Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Di Uruguay, Sepak Bola adalah Sejarah itu Sendiri
5 Juli 2018 16:54 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB

ADVERTISEMENT
Delapan tahun silam, Tangan Tuhan dicuri dan sampai kini pelakunya belum tertangkap. Alih-alih ditangkap, si pencuri justru dielu-elukan dan dipuja bak pahlawan.
ADVERTISEMENT
Nama pencuri itu Luis Suarez. Dalam situasi terdesak, dia menggunakan akalnya sedemikian rupa untuk menjadi antihero yang mempersetankan moralitas. Suarez tahu bahwa menahan sundulan Dominic Adiyiah dengan tangannya adalah perbuatan curang. Namun, di sisi lain dia harus melakukan itu. Di depan puluhan ribu pasang mata di Johannesburg, Suarez mengorbankan diri untuk kemaslahatan negeri.
"Tangan Tuhan sekarang jadi milikku. Tangan Tuhan-ku adalah Tangan Tuhan yang asli," kata Suarez kala itu. Dengan demikian, sejak saat itu, Diego Armando Maradona harus merelakan mukjizatnya tersebut kepada Suarez.
Bagi Suarez, hukuman kartu merah dari wasit tak jadi soal. Baginya, yang penting Uruguay bisa menundukkan Ghana. Setidaknya, tendangan penalti masih bisa (di)gagal(kan). Namun, jika dirinya tidak melakukan itu, gol untuk Ghana sudah pasti tercipta dan Uruguay pun bakal tersingkir.
ADVERTISEMENT
Celakalah Ghana karena Asamoah Gyan, orang yang didapuk menjadi algojo, tak mampu menunaikan tugasnya. Alih-alih menggetarkan jala gawang Fernando Muslera, bola justru melayang tinggi di angkasa. Habislah Ghana. Mimpi mereka untuk jadi negara Afrika pertama yang lolos ke semifinal Piala Dunia musnah. Sebagai gantinya, Uruguay melenggang setelah akhirnya sukses menundukkan mereka lewat adu penalti.
Piala Dunia 2010 adalah pembuktian besar bagi Uruguay. Meskipun di semifinal mereka akhirnya kalah dari Belanda -- dan di perebutan tempat ketiga dikalahkan Jerman --, Uruguay sudah lebih dari sekadar berhasil. Finis di urutan empat Piala Dunia adalah hal yang terakhir kali bisa mereka lakukan pada 1970. Pada titik itulah Uruguay mengembalikan muruahnya sebagai salah satu kekuatan tradisional sepak bola.
ADVERTISEMENT
***
Sepak bola tidak datang begitu saja ke Uruguay. Ia datang dari sebuah pulau raksasa nun jauh di sana bernama Britania. Hanya tujuh tahun setelah Football Association dibentuk, orang-orang Inggris sudah mengekspor sepak bola sampai Amerika Selatan sana.
Uruguay bukan satu-satunya negara tujuan. Sebelumnya, orang-orang Inggris tadi sudah terlebih dahulu meracuni Argentina dengan sepak bola. Tiga tahun setelah sepak bola datang ke Argentina, olahraga ini diperkenalkan di Uruguay, tepatnya pada 1870.
Sepak bola akhirnya berkembang pesat. Pada 1882, seorang guru di Sekolah William Leslie Poole mendirikan klub tertua di Uruguay, Albion FC. Albion sendiri merupakan nama arkaik untuk menyebut Britania. Klub ini merupakan bukti konkret bahwa sepak bola memang dibawa ke Uruguay oleh orang-orang Inggris.
ADVERTISEMENT
Peran orang-orang Inggris tak sampai di situ. Sembilan tahun setelah Albion FC dibentuk, para pekerja jawatan kereta api di Montevideo mendririkan sebuah klub olahraga yang diberi nama Central Uruguay Railway Cricket Club (CURCC). Dari namanya, klub ini memang terlihat seperti klub kriket, tetapi pada praktiknya olahraga rugbi dan sepak bola juga dimainkan di sana. CURCC inilah yang menjadi cikal bakal Club Atletico Penarol, klub sepak bola tersukses dari Uruguay.
Akhir abad ke-19 itu memang menjadi momen krusial bagi pembentukan sepak bola di Uruguay. Pada 1899, misalnya, Nacional yang merupakan seteru abadi Penarol dibentuk. Akhirnya, liga sepak bola pun bisa digelar untuk pertama kali pada 1900 dengan nama Primera Division. Setahun kemudian, Tim Nasional (Timnas) Uruguay melakoni pertandingan pertamanya menghadapi Argentina.
