Dengan Caranya Sendiri, Schweinsteiger Menjadi Pemenang

9 Oktober 2019 15:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bastian Schweinsteiger, sang pemenang itu. Foto: Christof STACHE / AFP
zoom-in-whitePerbesar
Bastian Schweinsteiger, sang pemenang itu. Foto: Christof STACHE / AFP
ADVERTISEMENT
And now, the end is near
And so I face the final curtain...
ADVERTISEMENT
Bastian Schweinsteiger telah mengambil keputusan. Mulai Selasa (8/10/2019), berakhirlah kisahnya sebagai seorang pesepak bola. Keputusan yang diambil sang Fussballgott dengan rasa puas, bangga, dan ikhlas atas segala yang kadung terjadi.
Berakhirnya kisah Schweinsteiger di lapangan hijau ini sejiwa dengan syair yang dilantunkan Frank Sinatra dalam tembang 'My Way'. Setelah melewati jalan panjang yang berliku, ketika waktunya tiba, Schweinsteiger undur diri dengan lapang dada.
Ada kemiripan, memang, antara Schweinsteiger dan Sinatra. Kedua sosok itu, dalam bidang keahliannya masing-masing, memiliki karier penuh kegemilangan.
Sepanjang kariernya sebagai musisi, Sinatra telah menjual lebih dari 150 juta kopi album. Plus, sosok yang juga berkarier sebagai aktor ini sudah merasakan gelar prestisius dalam bidang hiburan seperti Grammy, Oscar, hingga Golden Globe.
ADVERTISEMENT
Sementara, Schweinsteiger sudah merasakan hampir segala gelar yang ditawarkan dunia sepak bola. Paling mewah, tentu, trofi Liga Champions yang dimenanginya bersama Bayern Muenchen di 2013 dan Piala Dunia bersama Timnas Jerman setahun berikutnya.
Tentu, ada batu sandungan di balik kisah gemilang Schweinsteiger sebagai seorang pesepak bola. Tetapi, seperti yang dinarasikan Sinatra dalam lagu legendarisnya itu tadi, terlalu sedikit yang bisa diratapi Schweinsteiger di masa pensiunnya.
Karena Schweinsteiger tahu, dia sudah menjalani hidup sebaik yang dia bisa dengan caranya sendiri.
***
... I've lived a life that's full
I traveled each and every highway ...
Tak seperti Frank Sinatra yang sejak remaja sudah terobsesi dengan musik, Schweinsteiger sendiri mulanya tak tertarik menjadi pesepak bola. Cita-citanya adalah menjadi atlet ski, dan sebenarnya dia memiliki potensi sukses di bidang itu.
ADVERTISEMENT
Sebagai bukti, sahabatnya, Felix Neureuther, sudah sering dikalahkannya dalam olahraga adu cepat di atas salju itu. Namun, pada 2001, Bayern Muenchen datang mengetuk pintu Schweinsteiger. Di matanya, tawaran ini tak bisa ditolak.
Maka, Schweinsteiger memutuskan untuk berpisah jalan dengan Neureuther. Neurehuther tetap di bidang ski dan meraih medali perak di Kejuaraan Ski Dunia 2013. Sementara, Schweinsteiger dengan cepat menjadi idola baru tim berjuluk Die Roten itu.
Tahun 2001 dan 2002, Schweinsteiger sudah mempersembahkan titel Bundesliga U-17 dan U-19 untuk Bayern. Atas sebab itulah sosok yang akrab disapa Schweini ini bisa 'naik kelas' ke tim cadangan Bayern pada Juli 2002.
Bastian Schweinsteiger memperkuat Bayern Muenchen di tahun 2007. Foto: Wikimedia Commons
Sekitar empat bulan kemudian, Schweinsteiger sudah menjalani debut bersama tim senior Bayern. Tepatnya di laga Liga Champions melawan RC Lens, sosok yang kala itu berusia 18 tahun itu masuk sebagai pemain pengganti pada menit akhir.
