Derbi Istanbul: Menabur Benih Kebencian dari Dua Sisi Bosphorus

5 November 2018 14:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kericuhan di laga Galatasaray vs Fenerbahce. (Foto: AFP/Ozan Kose)
zoom-in-whitePerbesar
Kericuhan di laga Galatasaray vs Fenerbahce. (Foto: AFP/Ozan Kose)
ADVERTISEMENT
"Setelahnya, yang kuingat adalah bagaimana Graeme berlari melewatiku dengan membawa bendera itu. Kudengar, masih banyak orang yang menjual kaus dengan gambar insiden itu."
ADVERTISEMENT
Satu dasawarsa sudah berlalu sejak insiden itu terjadi. Akan tetapi, Dean Saunders masih bisa mengingatnya dengan jelas. Saunders bercerita soal kejadian itu pada 2006 kepada Four Four Two dan dalam penuturannya, pria yang kini sudah berusia lebih dari setengah abad itu masih bisa menyertakan bagaimana rasanya berada di sana, di Stadion Sukru Saracoglu yang mencekam.
24 April 1996, di stadion berkapasitas 52 ribu penonton itu, tuan rumah Fenerbahce menjamu seteru abadinya, Galatasaray, dalam pertandingan leg kedua final Tuerkiye Kupasi alias Piala Turki. Di sana, dua kepentingan berbeda dibenturkan dengan sangat keras sehingga percik api pun akhirnya tak terhindarkan.
Beberapa pekan sebelumnya, Fenerbahce sudah memastikan diri menjadi juara Super Lig. Itu adalah gelar ke-12 Fenerbahce sepanjang sejarah dan Tuerkiye Kupasi, bagi mereka, adalah ajang untuk menegaskan dominasi, baik atas persepakbolaan Turki sendiri maupun atas sang rival abadi.
ADVERTISEMENT
Sebalinya, Galatasaray mengincari trofi Piala Turki itu sebagai sebuah pelipur lara. Pada musim 1995/96 itu, penampilan mereka di liga betul-betul jauh dari harapan. Mereka menelan sampai delapan kekalahan dan akhirnya harus puas mengakhiri musim di peringkat empat, dengan 16 poin lebih sedikit ketimbang sang seteru.
Di final Piala Turki, secara otomatis, Fenerbahce menjadi pihak yang lebih diunggulkan. Namun, dalam sebuah laga derbi, semua hitung-hitungan di atas kertas tak pernah ada artinya. Pada pertandingan leg pertama di Stadion Ali Sami Yen, Galatasaray memetik kemenangan 1-0 berkat gol yang dicetak oleh Saunders. Galatasaray pun melangkah ke Sukru Saracoglu dengan optimisme cukup tinggi.
Meski begitu, optimisme Galatasaray itu harus direm ketika Fenerbahce, lewat Aykut Ocaman, menyamakan skor pada menit ke-34. Seketika itu, pertandingan pun dimulai lagi dari titik nol, di mana kans kedua kesebelasan untuk membawa pulang trofi sama besarnya.
ADVERTISEMENT
Sampai 56 menit berikutnya, kedua tim saling melancarkan serangan, tetapi tak ada satu pun yang berujung gol. Waktu normal habis dan kedua tim harus menyelesaikan pertandingan dengan perpanjangan waktu. Di sinilah kemudian terjadi insiden yang begitu membekas di benak Saunders tadi.
Hanya empat menit sebelum perpanjangan waktu rampung, Saunders sukses menyambut umpan silang dari sayap kiri dengan tembakan keras yang tak sanggup dihalau kiper Fenerbahce, Rustu Recber. Dengan aturan gol emas, pertandingan resmi dinyatakan berakhir dan Galatasaray pun larut dalam pesta besar.
Tak semua orang punya ide yang sama soal bagaimana seharusnya pesta digelar. Ada, tentunya, yang memilih untuk minum-minum sambil melepaskan tawa. Ada pula yang menganggap bahwa pesta semestinya dilangsungkan dengan makan besar. Namun, ada pula manusia-manusia yang punya watak unik seperti Graeme Souness.
ADVERTISEMENT
Souness, saat itu, adalah pelatih Galatasaray. Dua tahun sebelumnya, pria Skotlandia itu dicopot dari jabatan sebagai manajer Liverpool. Setelah sempat diisukan bakal menangani Middlesbrough, Souness akhirnya justru menyeberang ke Istanbul untuk menangani klub ketiga sepanjang karier kepelatihannya.
