan tenang tanpa dicegat segerombolan orang yang memburu foto dan tanda tangannya.
Dengan hidup di London, seorang pemain Italia tidak perlu berurusan dengan bos-bos besar aneh bin ajaib, seperti Maurizio Zamparini atau Massimo Cellino.
Hidup sebagai pesepak bola jadi lebih kalem: Bukan santai, tetapi lebih tenang karena dapat menghindar dari hal-hal tak perlu.
Kangen masakan Italia yang kaya rasa, sementara makanan Inggris hambarnya minta ampun? Hei, paling banter makanan pesepak bola aktif adalah dada ayam serta pasta rendah gula dan lemak.
Kalaupun sedih karena merindukan kehangatan Italia, bukankah itu semua sepadan dengan segala ganjaran yang diterima di Premier League yang baru berusia empat musim?
Ada tanda-tanda modernisasi dan kemapanan di sini walau kompetisi ini belum jadi brand darling. Sebagai bagian dari generasi babat alas, kemungkinan besar Vialli bakal mendapat bagian terbaik dan tersegar.
Masalahnya, Vialli datang ke Chelsea.
Jika Chelsea diibaratkan sebagai manusia, ia adalah sosok yang berpikir untuk menjadi besar seperti Manchester United atau Barcelona.
Chelsea dipimpin oleh konglomerat yang menjadikan klub sebagai kanvas untuk menumpahkan ambisi politik dan finansial yang dicampur dengan elegansi dan inteligensi.
United dan Barcelona adalah dua klub yang besar karena otoritas tertinggi pernah dipegang oleh orang yang apa pun jabatannya, mau merawat tradisi.
Masalahnya, tampuk kekuasaan Chelsea tidak diduduki oleh orang yang percaya bahwa kejayaan di atas lapangan sepak bola bisa dicapai dengan merawat tradisi. Cara itu panjang dan ruwet, tetapi mengganjarmu dengan hasil yang awet.
Watak demikian mengerucut pada kepemimpinan Roman Abramovich. Sejak datang ke Stamford Bridge pada 2003, Abramovich mendongkrak produktivitas Chelsea dengan tumpukan uang yang untuk menghabiskannya saja bisa membuat nyawa kita tamat duluan.
Sebelum Abramovich datang, Chelsea dipegang selama 21 tahun oleh pebisnis berwatak mirip yang bernama Ken Bates. Kedatangannya pun diawali dengan hal gila: Ia membeli Chelsea hanya seharga satu poundsterling.
Seabsurd-absurdnya Bates, ia butuh waktu. Sepak bola Eropa zaman itu diikat oleh peraturan ketat. Keleluasaan baru didapat pada 1995. Singkat cerita, Chelsea dan klub-klub lain bisa memanfaatkan status bebas transfer pemain.
Vialli pindah ke Chelsea dengan status itu, kontraknya bersama Juventus habis. Pada 1996, Ruud Gullit yang juga berstatus sebagai pemain mengambil alih jabatan manajer.
Keputusan itu diambil karena Glenn Hoddle didapuk sebagai pelatih Timnas Inggris. Pemain merangkap manajer, demikianlah tugas Gullit saat itu.
Kegilaan Chelsea kian menjadi pada 1996. Di era itu ada kepercayaan bahwa sebuah tim akan menduduki posisi top jika, setidaknya, memiliki tiga pemain asing.
Gullit tak mau tanggung-tanggung. Chelsea dibuatnya sebagai tim yang memiliki 11 pemain asing. Vialli bahkan bukan satu-satunya pemain Italia yang didatangkan Chelsea pada musim panas 1996.
Gianfranco Zola dan Roberto Di Matteo juga diangkut ke Chelsea. Media-media Inggris menyebut keputusan transfer ini sebagai Italian Invasion.
Gullit membentuk Chelsea menjadi tim yang cantik, tetapi mematikan. Kiper sigap, bek tangguh, gelandang pekerja, striker tajam, serta bakat alami nan eksperimental; semua ada di Chelsea.
Di pekan ketiga Premier League, Vialli menggebrak di laga melawan Coventry City dengan mencatatkan gol pada menit 74 dan membawa Chelsea menang 2-0.
Derbi London melawan Arsenal digelar di pekan keempat. Vialli kembali mencetak gol meski laga tuntas dengan skor 3-3. Permainannya yang berani ditambah kepribadiannya yang tak banyak tingkah membikin Vialli dipuja di tanah Inggris.
Bukan berarti segala sesuatunya berjalan mulus bagi Vialli. Tahun belum berganti, ia mesti menghadapi duka yang juga dirasakan seantero Chelsea.
Direktur Chelsea, Matthew Harding, tewas dalam kecelakaan helikopter pada 22 Oktober 1996. Ia sedang dalam perjalanan pulang ke London setelah menonton laga Chelsea di kandang Bolton Wanderers di gelaran Piala Liga Inggris.