ADVERTISEMENT
Meski cuma sebentar bermain, Schweinsteiger sukses bikin assist untuk Markus Feulner. Laga ini pun berakhir dengan skor 3-3. Di bulan yang sama, yakni November 2002, Schweinsteiger resmi menandatangani kontrak profesional bersama Bayern.
Selama di Bayern, Schweinsteiger sudah merasakan tampil di berbagai posisi. Di periode pertama Ottmar Hitzfeld (1998-2004), dia merupakan seorang full-back. Pada era Felix Magath (2004-2007), dia bergerak sebagai pemain sayap.
Sementara, pelatih Bayern dari 2009 hingga 2011, Louis Van Gaal, menempatkannya di posisi gelandang tengah. Segala peran ini mampu dijalankannya tanpa kendala. Bahkan, sebagai seorang gelandang, Schweinsteiger mampu mencapai potensi terbaiknya.
Sebagai cherry on top dalam kegemilangan Schweinsteiger di atas lapangan, dia sudah merasakan 8 titel Bundesliga dan 7 gelar DFB Pokal. Meski begitu, bukan berarti tidak ada hambatan dalam karier Schweinsteiger ketika masih membela Bayern.
ADVERTISEMENT
Kesuksesan ini membuat bebannya membantu Bayern menjuarai Liga Champions dari hari ke hari kian berat. Terutama, karena tim raksasa asal Jerman itu sudah berkali-kali gagal menjuarai kompetisi terelite se-Eropa itu.
Di 2010, timnya sampai final hanya untuk takluk 0-2 dari Inter Milan. Dua tahun kemudian, kandang Bayern, Allianz Arena, menjadi tuan rumah final Liga Champions. Ironisnya, mereka pun dipecundangi Chelsea sesampainya di final.
Bastian Schweinsteiger mengangkat trofi Liga Champions. Foto: ANDREW YATES / AFP
Baru pada 2013 harapan itu berhasil diwujudkan Schweinsteiger. Lawan Bayern di final adalah Borussia Dortmund, dan Bayern pun berhasil menggenggam kemenangan tipis 2-1 di Wembley Stadium.
Di tahun yang sama, Schweinsteiger dianugerahi sebagai Pemain Jerman Terbaik versi DFB dan sempat dinominasikan sebagai Pemain Terbaik Eropa versi UEFA.
ADVERTISEMENT
Hambatan yang didapatkan Schweinsteiger itu tidak cuma dia alami di Bayern. Di Timnas Jerman pun situasinya seperti itu. Schweinsteiger harus merasakan berkali-kali patah hati sebelum mendapatkan yang dia inginkan.
Die Mannschaft hanya bisa tempati peringkat ketiga di Piala Konfederasi 2005, juga di Piala Dunia 2006 dan 2010. Lalu, di Piala Eropa 2008, mereka harus puas jadi runner-up. Barulah pada 2014 Jerman sukses membawa pulang titel Piala Dunia keempat mereka.
Dalam keberhasilan Jerman ini, Schweinsteiger punya andil besar. Pelatih Jerman, Joachim Loew, menyebutnya sebagai otak di balik permainan brilian tim selama turnamen. Dengan pengalaman segudang, Schweinsteiger menjadi pemimpin di ruang ganti yang saat itu didominasi pemain-pemain muda.
Bastian Schweinsteiger mengangkat trofi Piala Dunia 2014. Foto: Wikimedia Commons
***
ADVERTISEMENT
... Regrets, I've had a few
But then again, too few to mention ...
Lagu 'My Way' dirilis Sinatra pada 1968, dan inilah cara terakhir penyanyi berdarah Italia itu membuktikan namanya masih relevan di kultur pop. Sebelumnya, rock 'n roll terus menghajarnya mundur dan membuatnya kepikiran untuk pensiun.
Dengan semangat serupa, Schweinsteiger pun meninggalkan Bayern pada musim panas 2015. Tujuannya adalah Manchester United, dan di sana Schweinsteiger ingin membuktikan pada dunia bahwa dia bisa sukses di tanah mana pun yang dia pijak.
Namun, pada akhirnya, semua orang tahu bagaimana jadinya. 'My Way' meledak di luar ekspektasi Sinatra dan menjadi all-time classic. Sementara, Schweinsteiger hanya menjadi footnote dalam sejarah megah tim yang bermarkas di Old Trafford itu.