Hasilnya memang kurang bagus. Di liga, Galatasaray terseok-seok. Di Piala UEFA, mereka sudah tersisih sejak babak kualifikasi. Oleh karena itu, Souness pun mempertaruhkan segalanya di ajang Tuerkiye Kupasi tadi.
Selama menjadi pemain, Souness dikenal sebagai sosok petarung di lini tengah. Di skena sepak bola era 1980-an, di mana wasit seringkali lupa bahwa mereka memiliki peluit, Souness merajalela sebagai tukang jagal milik Liverpool. Bersama Alan Hansen dan Kenneth Dalglish, Souness membentuk geng Mafia Skotlandia yang ditakuti, tak cuma oleh lawan, tetapi juga para pemain muda di klub tersebut.
ADVERTISEMENT
Sikap nekat Souness selama bermain itu ternyata tidak lekang ketika dia sudah menjalani karier sebagai pelatih dan itulah yang dia tunjukkan pada pertandingan final Piala Turki itu. Tak lama setelah Saunders mencetak gol, Souness merebut sebuah bendera merah-kuning -- warna khas Galatasaray -- dari tangan seorang suporter.
Tak ada yang tahu apa yang akan dilakukan Souness dengan bendera itu. Akan tetapi, karena Souness adalah Souness, maka dia pun melakukan apa yang hanya bisa terpikirkan oleh seorang Souness. Dia berlari ke tengah lapangan dengan membawa bendera tersebut dan sesampainya di sana, bendera itu dia tancapkan sebagai tanda bahwa dia telah merebut Sukru Saracoglu dari tangan Fenerbahce.
Tingkah polah Souness itu pada akhirnya menjadi salah satu momen paling legendaris dari rivalitas abadi Galatasaray dan Fenerbahce. Para suporter Fenerbahce tentu saja naik pitam melihat aksi Souness itu, tetapi para pendukung Galatasaray memuja habis dirinya dan menyamakan sosok 62 tahun itu dengan pahlawan Turki era terdahulu, Ulubatli Hasan, yang dikenal karena menancapkan bendera Usmani dalam Pertempuran Konstantinopel.
ADVERTISEMENT
Souness sendiri akhirnya dipecat oleh manajemen Galatasaray tak lama sesudah insiden itu. Manajemen klub menganggap bahwa dirinya sudah melakukan tindakan tak sportif. Souness dipecat pada Mei 1996 dan pada Juni 1996, Fatih Terim ditunjuk sebagai suksesor.
Bagi Souness, tindakan itu adalah sebuah bentuk pembelaan harga diri. Sebab, ketika dia ditunjuk menjadi pelatih Galatasaray, presiden Fenerbahce, Ali Haydar Sen, mengejeknya dengan sebutan 'orang cacat'. Penyebabnya, tak lama sebelum mendapat pekerjaan itu, Souness harus menjalani operasi bedah jantung.
***
Ada Dean Saunders, ada pula Horace Armitage. Dalam sejarahnya, Galatasaray memang sulit dipisahkan dari influens Inggris.
Galatasaray didirikan pada 1905 oleh seorang pelajar bernama Ali Sami Yen, yang namanya kemudian diabadikan jadi nama stadion klub. Pada saat itu, Yen tengah bersekolah di Sekolah Tinggi Galatasaray, sebuah sekolah elite dengan kurikulum Eropa yang bahasa pengantarnya menggunakan bahasa Prancis. Banyak orang Inggris yang menyamakan Sekolah Tinggi Galatasaray itu dengan Kolese Eton di Berkshire.
ADVERTISEMENT
Ketika mendirikan Galatasaray, Yen punya satu cita-cita. Yakni, agar tim ini bisa bermain sepak bola dengan baik seperti orang-orang Inggris yang saat itu memang masih mendominasi lanskap persepakbolaan Turki. Hanya dengan begitulah, menurut Yen, orang-orang Turki bakal bisa bersaing dengan para ekspatriat.