ADVERTISEMENT

Dalam masa-masa awal ini, persepakbolaan Uruguay masih sangat dipengaruhi oleh napas Inggris. Hal ini disebabkan karena antara 1904 sampai 1929, Uruguay menjadi salah satu destinasi favorit bagi klub-klub Inggris untuk melakukan tur. Dengan kata lain, selama selama hampir lima dasawarsa, persepakbolaan Uruguay berada di bawah kungkungan pengaruh Inggris.
Kendati demikian, dalam perkembangannya Uruguay berhasil menemukan identitas sepak bolanya sendiri. Ini terbukti dari bagaimana Uruguay menjadi kampiun di Olimpiade 1924 dan 1928. Ketika Inggris dan tim-tim Eropa pada umumnya masih sangat mengandalkan kekuatan fisik dalam bermain, Uruguay sudah memainkan sepak bola dengan ciri khas umpan-umpan pendek dan pergerakan tanpa bola ciamik.
Cara bermain itu membuat tim-tim Eropa tercengang. Sebelumnya, tak ada satu pun dari mereka yang pernah mendengar siapa Uruguay dan seperti apa kualitas mereka. Wajar, memang, karena Uruguay sendiri merupakan negara kecil dengan jumlah penduduk hanya 1,1 juta jiwa. Sebagai perbandingan, Prancis yang merupakan tuan rumah Olimpiade 1924 saat itu sudah punya lebih dari 30 juta penduduk.
ADVERTISEMENT
Dua medali emas Olimpiade itu menjadi tonggak sejarah penting bagi Uruguay. Pasalnya, dua gelar itu nantinya akan dihitung sebagai gelar juara dunia, mengingat saat itu cabang olahraga sepak bola di Olimpiade masih diurus oleh FIFA. Oleh karenanya, saat ini di emblem Uruguay ada empat bintang yang menandakan bahwa mereka telah menguasai dunia sepak bola sebanyak empat kali.
Dari sana, Uruguay lantas mendapatkan durian runtuh. Ketika Jules Rimet mengumumkan bahwa Piala Dunia pertama bakal digelar pada 1930, Uruguay ditunjuk sebagai tuan rumah. Selain karena Uruguay memiliki tim sepak bola terhebat kala itu, Rimet menunjuk mereka juga karena adanya keinginan untuk menyebarluaskan olahraga ini ke negara-negara non-Eropa.
Piala Dunia 1930 akhirnya digelar dengan diwarnai boikot dari sejumlah negara Eropa. Hampir semua negara itu menolak untuk berpartisipasi karena ongkos perjalanan yang mahal.
ADVERTISEMENT

Kala itu, perjalanan lewat udara memang baru memasuki tahap awal dan oleh karenanya, untuk menuju Uruguay, para peserta harus menggunakan kapal. Selain itu, ada pula Inggris yang menolak ikut karena merasa bahwa bukan FIFA yang seharusnya jadi badan sepak bola tertinggi, melainkan FA.
Menjuarai Olimpiade 1924 dan 1928 adalah sebuah pencapaian hebat bagi negara sekecil Uruguay. Semestinya, dua gelar itu -- dan pemain-pemain yang membantu mereka meraihnya -- merupakan modal penting bagi Uruguay untuk melalui turnamen Piala Dunia pertama di hadapan publik sendiri. Akan tetapi, menjadi tuan rumah memang tak selamanya menyenangkan.
Para pemain Timnas Uruguay sadar bahwa tekanan ada di pihak mereka. Akhirnya, pada pertandingan pertama fase grup menghadapi Peru mereka gagal menunjukkan penampilan mengesankan. Memang, di sana ada peran Peru yang memilih untuk memainkan sepak bola negatif. Namun, secara umum Uruguay dinilai tampil tidak menggigit. Meskipun menang 1-0, kritikan tetap diterima skuat La Celeste dari sana-sini.
ADVERTISEMENT
Satu sebab lain mengapa Uruguay gagal bersinar di laga melawan Peru adalah absennya penyerang andalan mereka, Hector Scarone. Pada pertandingan kedua menghadapi Rumania, Scarone akhirnya bisa bermain. Bersama Pablo Dorado, Juan Anselmo, dan Pedro Cea, Scarone mencatatkan namanya di papan skor. Rumania berhasil mereka kanvaskan dengan skor telak 4-0.
Dua kemenangan dari dua laga membuat Uruguay berhak melaju ke semifinal untuk menghadapi Yugoslavia. Di situ, para pemain Uruguay tak lagi demam panggung. Dengan keyakinan besar, mereka meluluhlantakkan wakil Eropa itu dengan skor 6-1. Laga final pun ditatap dan di sana, Argentina sudah menanti.
Pada pertandingan internasional pertama yang digelar 1901, Uruguay harus mengakui keunggulan Argentina dengan skor 0-1. Di laga final Piala Dunia 1930 itu, Argentina pun sejatinya lebih dijagokan karena memiliki liga sepak bola yang lebih bagus dan pemain-pemain yang lebih berkualitas, seperti halnya Guilermo Stabile dan Luis Monti.