ADVERTISEMENT
Di musim debutnya, memang Schweinsteiger merasakan titel Piala FA. Kendati demikian, kontribusinya dalam gelar tersebut begitu minim karena masalah kebugaran. Di musim 2016/17, United dilatih Jose Mourinho dan Schweinsteiger pun diturunkan ke tim U-23.
Schweinsteiger meninggalkan United. Foto: Gareth Copley/Getty Images
Sadar telah salah langkah, Schweinsteiger pada akhirnya menerima pinangan Chicago Fire pada Maret 2017. Chicago Fire jelas bukanlah tim megah di MLS, tetapi di sanalah Schweinsteiger bisa merasakan kembali menjadi sosok penting dan dicintai oleh sebuah tim.
Selama tiga tahun di Amerika, Schweinsteiger sudah total membikin 7 gol dan 9 assist. Catatan yang tentu tak bisa dipandang sepele untuk pemain yang sudah tak muda lagi. Karena terus tampil apik, dia pun masuk dalam skuat MLS All-Star pada 2017 dan 2019.
ADVERTISEMENT
Namun, kisah Schweinsteiger selama di Chicago Fire tak hanya soal aksi di atas lapangan saja. Setahun silam, tim berjuluk Men in Red bekerja sama dengan Bayern untuk menggelar laga testimonial Schweinsteiger di Allianz Arena.
Laga itu, tak diragukan lagi, tak hanya merupakan satu malam terbaik dalam karier Schweinsteiger, tetapi, juga dalam hidupnya.
***
... I faced it all, and I stood tall
And did it my way.
Di 'My Way', Frank Sinatra berusaha merayakan segala pahit-manis dalam hidupnya dengan gagah berani. Sementara, laga testimonial Schweinsteiger menyuguhkan semangat serupa.
Laga ini jelas bukan pertandingan serius, meski yang saling beradu adalah tim inti Chicago Fire dan Bayern. Menariknya, antusiasme suporter yang hadir tak kalah dengan pertandingan besar yang dijalani sang kampiun Bundesliga 29 kali itu.
ADVERTISEMENT
Tak ada satu pun kursi penonton yang kosong. Pula bendera merah-putih khas Bayern dikibarkan di berbagai sudut stadion. Terakhir, muncul spanduk besar bertuliskan 'Terima Kasih, Basti', dan ragam spanduk kecil lain yang didedikasikan untuknya.
Saat laga bermula, Basti -- panggilan lain Schweinsteiger -- diizinkan kembali menjadi kapten Bayern. Di ujung babak pertama, dia berhasil mencetak gol sundulan usai David Alaba melancarkan umpan lambung.
Setelahnya, Schweinsteiger melompat melewati papan iklan dan berselebrasi di depan fans Bayern. Kemudian dia kembali ke area pertandingan, dan kawan-kawan lamanya di Bayern menerbangkan tubuhnya di udara layaknya seorang pahlawan.
Bastian Schweinsteiger disanjung di laga testimonialnya. Foto: Christof STACHE / AFP
Di babak kedua, dia kembali memperkuat Chicago Fire dan usai laga dia langsung masuk ke ruang ganti untuk kembali mengenakan kostum Bayern. Tak lama, dia masuk ke lapangan lagi dan menyadari lampu stadion sudah padam.
ADVERTISEMENT
Dia berjalan dan lampu sorot mengikuti langkahnya. Di tengah lapangan, dia mengibarkan bendera Bayern. Lalu dia berkata, "Saya satu dengan kalian, dan selamanya begitu. Masa lalu saya hanya untuk Bayern dan bukan untuk yang lain."
Para fans Bayern bersorak riang. Selang beberapa detik, Schweinsteiger menangis haru. Di saat itulah, dia tahu bahwa segala masalah sudah berhasil dihadapinya dengan caranya sendiri. Tak sempurna, memang, tetapi setidaknya dia telah berjuang dengan pendirian sekokoh batu karang.
Oleh sebab itu, dia layak dikenang sebagai seorang pemenang.