Sekolah Tinggi Galatasaray sendiri berlokasi di Istanbul yang masuk wilayah Eropa. Di distrik -- yang juga bernama Galatasaray -- itu, berdiamlah aristokrat-aristokrat Turki yang sudah merasakan enaknya hidup ketika Kekaisaran Usmani masih berdiri. Identitas elite inilah yang kemudian sempat melekat pada diri Galatasaray, meskipun pada akhirnya, ia akan lebur dengan sendirinya.
Armitage adalah salah satu pemain pertama yang pernah memperkuat Galatasaray. Sosok yang dikenal dengan kumis Edwardian-nya itu merupakan satu dari dua pencetak gol ketika Galatasaray memenangi pertandingan derbi pertama melawan Fenerbahce pada tahun 1909. Menariknya, Armitage sebelumnya pernah jadi bagian dari skuat Fenerbahce ketika klub itu pertama berdiri pada 1907.
ADVERTISEMENT
Suporter Galatasaray. (Foto: AFP/Ozan Kose)
zoom-in-whitePerbesar
Suporter Galatasaray. (Foto: AFP/Ozan Kose)
Saat itu, memang tidak ada masalah antara Galatasaray dan Fenerbahce. Bahkan, pada dasarnya, kedua klub ini didirikan dengan tujuan sama. Bedanya, tidak pernah ada kata-kata 'bermain seperti orang Inggris' dalam kamus Fenerbahce yang didirikan di distrik Kadikoey.
Malah, Fenerbahce adalah klub yang dibangun dengan basis nasionalisme kuat. Bapak Turki Modern, Mustafa Kemal Ataturk, dikabarkan merupakan pendukung Fenerbahce dan citra nasionalis ini diperkuat dengan cerita bahwa mereka pernah membantu menyelundupkan senjata dalam pertempuran Turki melawan orang-orang Inggris dan Yunani.
Tak seperti distrik Galatasaray, distrik Kadikoey sudah masuk dalam Istanbul yang berada di benua Asia. Jika Galatasaray adalah tempat bercokol para bangsawan, Kadikoey adalah tempat pengusaha-pengusaha berada. Di wilayah itu, perekonomian Istanbul wilayah Asia terpusat. Di antara dua bagian tadi, terdapat Selat Bosphorus yang jadi pemisah. Inilah mengapa, derbi antara Galatasaray dan Fenerbahce disebut sebagai Intercontinental Derby atau Kıtalararası Derbi.
ADVERTISEMENT
Dua klub tersebut melengkapi Besiktas yang sudah berdiri pada 1903. Bedanya, apabila Galatasaray adalah klub ningrat dan Fenerbahce adalah miliknya kaum borjuis, Besiktas pada masa itu identik dengan kelas pekerja. Uniknya, di Istanbul ini, yang akhirnya berselisih justru mereka yang berasal dari kalangan 'berada'. Besiktas, sementara itu, adalah klub yang bisa ditoleransi, baik keberadaan maupun kesuksesannya.
Butuh waktu 25 tahun bagi Galatasaray dan Fenerbahce untuk benar-benar menjadi seteru. Sebelum-sebelumnya, pertandingan antara kedua tim itu selalu berjalan aman dan tenteram. Bahkan, pernah ada petisi untuk memerger kedua klub tersebut untuk membentuk entitas tunggal bernama Türkkulübü, sebagai perlawanan terhadap klub-klub yang mayoritas pemainnya adalah penduduk non-Turki. Petisi ini akhirnya batal menyusul Perang Balkan 1913.
ADVERTISEMENT
Perseteruan antara Galatasaray dan Fenerbahce baru bermula pada 23 Februari 1934. Dalam pertandingan di Taksim Stadi yang merupakan stadion milik militer itu, kedua tim terlibat dalam pertarungan keras di lapangan. Pelanggaran keras jadi pemandangan lazim hari itu sehingga pertandingan sempat beberapa kali disetop.
Suporter Fenerbahce. (Foto: AFP/Ozan Kose)
zoom-in-whitePerbesar
Suporter Fenerbahce. (Foto: AFP/Ozan Kose)
Di tribune, suasanya tak kalah memanas. Para suporter kedua kesebelasan kemudian juga terlibat dalam pertarungan. Akhirnya, laga itu diakhiri dengan perkelahian antarpemain. Kemesraan antara Galatasaray dan Fenerbahce pun praktis berakhir pada hari itu.
