Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Nyatanya, Seedorf memang bukan pemain sembarangan. Kamu tahu swiss army knife? Seperti itulah sosok kelahiran Suriname ini: Serbabisa. Sebagai pemain, Seedorf selalu ingin mempelajari aspek taktikal dalam sepak bola demi membantu timnya.
"Saat masih menjadi pemain, saya selalu dianggap sebagai pelatih saat kami bertanding di lapangan. Ada bagian dari diri saya yang selalu ingin dekat dan belajar dari para pelatih. Saya merasa itulah karakter saya," aku Seedorf dalam kolomnya di The Guardian.
"Saya tertarik dengan aspek kepemimpinan dan taktikal dalam sepak bola. Tapi, saya juga tertarik dengan manusia. Ketika ada konflik dalam tim, saya selalu berusaha mencari jalan keluar. Itu terjadi selama kurang lebih 20 tahun," imbuhnya.
Karena hasrat inilah, ke mana pun Seedorf melangkah, dia hampir selalu menemukan kesuksesan.
Karier sepak bola profesional Seedorf bermula di Ajax Amsterdam . Pada 1992 dia menjalani debut dan berselang tiga musim dia menjuarai Liga Champions perdananya bersama tim berjuluk De Godenzonen tersebut. Tentu, peran Seedorf ketika di Ajax begitu penting.
Saat di Ajax, Seedorf berperan sebagai gelandang tengah. Dia ditandemkan bersama Frank Rijkaard dan Edgard Davids dalam pakem 3-3-4 khas Louis van Gaal. Dengan kemampuan dribel dan operan yang mumpuni, dia pun tak tergantikan di posisi ini.
Kemudian Seedorf pergi meninggalkan Ajax dan pindah ke Sampdoria di musim panas 1995. Semusim berselang, dia hijrah ke Real Madrid . Seperti di Ajax, Seedorf menjadi sosok kunci di tim berjuluk Los Blancos itu dan ini bahkan sudah terlihat sejak musim perdana.
Berperan sebagai gelandang serang, Seedorf merasakan titel La Liga perdananya di Madrid pada musim 1996/97. Nah, di musim keduanya, Seedorf sukses menjuarai Liga Champions.
Namun, kisah Seedorf di Madrid tak berakhir indah. Pada akhir musim 1998/99, Madrid ingin melakukan tukar guling Seedorf dengan Zinedine Zidane, yang kala itu masih membela Juventus.
Rencana ini pada akhirnya memang urung terjadi, tetapi perannya di tim terus dikurangi. Pada akhirnya, Seedorf pun pindah ke Inter Milan pada Desember 1999 dengan mahar 23 juta euro. Kemudian dia menyeberang ke tim rival, AC Milan , pada pada 2002.
Bersama Milan, Seedorf kembali berjaya. Dia menjadi pelengkap dalam komposisi lini tengah I Rossoneri, yang sebelumnya sudah diisi Gennaro Gattuso, Manuel Rui Costa, Andrea Pirlo. Kuartet ini menjadi kunci Milan menyegel titel Liga Champions di musim 2002/03.
Nah, di musim panas 2003, Ricardo Kaka datang ke Milan. Demi mengakomodir kreativitas Kaka dan Rui Costa sekaligus, Seedorf diminta bermain lebih ke dalam dan ini berarti dia juga harus ikut dalam urusan defensif.
Nyatanya, dia tak menemukan hambatan berarti dalam menjalani peran barunya. Memang, sih, Seedorf dan Milan harus merasakan kegagalan menjadi juara Liga Champions pada 2004/05.
Tapi, di 2006/07, Seedorf berhasil menjadi gelandang terbaik di Eropa. Pada musim tersebut pula dia kembali merasakan titel Liga Champions bersama Milan. Usianya boleh terus bertambah, tapi dia tetap andalan Milan hingga hijrah ke Botafogo pada 2012.
Dua musim di Botafogo, Seedorf gantung sepatu. Jagat sepak bola pun mengenalnya sebagai pemenang karena selain 4 titel Liga Champions tadi, dia sudah merasakan 21 trofi sebagai pemain.
***
*kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!