ADVERTISEMENT
Argentina pun menunjukkan kelasnya dengan unggul 2-1 pada babak pertama. Tertinggal lebih dulu lewat gol Dorado, Argentina membalikkan keadaan lewat aksi Carlos Peucelle dan Stabile. Namun, Uruguay adalah sebuah tim yang lebih tahu caranya menang di partai puncak. Di babak kedua, Cea, Victoriano Iriarte, dan Hector Castro memberondong gawang Argentina tiga kali. Uruguay pun keluar sebagai juara dunia pertama.
Ketika akhirnya Rimet mengembalikan Piala Dunia ke Eropa pada 1934 dan 1938, Uruguay membalas dendam. Di dua turnamen itu, mereka memilih untuk melakukan boikot. Dengan demikian, Uruguay pun absen di kejuaraan sepak bola dunia sampai akhirnya Piala Dunia digelar kembali di Brasil pada 1950.
Situasi Uruguay di Piala Dunia 1950 itu sudah tidak lagi sama dengan situasi mereka dua puluh tahun sebelumnya. Dalam kurun waktu dua dekade, negara-negara lain sudah mampu mengembangkan sepak bolanya sendiri-sendiri. Maka dari itu, Uruguay pun tak lagi dijagokan di tempat teratas. Masih ada Brasil, Inggris, Italia, serta Spanyol yang dianggap lebih pantas untuk merengkuh trofi Jules Rimet.
ADVERTISEMENT
Namun, status tersebut tak menghentikan Uruguay untuk melesat ke puncak. Di partai final, mereka bahkan sukses membuat salah satu kejutan dalam sejarah sepak bola. Di hadapan kurang lebih dua ratus ribu orang di Maracana, Uruguay membuat Brasil menangis sesenggukan.
Brasil sempat unggul lebih dulu melalui Friaca pada awal babak kedua, tetapi Juan Schiaffino dan Alcides Ghiggia membawa Uruguay membalikkan keadaan. Uruguay menang 2-1 dan pulang dengan gelar juara dunia kedua. Maracanazo pun terpatri di memori kolektif orang-orang Brasil.
Sayangnya, setelah itu prestasi Uruguay menurun. Piala Dunia memang masih rutin mereka ikuti -- kecuali ketika gagal lolos pada 1958 --, tetapi prestasi terbaik yang mampu mereka raih hanyalah peringkat keempat pada 1954 dan 1970. Setelah itu, seiring dengan kemunculan junta militer pada 1973, prestasi sepak bola Uruguay semakin tiarap.
ADVERTISEMENT

Setelah gagal lolos dari fase grup pada Piala Dunia 1974, Uruguay baru bisa kembali ke Piala Dunia pada 1986. Ini adalah Piala Dunia pertama mereka sejak rezim militer bubar jalan tahun 1985. Saat itu, Uruguay berhasil menjejak babak 16 besar, pun demikian dengan Piala Dunia 1990.
Pada dua Piala Dunia itu, Uruguay memiliki seorang pemain hebat bernama Enzo Francescoli. Pemain ini adalah idola dari legenda Prancis, Zinedine Zidane, dan nama depan Francescoli itu digunakan Zidane untuk menamai anak pertamanya.
Kendati demikian, di masa yang sama, Uruguay mendapat reputasi tak menyenangkan. Pada Piala Dunia 1986, Jose Batista mendapat kartu merah saat laga menghadapi Skotlandia baru berusia 56 detik. Sampai sekarang, itu adalah kartu merah tercepat yang pernah dikeluarkan wasit dalam sejarah Piala Dunia. Dari situlah muncul sebuah stereotip tentang sepak bola Uruguay yang dianggap kotor dan kasar.
ADVERTISEMENT
Uruguay akhirnya sempat kesulitan mengenyahkan sterotip itu. Pasalnya, dengan kualitas pemain yang terbatas, bermain keras adalah satu-satunya senjata yang mereka kenal. Hal seperti itu terjadi bahkan sampai ketika mereka lolos ke Piala Dunia 2002. Namun, pada 2006 itu semua berubah di bawah arahan Oscar Washington Tabarez.
Piala Dunia 2006 menjadi Piala Dunia terakhir yang gagal diikuti Uruguay sampai saat ini. Di tahun yang sama, Federasi Sepak Bola Uruguay (AUF) menunjuk Tabarez untuk kali kedua. Sebelumnya, sosok 71 tahun ini sudah pernah menangani Timnas pada periode 1988-1990.
Tabarez paham bahwa bermain keras tidak akan bisa dilepaskan dari Uruguay. Pasalnya, cara ini sudah tertanam dalam psike orang-orang di negara tersebut.
