Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Di Ennio Tardini, Fabio Quagliarella menutup delapan tahun kesunyian dengan sepakan penalti.
ADVERTISEMENT
Gabriel Garcia Marquez, penulis Argentina peraih Nobel Sastra pada 1982, pernah berkisah tentang kehidupan negeri imajiner bernama Macondo. Negeri itu aneh bukan kepalang, diisi dengan peristiwa-peristiwa ajaib yang dipandang biasa oleh para penghuninya. Novel itu berjudul 'Seratus Tahun Kesunyian'.
Novel yang pertama kali rilis pada Mei 1967 ini ditutup dengan fragmen yang membikin ngeri. Salah satu tokohnya, Kolonel Aurelio Buendia, menyaksikan bayi generasi terakhir klan Buendia mati dikerubungi semut.
Sang kolonel adalah mantan pemimpin revolusi, bersenjata pula. Ia punya 17 anak dari 17 wanita asal 17 kota berbeda. Dengan anak sebanyak itu seharusnya ia tak menjalani masa tua dengan miris. Dengan perjuangannya sebagai pahlawan, seharusnya ia mendapat tabik sampai menutup mata.
ADVERTISEMENT
Namun, di akhir cerita itu pulalah Gabo--sapaan akrab Marquez---bertutur tentang kesunyian sublim yang dialami si kolonel tua. Aurelio tak ‘sekadar’ melihat keturunannya mati mengenaskan. Rakyat Macondo bahkan menyebut kisah perjuangan Aurelio sebagai dongeng belaka.
Segala hal yang dialami Aurelio mungkin akan mengingatkan para penggila film dengan 'Scent of a Woman'. Film yang rilis pada 1992 ini bercerita tentang Letnan Kolonel Frank Slade yang dibintangi oleh Al Pacino.
Frank menjalani masa tuanya dengan sunyi. Ia tinggal bersama anak perempuannya, tapi menolak untuk benar-benar tinggal bersama. Frank menyendiri hampir sepanjang masa tuanya di paviliun mirip gudang di halaman belakang rumah sang anak. Masa tua Frank adalah perjalanan yang kelam karena matanya buta dimakan perang.
ADVERTISEMENT
Penggambaran masa tua yang miris yang acap muncul dalam cerita film dan novel memang membikin bergidik. Entah seperti apa rasanya menjalani masa tua sambil dibayang-bayangi urusan yang belum selesai di masa muda. Terlebih semua orang tahu, waktu tak mengenal repetisi. Ia tak mau berhenti, apalagi melangkah mundur.
Bayang-bayang masa tua itu pula yang mungkin datang menghampiri Quagliarella. Secara hitung-hitungan umur, Quagliarella tidak bisa disebut tua-tua amat. Usianya baru 36 tahun. Tapi, di atas lapangan bola, umur segitu sudah pantas disebut gaek.
Sedapat-dapatnya Quagliarella bersusah-payah di Sampdoria, bukan berarti tempat untuk berlaga di Timnas Italia terbuka begitu saja. Apalagi sejak kegagalan Azzurri melangkah ke Piala Dunia 2018, pembenahan dilakukan di sana-sini.
ADVERTISEMENT
Satu yang kentara, peremajaan skuat. Regenerasi. Anak-anak muda didatangkan, nama-nama baru siap dilambungkan, yang tak lagi muda dipersilakan menyingkir.
Kalaupun ada pemain senior, maka itu punya syarat khusus. Jam kerja tinggi, peran yang tak tergantikan, kemampuan yang tak lekang, dan punya pengaruh kepada anak muda. Itulah sebabnya, Italia masih membawa pemain-pemain veteran seperti Leonardo Bonucci dan Giorgio Chiellini.
Tak peduli berapa usianya, mereka masih dianggap sebagai komando terbaik lini pertahanan Italia. Sebagian besar pencinta sepak bola tahu setinggi apa sepak bola Italia menjunjung tinggi pertahanan---terlepas permainan lebih ofensif yang mereka terapkan di era modern.
Quagliarella bukan Bonucci, ia tak punya segala hal yang dimiliki oleh Chiellini. Terakhir kali Quagliarella membela Italia adalah 17 November 2010.
ADVERTISEMENT
Quagliarella memang beberapa kali dipanggil Italia setelahnya, tapi ia tak pernah turun arena. Berhitung mundur, ia pertama kali membela Italia pada 2007. Kala itu Italia juga bertanding di babak Kualifikasi Piala Eropa.
Itu baru hitung-hitungan soal pengalaman, belum lagi posisi. Quagliarella bermain sebagai penyerang. Lini serang menjadi sektor yang dirombak besar-besaran oleh Roberto Mancini.
Bahkan mantan pelatih Manchester City ini begitu berani menyertakan Moise Kean yang usianya masih 19 tahun. Masih ada Matteo Politano, Ciro Immobile, Federico Bernardeschi yang jauh lebih menjanjikan.
Kalau ada satu modal yang boleh dibanggakan oleh Quagliarella, itu adalah statusnya sebagai pencetak gol terbanyak sementara Serie A 2018/19. Hingga pekan ke-28 tuntas, ia sudah melesakkan 21 gol ke gawang lawan. Jumlahnya dua setrip lebih tinggi dibandingkan dengan koleksi Cristiano Ronaldo.