Dari sana, setiap kali Galatasaray dan Fenerbahce bersua, bahaya selalu mengintai. Pada pertandingan Super Lig, Sabtu (3/11/2018) lalu, 30 orang, baik pemain maupun staf, terlibat perkelahian massal yang menyebabkan tiga orang mendapat kartu merah. Pertandingan di Turk Telekom Arena itu sendiri berkhir imbang 2-2.
ADVERTISEMENT
Apa yang terjadi Sabtu lalu merupakan satu dari sekian banyak kekerasan yang pernah mewarnai derbi ini. Pada 2006, misalnya, para suporter Galatasaray pernah membakar dan merusak Stadion Ali Sami Yen usai ditudukkan Fenerbahce, meski saat itu aksi perusakan tersebut disebabkan oleh kemarahan suporter terhadap manajemen klub.
Lalu, pada 2013, dua orang suporter Fenerbahce meninggal dunia karena ditusuk oleh para suporter Galatasaray usai derbi. Padahal, segala upaya sudah dilakukan pemerintah untuk mencegah terjadinya kekerasan seperti ini, termasuk dengan membatasi jumlah suporter tandang. Jika sebelumnya dalam laga derbi jumlah penonton kandang dan tandang bisa seimbang, saat ini rasionya dibuat menjadi 30 berbanding 1.
Sebenarnya, penurunan rasio penonton tandang ini merupakan sebuah langkah kompromi. Tak lama sebelum aturan itu ditetapkan, pemerintah bahkan pernah melarang adanya suporter tandang di sebuah laga derbi. Kerusuhan di laga Turki vs Swiss di Kualifikasi Piala Dunia 2006 jadi musabab lain yang membuat pemerintah bertindak tegas.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, aturan itu tidak diindahkan. Para suporter tandang akhirnya tetap bersikeras untuk menemani tim kesayangannya berlaga dan akhirnya, mereka diperbolehkan untuk datang meski dengan kuota terbatas.
Kerusuhan Derbi Istanbul di Sukru Saracoglu tahun 2012. (Foto: AFP/Bulent Kilic)
zoom-in-whitePerbesar
Kerusuhan Derbi Istanbul di Sukru Saracoglu tahun 2012. (Foto: AFP/Bulent Kilic)
***
Istanbul, kata para penduduknya, adalah kota yang usianya lebih tua dari waktu. Anggapan itu memang berlebihan. Akan tetapi, usia Istanbul memang sudah sangat tua dan kota ini sudah mengalami banyak sekali peristiwa yang menandai perubahan angin sejarah. Inilah mengapa, derbi antara Galatasaray dan Fenerbahce itu disebut sebagai Eternal Derby atau derbi abadi.
Kekerasan adalah bagian tak terpisahkan dari derbi itu. Malah, boleh dibilang, tanpa kekerasan derbi ini tidak akan menjadi seperti sekarang. Kendati demikian, Intercontinental Derby ini tidak melulu soal kekerasan. Ada momen-momen di mana para suporter mengesampingkan permusuhan di antara mereka untuk melawan musuh bersama.
ADVERTISEMENT
Pada 2013, sebuah aksi demonstrasi menentang pemerintahan Recep Tayyip Erdogan digelar di Gezi Park. Di sini, para suporter garis keras Galatasaray, Fenerbahce, juga Besiktas bersatu untuk melindungi para demonstran dari kekerasan yang dilakukan oleh polisi. Ini mirip dengan apa yang dilakukan pendukung Al-Ahly di Tahrir Square, Mesir, pada Arab Spring 2011.
Dari sana, sudah jelas bagaimana sikap para suporter terhadap pemerintah Turki. Itulah mengapa, kini Erdogan pun menggunakan sepak bola untuk melawan anasir-anasir yang menginginkannya pergi. Lewat Istanbul Basaksehir, Erdogan yang mantan pesepak bola semiprofesional itu bermain di konstelasi persepakbolaan Turki.
Segala hal itulah yang membuat Derby Istanbul menjadi salah satu derbi tepanas di dunia. Derbi ini berada di jajaran yang sama dengan Superclasico di Buenos Aires, Eternal Derby di Beograd, Derby della Capitale di Roma, Old Firm Derby di Glasgow, serta Derbi Teheran antara Esteghlal dan Persepolis. Tetapi, tentu saja, tak ada satu pun dari derbi-derbi itu yang mempertemukan tim dari dua benua.
ADVERTISEMENT