Dibenci, Dicerca, Mourinho Jugalah yang Akhirnya Tertawa

25 Mei 2017 14:45 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Akhir musim sempurna untuk Mourinho. (Foto: Andrew Couldridge/Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Akhir musim sempurna untuk Mourinho. (Foto: Andrew Couldridge/Reuters)
Kami menganggap Jose Mourinho adalah orang yang “menyebalkan”. Bagaimana tidak, dicerca dan dikritik seperti apapun, ujung-ujungnya dia juga yang tertawa.
ADVERTISEMENT
“Dalam musim yang buruk, di mana saya terkadang merasa bahwa tim saya adalah yang terburuk di dunia, di mana saya terkadang merasa sebagai manajer terburuk di dunia, kami berhasil mendapatkan tiga trofi. Dan kami melaju ke Liga Champions dengan merebut trofi, bukan dengan finis di posisi kedua, ketiga atau keempat,” ujar Mourinho di Sky Sports.
Oke. Tentu saja ini tidak ada maksud untuk menyindir mereka yang finis di posisi dua, tiga, dan empat klasemen Premier League. Tapi, ini Jose Mourinho, orang yang membangun karier manajerialnya dengan beragam perang urat syaraf. Tidak sedikit musuh yang ia dapatkan karenanya.
Namun, di sisi lain, tentu saja ini perkara membanggakan diri sendiri dengan nada yang sedikit merendah. Pada intinya, Mourinho ingin bilang, seburuk-buruknya “Setan Merah” musim ini, mereka masih mampu mendapatkan tiga trofi.
ADVERTISEMENT
Well, okelah jika Community Shield tidak dihitung sebagai trofi karena level prestise-nya di Inggris yang tidak seberapa. Begitu juga dengan Piala Liga Inggris, yang dianggap cuma “trofi Mickey Mouse” karena levelnya masih di bawah Premier League dan Piala FA. Tapi, memenangi trofi di kancah Eropa sebagai penutup musim adalah sesuatu yang layak dirayakan.
Kamis (25/5/2017) dini hari WIB, di Friends Arena, Stockholm, Swedia, United menang 2-0 atas Ajax Amsterdam di final Liga Europa. Dua gol dari Paul Pogba dan Henrikh Mkhitaryan berhasil meredam anak-anak muda Ajax yang tampil eksplosif sepanjang perjalanan mereka di Liga Europa.
Ada tudingan bahwa Mourinho bermain negatif, tentu saja. Jika Anda iseng membuka linimasa Twitter ataupun Facebook sejak dini hari tadi hingga siang ini, dan mengetik Mourinho di bagan pencarian, Anda akan menemukan satu-dua (atau lebih) tudingan bahwa pria asal Setubal, Portugal, itu memarkir bus hanya untuk menghadapi sekelompok anak muda.
ADVERTISEMENT
Anda boleh saja menganggapnya sebagai hal yang memalukan. Tetapi Mourinho tidak berpendapat demikian. Usai pertandingan, ia mengakui terang-terangan bahwa timnya memang bermain pragmatis. Namun, itu adalah unjuk respek dan pengakuan atas kemampuan pemain-pemain muda Ajax.
Ya, kalau tidak bermain seperti itu, bagaimana lagi cara menghentikan kecepatan dan agresivitas Davy Klaassen dan rekan-rekannya?
“Malam ini adalah kemenangan dari pragmatisme, kemenangan dari orang-orang yang merendah, orang-orang yang menghormati lawannya, orang-orang yang berusaha untuk mematikan kualitas lawannya dan mengeksploitasi kelemahan mereka,” ucap Mourinho.
Ajax musim ini adalah Ajax yang berbeda. Jika sebelumnya mereka tampil stylish di bawah arahan Frank de Boer, musim ini bersama Peter Bosz mereka memadukan keindahan permainan dan agresivitas. Salah satu tulisan di The Guardian bahkan berani menyebut permainan mereka mirip (Tim Nasional) Belanda era Johan Cruyff di 1970-an.
ADVERTISEMENT
Bosz adalah orang yang mengagumi betul filosofi Cruyff. Ia memadukan pemain-pemain muda kreatif dan cerdas, yang bisa tampil begitu cair, dengan determinasi yang memungkinkan mereka untuk memberlakukan pressing tanpa kenal lelah.