Harding dikenal sebagai petinggi yang dekat dengan tim dan dicintai suporter. Kematian mendadak Harding menjatuhkan mental Chelsea. Sepanjang November hingga Desember tak ada satu laga pun yang mereka tutup dengan kemenangan.
Chelsea bangkit, Vialli kembali tajam. Vialli menjadi top skorer tim di Premier League 1996/97 lewat sembilan golnya. Tidak ada trofi Premier League yang mereka persembahkan untuk Harding. Namun, Chelsea menutup musim sebagai kampiun Piala FA.
Epos Vialli juga muncul di turnamen ini. Chelsea mengemas kemenangan 4-2 atas Liverpool di babak keempat. Laga di Stamford Bridge itu awalnya tampak mengecewakan bagi Chelsea. Mereka tertinggal 0-2 dari Liverpool.
Comeback muncul lewat gol Mark Hughes dan Zola. Vialli lantas mencetak gol yang membawa Chelsea unggul 3-2.
Torehan tersebut adalah perpaduan antara assist yang simpel, kecerdikan mengambil posisi, kejelian menghindar dari jebakan offside, dan keberanian mengecoh kiper.
Vialli belum selesai. Dengan sundulan ia mengonversi tendangan bebas Zola menjadi gol yang mengantar Chelsea menang 4-2 dan melangkah ke babak selanjutnya.
Vialli terbiasa menjadi penyerang papan atas sejak di Italia. Selama delapan musim, 141 golnya turut membantu Sampdoria merengkuh enam gelar juara. Ceritanya berlanjut di Juventus. Ia mengemas 53 gol yang membantu Juventus mengamankan lima gelar juara dalam empat musim.
Namun, Chelsea memberi pengalaman berbeda. Setelah 18 bulan berseragam The Blues, Vialli ditunjuk sebagai pemain merangkap manajer persis seperti Gullit. Tugas Vialli bertambah, dari hanya mencetak gol menjadi mencetak gol dan mencari cara agar tim bisa mencetak gol.
Gullit didepak Bates karena Chelsea menelan empat kekalahan beruntun di Premier League selama Februari 1998. Pelatih asal Belanda itu gagal mewujudkan ekspektasi Bates. Vialli pun ditunjuk sebagai suksesor sekaligus manajer Italia pertama di Premier League.
Di sisa musim 1997/98, Chelsea berhasil bangkit. Sebagai pemain plus manajer dadakan, Vialli mempersembahkan tiga gelar juara di musim itu: Piala Liga Inggris, UEFA Cup Winners Cup, dan Piala Super Eropa.
Vialli akhirnya memutuskan untuk pensiun sebagai pemain dan fokus menjadi pelatih. Laga melawan Derby County tidak hanya menjadi laga penutup Premier League 1998/99, tetapi juga epilog cerita Vialli sebagai pemain. Vialli menyelesaikannya dengan elegan, menciptakan gol yang membuatnya dikenang seumur hidup.
Vialli memang bisa mempersembahkan gelar Piala FA 1999/2000 untuk Chelsea di musim perdananya sebagai pelatih penuh waktu. Akan tetapi, menjadi pelatih ternyata berbeda dengan menjadi pemain.
Memiliki pemain hebat di tim ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi kau merasa beruntung karena bisa mengandalkannya, di sisi lain tak jarang kau mesti berurusan dengan ego besar. Dalam kasus Vialli, Zola adalah pemain yang demikian.
Musim 2000/01 dilakoni Vialli dengan menyedihkan. Awalnya, sih, meyakinkan. Taktik Vialli memampukan Chelsea menang 2-0 atas Manchester United dan merengkuh medali juara Community Shield. Chelsea lalu membuka Premier League 2000/01 dengan kemenangan 4-2 atas West Ham United.
Namun, perjalanan Vialli selesai pada 12 September 2000. Itu berarti, hanya sampai pekan kelima Premier League.
Usai laga melawan West Ham tersebut, Chelsea gagal meraih kemenangan dalam empat laga liga secara beruntun. Tiga pertandingan terakhir bahkan selesai dengan kekalahan.
Tak ada pemberitahuan awal tentang pemecatan. Jurnalisme sepak bola Inggris pada 12 September 2000 dibuka dan ditutup dengan berita dari Chelsea.
Hari dimulai dengan berita bahwa Chelsea sedang mengejar pemain West Ham, Paolo di Canio, yang juga merupakan rekan setim Vialli saat masih berkostum Juventus.
Giliran Vialli yang menjadi headline sore. Apes, berita itu tidak bercerita tentang reuni dengan Di Canio, tetapi pemecatan Vialli.
Klub menggelontorkan dana sebesar 23 juta poundsterling jelang Premier League 2000/01. Mengutip kolom Martin Thorpe di The Guardian, Vialli berjanji kepada Bates untuk memenangi gelar juara.