ADVERTISEMENT
Inferioritas, mulai dari soal jumlah penduduk sampai signifikansi negara di percaturan politik, membuat orang-orang Uruguay doyan menghalalkan segala cara untuk bisa meraih hasil apik. Mereka bahkan meromantisasi cara ini dengan memberinya julukan Garra Charua, sebuah nama yang terinspirasi dari nama suku Indian yang dimusnahkan pada abad ke-19.
Spirit inilah yang lantas disalahartikan, salah satunya oleh Batista tadi. Oleh Tabarez, spirit ini berusaha dimurnikan kembali. Tak cuma itu, dia juga membuat agar Uruguay, seperti apa pun caranya, tidak melulu tergantung pada spirit ini semata. Oleh karenanya, Tabarez hanya menjadikan ini sebagai filosofi dasar, bukan sebagai senjata utama.
Hasilnya bisa dilihat. Perpaduan semangat juang, soliditas, dan teknik individual mumpuni membawa Uruguay ke semifinal Piala Dunia 2010, perdelapan final Piala Dunia 2014, dan kini, perempat final Piala Dunia 2018. Memang, ada anasir-anasir negatif seperti Suarez yang masih mempraktikkan Garra Charua seperti pada masa lalu. Namun, secara umum Uruguay yang sekarang sudah lebih elegan ketimbang para pendahulunya.
ADVERTISEMENT
***
Dengan nada getir, Eduardo Galeano pernah menuliskan bahwa Uruguay adalah negara yang tidak punya sejarah. Alih-alih sejarah, Uruguay cuma punya sepak bola.
Kegetiran Galeano itu bukan tanpa dasar. Di Uruguay, sepak bola telah menjadi sebuah klise yang memuakkan. Di Uruguay, sepak bola adalah reverie, dunia khayal tempat orang-orang bertamasya untuk melenyapkan segala duka di kehidupan nyata. Lewat sepak bola, Uruguay berusaha untuk menutupi borok yang semestinya bisa terlihat jelas dengan mata telanjang.
Dalam kolomnya di These Football Times, Alexander Shea mengisahkan bagaimana sepak bola bisa dengan mudahnya dijadikan medium untuk melupakan dosa masa lalu rezim militer yang pernah melenyapkan 192 nyawa. Bukti paling nyatanya adalah penunjukan seseorang bernama Miguel Zuluaga untuk menjadi kepala keamanan Timnas Uruguay pada 2000 lalu.
ADVERTISEMENT

Di junta militer Uruguay, Zuluaga punya reputasi mengerikan. Sebagai salah satu anggota Direktorat Informasi dan Intelijen Nasional (DNII), Zuluaga dikenal sebagai salah satu algojo dan penyiksa. Oleh sejawatnya, dia bisa disapa El Zulu, merujuk pada namanya sendiri dan nama suku di Afrika yang pernah membantai serdadu Inggris.
Ketika menunjuk Zuluaga sebagai kepala keamanan Timnas Uruguay, AUF memang tidak tahu menahu soal masa lalunya. Akan tetapi, ketika akhirnya keterlibatan Zuluaga dengan DNII diungkap pada 2011, AUF pun tidak berbuat apa-apa.
Sampai pada titik itu, mentalitas lawas yang menganggap sepak bola bisa menutupi segalanya masih diusung oleh AUF. Akan tetapi, seiring dengan putusan bersalah yang dijatuhkan pengadilan pada Mei 2018 lalu, Zuluaga akhirnya dipecat dari jabatannya di Timnas.
ADVERTISEMENT
Penunjukan Zuluaga itu adalah contoh paling banal dari bagaimana Uruguay memilih untuk berdamai dengan masa lalu lewat cara yang salah. Padahal, lewat sepak bola pula, Uruguay secara tidak sadar pernah mengalami sendiri bagaimana represi junta militer meninggalkan residu yang tak mengenakkan. Misinterpretasi Garra Charua dan stereotip sepak bola kasar itu adalah peninggalan represi junta militer di tubuh sepak bola Uruguay.
Kini, semuanya sudah jadi lebih baik. Di tubuh Timnas Uruguay sudah tidak ada lagi sisa-sisa dari masa lalu kelam yang sejujurnya masih belum sanggup mereka enyahkan sepenuhnya. Namun, dalam hal ini terlambat memang lebih baik daripada tidak sama sekali.
Lewat Tabarez, Uruguay berusaha untuk membuat kata-kata getir Galeano tadi menjadi sebuah kebanggaan. Lewat Tim Nasionalnya, Uruguay berupaya untuk menjadikan kejayaan sepak bola sebagai sinonim dari negara mereka itu. Lewat Piala Dunia, Uruguay bertekad untuk mencatatkan sejarah yang tidak mungkin mereka ukir lewat cara-cara biasa. Lewat sepak bola, Uruguay mencoba jadi entitas yang tak melulu dipandang sebelah mata.
ADVERTISEMENT