“Rasanya seperti melihat Belanda di tahun 1974,” ujar Auke Kok, penulis biografi Cruyff.
Dengan Amin Younes, Kasper Dolberg, dan Bertrand Traore, Ajax berulang kali mengobrak-abrik pertahanan lawan dengan pergerakan cepat dan kelincahan ketiga pemain tersebut. Sementara tiga gelandang di belakang mereka, kapten Davy Klaassen, Lasse Schone, dan Hakim Ziyech, bertugas memberikan tekanan terhadap pemain yang menguasai bola di lini tengah dan mengalirkannya kembali ke depan.
Dengan begitu, menghadapi Ajax bisa terasa amat melelahkan.
Namun, Mourinho pada dasarnya adalah penihil. Pada masa di mana taktik sepak bola adalah soal mematikan permainan lawan, dia berjaya. Semalam, ia memperlihatkan perangai aslinya.
ADVERTISEMENT
Kemurnian dan kenaifan Ajax adalah makanan empuk bagi setan dengan banyak tipu muslihat seperti Mourinho. Paham bahwa pressing Ajax di lini tengah bisa begitu melelahkan, ia enteng saja memasang trio Paul Pogba, Ander Herrera, dan Marouane Fellaini sebagai gelandang.
Okelah, tidak ada yang mengherankan dari pemilihan Pogba dan Herrera karena keduanya memang protagonis lini tengah “Setan Merah”, tapi mengapa memilih Fellaini ketimbang Michael Carrick, orang yang paling baik dalam memegang peran holding midfielder di lini tengah United?
Sederhana saja: dengan usia yang sudah 35 tahun, Carrick bakal kesulitan menghadapi pressing ketat dari pemain-pemain yang jauh lebih muda. Laga melawan Liverpool di Old Trafford dan Tottenham Hotspur di White Hart Lane membuktikan hal ini.
ADVERTISEMENT
Dengan memasang trio Pogba-Herrera-Fellaini, Mourinho tidak hanya mendapatkan orang-orang yang liat dan cerdas dalam mengalirkan bola, tetapi juga kekuatan fisik. Pada laga dini hari tadi, Herrera diserahi tugas untuk berpatroli di depan back-four, sementara Fellaini dan Pogba diberikan kebebasan untuk merangsek ke depan.
Hasilnya? Pogba benar-benar menunjukkan bahwa di laga penting, ia bisa diharapkan. Berulang kali ia memenangi perebutan bola di lini tengah, menggiringnya, dan membaginya ke lini depan. Fellaini? Ia memenangi 15 duel perebutan bola di udara, 4 tekel, 2 kali melakukan sapuan bersih, dan 1 assist untuk gol Pogba.
Herrera, sementara itu, dinobatkan sebagai man of the match oleh UEFA. Penampilan tak kenal lelahnya, dengan membuat 5 tekel sukses dan 4 intersep —yang terbanyak di antara pemain-pemain lainnya yang bermain dini hari tadi— membuat gelandag-gelandang Ajax kesulitan melakukan build-up.
ADVERTISEMENT
Alhasil, seperti yang terlihat di babak pertama, Ajax tidak punya pilihan lain selain mengarahkan serangan mereka lewat sayap. Mourinho sendiri sudah bisa mengantisipasi hal ini, sehingga ketika para pemain belakang Ajax menguasai bola, dan bersiap untuk membangun serangan, Anda bisa melihat dua penyerang sayap United, Henrikh Mkhitaryan dan Juan Mata, turun ke lini tengah, membentuk formasi lima gelandang bersama Pogba-Fellaini-Herrera, untuk menghentikan aliran bola ke sayap.
Boleh dibilang, taktik Mourinho bekerja dengan baik semalam. Walau, tentu saja, ini akan tertutupi oleh tudingan-tudingan miring semisal parkir bus.
Namun, apapun tudingan itu, kritik-kritik itu —seperti halnya kritik bahwa Mourinho sudah menghabiskan banyak duit hanya untuk membawa United finis di posisi keenam liga—, ujung-ujungnya dialah yang tertawa.
ADVERTISEMENT
Sialan betul.