Masalahnya, begitu musim dimulai, Chelsea langsung anjlok. Muncul lagi spekulasi soal friksi di kalangan pemain Chelsea. Menurut Thorpe, Frank Lebeouf, Didier Deschamps, dan Dan Petrescu menyuarakan ketidaknyamanan mereka akan manajemen klub.
Lebeouf menyebut Vialli bermasalah dengan semua orang. Petrescu mengeklaim bahwa suporter ingin ia bermain, tetapi Vialli tidak.
Menurut Bates, Vialli mengambil keputusan taktik yang keliru dengan merotasi skuat. Situasi ini justru membuat penampilan dan mental tim jatuh saat bertanding.
Tidak ada penjelasan pasti tentang apa yang terjadi. Namun, bukan tak mungkin keputusan bongkar pasang skuat itu dilakukan Vialli demi memberikan jam terbang yang layak kepada seluruh tim. Konon para petinggi Chelsea berang karena Zola tak selalu mendapat tempat akibat rotasi ini.
Di Chelsea, Zola ibarat Roberto Mancini untuk Vialli. Saat masih berstatus sebagai pemain Chelsea murni, Vialli bahkan pernah mengeklaim gol yang disebut sebagian orang sebagai dicetak oleh Zola sebagai golnya.
Perdebatan di antara penonton muncul, tetapi Zola dan Vialli tenang-tenang saja. Zola merespons perdebatan itu dengan tersenyum dan berkata bahwa ia senang karena gol itu menjadi gol Vialli.
Fragmen itu menggambarkan keduanya sebagai karib. Berangkat dari perjalanan keduanya sebagai pemain, Vialli seperti punya beban lebih untuk membuktikan kepada tim bahwa ia tak pilih kasih. Sayangnya, hasil tak sesuai harapan.
Di antara seluruh pemain Chelsea saat itu, hanya Graeme le Saux yang angkat bicara dan membela Vialli. Katanya, semua pemain terpukul dan tidak paham apa yang terjadi.
Dalam wawancara kepada Telegraph, Zola menyebut bahwa ia selalu menghormati Vialli sebagai manajer Chelsea. Betul ada banyak keputusan yang membuatnya tidak senang, tetapi ia tahu betul kapasitas dan wewenang Vialli.
"Saya tidak sepakat dengan Vialli dalam banyak hal. Namun, saya rasa klub ini juga tidak bodoh sehingga berpikir: Wah, kita harus menyingkirkan Vialli karena Gianfranco Zola tak senang," tutur Zola kepada Telegraph pada 2000.
"Saya menghabiskan tiga tahun bersama Vialli. Saya selalu menerima apa yang dilakukannya walau kadang-kadang saya juga tidak senang. Misalnya, saat saya harus dicadangkan atau ditarik dari lapangan," lanjut Zola.
"Kamu boleh tidak setuju dengan seseorang, tetapi yang terpenting, sikapmu tidak boleh sembarangan. Ada waktu-waktu tertentu saat saya punya ide sendiri. Namun, karena saya ini sudah dewasa, ya, saya menghormati keputusannya sebagai pelatih."
"Saya pikir semua orang juga begitu. Saya tidak bisa bertanggung jawab atau merasa bersalah untuk segala hal yang terjadi," tegas Zola.
28 September 2000, Chelsea berlaga melawan klub Swiss, St. Gallen, di leg kedua babak pertama Liga Europa 1999/2000. Chelsea datang ke markas St. Gallen, Stadion Hardturm, dengan kemenangan 1-0 di leg pertama.
Gabriele Marcotti, jurnalis Italia sekaligus teman dekat Vialli, bercerita bersama James Horncastle dan James 'Jimbo' Richardson dalam Golazzo Podcast bahwa Vialli menonton pertandingan itu.
Chelsea yang diasuh oleh Claudio Ranieri pulang dengan kepala tertunduk. Mereka tersingkir dari kompetisi Eropa akibat kekalahan agregat 1-2. Di leg kedua tersebut, Chelsea tumbang 0-2.
"Kekalahan itu membuat Luca [Vialli] sangat sedih. Setelahnya, ia tidak terlihat menonton pertandingan Chelsea dalam waktu yang lama."
***
Catatan editorial:
Lewat seri 'Invasi Calcio ke Britania ' ini kami akan mengajak Anda berkelana ke dekade 1990-an ketika Premier League masih baru belajar berjalan.
Pada fase itu, ada sejumlah pemain Italia yang datang untuk 'membantu' sepak bola Inggris bergerak ke masa depan. Kami ajak Anda berkenalan lebih dekat dengan mereka.
***
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!
Ayo, ikutan Home of Premier League dan menangi uang tunai Rp50.000.000. Buruan daftar di sini .