ADVERTISEMENT
Barangkali itu kabar baiknya. Ia serupa dengan orang yang hanya memiliki dua talenta dalam perumpamaan Biblikal yang masyhur itu. Torehan 21 gol di Serie A tak bisa disebut pencapaian sepele, tapi juga tak bisa disebut istimewa-istimewa amat jika berbicara proyek jangka panjang Italia.
Mungkin ia hanya akan diturunkan saat tim dalam keadaan aman--seperti laga melawan Liechtenstein karena sebelumnya Italia sudah mengamankan tiga poin. Ya, belum bisa dibilang sangat aman, tapi setidaknya bisa membuat bernapas sedikit lega. Apalagi, Liechtenstein bukan lawan yang di atas kertas cukup berbahaya.
Kekukuhan Quagliarella untuk turun lapangan sepintas menunjukkan bahwa ia tak tahu diri. Seakan lupa akan narasi masa tua yang dekat dengan kelambanan, fisik yang renta, dan semangat yang usang.
ADVERTISEMENT
Itulah yang sebaik-baiknya dibantah Quagliarella dengan aksinya meruntuhkan kepungan pertahanan lawan.
Pemahaman seperti itu pula yang dibungkamnya dengan assist di laga perdana melawan Finlandia walau masuk sebagai pemain pengganti pada menit 80. Pemikiran itu yang ingin dicerabutnya lewat lesakan dua gol penalti pada laga melawan Liechtenstein.
Orang-orang sering menghina sepakan penalti sebagai gol yang semua orang juga bisa membuat. Tapi, Argentina pun gagal menjadi juara Copa America 2016 karena penyerang semasyhuer Lionel Messi tak kuasa mencetak gol lewat adu penalti. Berkaca dari kegagalan Messi itu, sepakan penalti bukan soal keberuntungan karena, tapi perkara melawan keberuntungan.
Maka berdirilah Quagliarella di hadapan Benjamin Buechel, di depan gawang Liechtenstein.
ADVERTISEMENT
Tak ada ancang-ancang aneh, hanya lari yang ditutup dengan tendangan lurus ke tengah gawang. Entah penyerang macam apa yang kelewat berani menendang penalti dengan sepakan lurus. Bukankah itu arah yang paling mudah dibaca penjaga gawang?
Tak ada panenka, tak ada trik rumit yang membikin kepala pening. Semuanya serba biasa, lantas ditutupnya dengan perayaan yang sederhana.
Quagliarella hanya berlari ke kanan gawang, merentangkan kedua tangan sambil berteriak lepas. Tak ada tarian jenaka macam Kean, tak ada pula gaya aneh-aneh macam Antoine Griezmann. Semuanya serba biasa seperti menegaskan perjalanan kariernya yang biasa saja.
Namun, yang datang mengiring adalah fragmen puitik. Seantero Ennio Tardini bersorak girang. Tepuk tangan dan elu-elu diserukan sedapat-dapatnya. Bendera-bendera diangkat tinggi, diayunkan menyerupai perayaan kemenangan. Dan itu berlanjut pada gol keempat, lewat skenario serupa.
ADVERTISEMENT
“Ini adalah malam yang luar biasa dengan dua gol yang meluncur dari kaki saya. Saya berterima kasih kepada tim karena mereka menginginkan saya mencetak gol ketiga dan keempat itu," jelas Quagliarella, dilansir Football Italia.
"Saya berterima kasih kepada Jorginho dan Bonucci karena ‘mendesak’ saya untuk mengeksekusi penalti. Tadinya saya pikir, cukuplah satu penalti. Tapi, mereka menghadiahkan saya kesempatan kedua. Mereka bilang bahwa ini adalah malam saya, waktu yang harus saya nikmati sebisanya."
“Usia saya memang 36 tahun, tapi saya tidak merasa setua itu. Saya bahagia dan memiliki fisik yang baik. Saya berlatih dengan keras dan Sampdoria tetap mendukung serta mendidik saya. Saya bersyukur untuk Roberto Mancini yang mengamati saya sepanjang musim dan memberi kesempatan ini,” ujar Quagliarella.
ADVERTISEMENT
Tidak ada yang tahu pasti sampai kapan Quagliarella bertahan di Azzurri. Kalau Italia bicara bagaimana membangun tim dalam jangka panjang, tentu langkah Quagliarella tak akan lama.
Mungkin hanya sampai Piala Eropa 2020, bisa juga hanya sampai di kualifikasi. Itu kalau semuanya berjalan sesuai rencana. Tak ada kekalahan beruntun, tak ada cedera yang menyuruh mundur.
Bila kematian adalah perkara mutlak bagi manusia, kematian karier pun menjadi absolut bagi para pesepak bola. Menjalani laga perpisahan, gantung sepatu, menanggalkan jersi--semua akan tiba di hari itu.
Kaum romantis bilang, berbahagialah yang mati muda karena yang tersial adalah usia tua. Tapi Quagliarella tak mau menjadi romantis. Di Ennio Tardini, ia menolak menjadi Aurelio. Di lapangan bola, ia enggan menjadi Letnan Kolonel Frank.
ADVERTISEMENT
Bagi Quagliarella, jika kematian memang tak terhindarkan, mengapa tidak disambut dengan perkasa?