Dari Pahlawan Menjadi Musuh, Itulah Iker Casillas di Real Madrid

19 Februari 2020 15:44 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Iker Casillas. Foto: AFP/MIGUEL RIOPA
zoom-in-whitePerbesar
Iker Casillas. Foto: AFP/MIGUEL RIOPA
Di Real Madrid, Iker Casillas pernah berada di dua kutub berbeda. Sekali waktu ia menjadi pahlawan, di waktu lain ia menjadi musuh.
Kepahlawanan Casillas di Madrid adalah perjalanan panjang. Ia memulainya sejak 1990 saat masih berstatus sebagai pemain junior. Meski dipanggil ke tim senior pertama kali pada 27 November 1997, 1999 menjadi tahun pertama Casillas jadi bagian dari skuat senior.
Debut Casillas bersama Madrid ada di Liga Champions 1999/2000, tepatnya pada 15 September 1999. Saat itu, Madrid berlaga melawan Olympiacos dan Casillas jadi starter. Hasilnya tak impresif, berakhir dengan kedudukan 3-3.
Perlahan tetapi pasti Casillas menjadi kiper nomor satu Madrid. Sepanjang kariernya sebagai pemain senior Madrid, ia mempersembahkan 19 trofi.
Perjalanan Casillas bersama Madrid tidak melulu yang indah-indah. Kariernya mulai menurun pada 2012/13. Sebenarnya bukan karena Casillas bertingkah yang aneh-aneh atau bagaimana. Casillas mesti menepi selama tiga bulan akibat patah tangan.
Iker Casillas dan trofi Liga Champions Real Madrid. Foto: FRANCK FIFE / AFP
Jose Mourinho yang waktu itu berstatus sebagai pelatih Madrid merespons situasi dengan mendatangkan Diego Lopez. Setelahnya, Madrid tak pernah sama lagi buat Casillas.
Bahkan setelah Casillas sembuh pun, ia tidak lagi menjadi pilihan utama Mourinho. Situasi menjadi pelik setelahnya karena mulai menjurus ke kontrak profesional. Spekulasi yang beredar saat itu, Madrid ingin mendatangkan David de Gea.
Di sisi lain, Casillas sebenarnya juga ingin angkat kaki dari Santiago Bernabeu. Masalahnya, ketika itu Casillas masih memiliki sisa kontrak selama dua tahun sampai 2017 yang nilainya mencapai 30 juta euro. Casillas ingin Madrid membayar kontrak tersebut sementara Madrid enggan membayar.
Bila ditarik mundur lagi, Casillas mulai bermasalah dengan Madrid sejak 2011. Ini ada kaitannya dengan sikap provokatif Mourinho--pelatihnya saat itu--kepada Barcelona. Casillas menganggap Mourinho memperuncing rivalitas Barcelona dengan memanaskan ruang ganti saat El Clasico.
Posisi awalnya, sempat ada friksi antara Casillas dan dua pemain Barcelona saat itu, Xavi Hernandez dan Carles Puyol. Awalnya Casillas diam-diam saja, tetapi lama-kelamaan jengah dengan sikap Mourinho.
Iker Casillas, Vicente del Bosque, trofi Piala Eropa 2012. Foto: DANI POZO / AFP
Casillas merupakan kapten Timnas Spanyol untuk Piala Eropa 2012. Di matanya, kondisi seperti ini bisa merusak hubungannya dua rekan setimnya di Spanyol tersebut.
Casillas mengambil langkah berani dan wajar sekaligus. Ia mulai meredakan tensi dengan Puyol dan Xavi. Hubungan ketiganya membaik, Spanyol berjaya dengan menjadi kampiun Piala Eropa 2012.
Mourinho konon tak terima. Baginya, Casillas cuma milik Madrid, sedangkan Puyol dan Xavi hanya milik Barcelona. Tidak ada 'timnas-timnasan'. Rivalitas Barcelona dan Madrid harus dihidupi, bahkan sampai di luar lapangan.
Singkat cerita, Mourinho merasa Casillas sebagai anak bengal yang menentangnya. Ia menganggap Casillas sebagai pemberontak berwajah kalem, serigala berbulu domba, musuh dalam selimut.
Prasangka Mourinho tak hanya menjadi miliknya sendiri, tetapi diwariskan ke suporter. Mourinho itu media darling. Ke mana pun dia pergi, awak media datang mengerubungi.
Pada akhirnya kebencian itu menjangkiti para suporter. Mereka bahkan menyebut Casillas sebagai el topo yang bila diterjemahkan secara plastis dalam bahasa Indonesia berarti mata-mata.
Tensi ruang ganti akhirnya mereda. Carlo Ancelotti yang datang sebagai pengganti Mourinho dianggap berhasil 'mempersatukan' kembali Casillas dengan Madrid. Casillas turun gunung. Ia bertanding lagi bersama saudara-saudaranya, mengusahakan kemenangan, menanggung kekalahan, dan merayakan La Decima.
Iker Casillas di konferesi perpisahannya sebagai pemain Real Madrid. Foto: PIERRE-PHILIPPE MARCOU / AFP
12 Juli 2015 Casillas duduk di ruang konferensi pers. Kamera wartawan memburunya tanpa ampun. Ia memulai jumpa pers hari itu dengan ucapan terima kasih, berhenti beberapa saat karena menangis, dan menutupnya dalam diam.
Sembilan menit lamanya Casillas bicara. Sembilan menit itu berlalu begitu saja. Tanpa pelukan, tanpa kehangatan, bahkan tanpa pertanyaan mengapa Casillas meninggalkan Madrid.
Untuk pertama kalinya--dan mungkin terakhir--Casillas membagi kesunyian. Dua puluh lima tahun di Madrid, perjalanan yang dimulainya sejak bocah, berakhir dengan cara seperti itu.