Dimitar Berbatov Ada untuk Mereka yang Sedang Muak dengan Sepak Bola

3 Desember 2018 19:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Dimitar Berbatov saat membela Manchester United. (Foto: ANESH DEBIKY / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Dimitar Berbatov saat membela Manchester United. (Foto: ANESH DEBIKY / AFP)
ADVERTISEMENT
Menulis Dimitar Berbatov itu menyusahkan. Ia seperti menulis tentang orang yang kau bayangkan untuk menjadi teman bicara saat semuanya sedang tidak baik-baik saja. Saat semuanya memukulmu hingga kau jatuh terduduk dan merasakan lemas yang teramat hebat pada kedua tungkai kakimu. Segalanya tampak seperti sedang menggerusmu dengan rakus dan melenyapkan kewarasan yang selama ini kau pelihara baik-baik.
ADVERTISEMENT
Kau bicarakan semuanya dengan Berbatov. Ia mendengarkanmu tanpa bicara, tanpa mengalihkan pandangannya dari matamu dengan tekun, tanpa memotong pembicaraanmu dan mengatakan hal paling menyebalkan yang bisa dikatakan oleh banyak orang: 'Saya dulu juga seperti itu’ dan menjejalimu dengan omongan-omongan klise dan normatif. Berbatov akan diam sampai kau mencapai titik, bukan koma.
Ia akan menjawab ceritamu dengan omongan yang entah dari mana asalnya, tapi punya daya untuk meyakinkan bahwa kalaupun kau tidak akan baik-baik saja hari ini, maka kau akan merasa baik-baik saja besok. Kalaupun tidak besok, mungkin lusa, minggu depan, bulan depan, atau bahkan tahun depan.
Lalu, kalian berdua akan tertawa. Bukan tawa yang terbahak-bahak, tapi tawa yang membidani kelahiran satu kelegaan baru. Dan kalian akan menenggak bir masing-masing sampai habis, bukan untuk mabuk berat sampai tak sadar- tapi untuk merayakan ketidakberdayaanmu hari ini dan menyambut kau yang akan baik-baik saja besok atau kapan saja--tanpa pertanyaan kapan waktu yang baik itu akan datang menjadi kawanmu.
ADVERTISEMENT
Dalam wawancaranya bersama Andy Mitten yang tayang di ESPNFC pada Oktober 2017, Berbatov berbicara tentang apa yang terjadi di kantor Sir Alex Ferguson saat mereka masih aktif membela Manchester United. Bila diperkirakan, mungkin ini terjadi pada 2008 atau 2009. Waktu itu Sir Alex memanggilnya ke kantor. Berbatov menyadari bahwa Sir Alex sedang belajar soal Napoleon Bonaparte. Entah apa tujuannya, yang jelas ia melihat buku biografi Napoleon tergeletak di mejanya.
Sir Alex memulai pembicaraan di ruangan itu dengan kalimat 'Berba, dulu saya pemain yang hebat. Saya mencetak banyak gol!' dan setelahnya mereka tertawa.Tapi, salah besar bila mengira itu akan menjadi awal dari puja-puji Sir Alex kepada Berbatov.
Setelahnya, pelatih asal Skotlandia itu justru mengatakan dengan terus terang bahwa Berbatov tidak akan bermain. “Kamu tidak akan bermain hari ini, tapi mungkin kamu akan bermain minggu depan." Berbatov lantas menanggapi omongan itu juga dengan kalimat yang singkat dan tak kalah jujur. “Yep, mungkin keputusan Anda benar."
ADVERTISEMENT
Dimitar Berbatov dan Sir Alex Ferguson. (Foto: GLYN KIRK / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Dimitar Berbatov dan Sir Alex Ferguson. (Foto: GLYN KIRK / AFP)
Di mata Berbatov, Sir Alex selalu punya cara untuk menyampaikan hal paling tidak menyenangkan kepada anak-anak didiknya, termasuk dia sendiri. Pemain mana, sih, yang tidak ingin bermain untuk timnya setiap pekan? Apalagi, Berbatov bukan orang Inggris, ia orang Bulgaria yang merantau ke Inggris dan menyadari bahwa orang-orang negeri yang mengklaim diri sendiri sebagai rumah bagi sepak bola itu menyukai permainannya.
United juga bukan klub pertama Berbatov di Inggris. Sebelumnya, ia sudah pernah membela Tottenham Hotspur di sana. Ia bahkan menjadi jagoan di Kota London setelah melakoni awal-awal musim dengan situasi paling memuakkan: mengakrabi bangku cadangan.
Berbatov tidak datang ke Inggris dengan nama besar. Ia dulu hanya bermain untuk klub asal Bulgaria, tanah kelahirannya. Tapi, di Bulgaria sana ia punya reputasi. Dalam wawancaranya itu, Berbatov menjelaskan seperti apa kehidupannya di Bulgaria.
ADVERTISEMENT
Harinya akan dimulai pada pukul 06:00, diawali dengan mengantre untuk membeli roti bagi keluarganya. Baru pada pukul 07:00 seluruh pikirannya tertuju pada sepak bola. Reputasinya di jagat sepak bola jalanan saat itu ibarat gembong narkoba kelas kakap. Ditakuti, disegani, semua orang ingin berkawan dengannya untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan: kemenangan di sepak bola jalanan.
“Saya selalu bermain sepak bola melawan anak-anak yang usianya lebih tua dari saya. Padahal, waktu itu umur saya baru 10 tahun tapi saya akan datang ke sekolah dan jalanan dengan dada yang membusung karena orang-orang menyukai permainan saya. Rasanya, seperti menjadi gembong narkoba terkenal," jelas Berbatov.
Entah pemain macam apa yang membandingkan diri sendiri dengan bandar narkoba. Ia tidak membandingkan diri sendiri seperti pemain-pemain bintang. Jangankan pemain asing, pemain negerinya sendiri pun tidak. Omongan yang di satu sisi menggambarkan bahwa sepak bola bukan perkara yang suci yang begitu agung sampai menempatkanmu sebagai Tuhan di lapangan bola. Dalam alam pikir Berbatov, kalaupun ia tidak bisa menjadi Tuhan, setidaknya ia bisa terlihat seperti bandar narkoba yang sangar.
ADVERTISEMENT
Berbekal dengan reputasi yang dipeliharanya baik-baik itu, wajar bila Berbatov mengharapkan tempat utama begitu menjejak di Inggris, terlebih bermain untuk klub terbesar mereka, United. Seharusnya ia muak dengan omongan Sir Alex. Seharusnya ia tidak terima. Tapi, ia menerimanya dengan satu pemahaman kau tidak perlu menjadi yang terbaik atau terkuat setiap pekannya. “Untuk bisa bertahan di sepak bola, kau tidak boleh terus-terusan berpikir: What the f***! Saya ini layak untuk terus bermain."
Berbatov di PAOK Athens. (Foto: SAKIS MITROLIDIS / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Berbatov di PAOK Athens. (Foto: SAKIS MITROLIDIS / AFP)
Menulis Dimitar Berbatov itu menyusahkan. Sepak bola adalah ranah yang kejam dan membingungkan. Ia ibarat labirin rumit yang menghabiskan tenaga dan kewarasanmu. Sepak bola memuja maskulinitas, ia memuja kekuatan yang tanpa batas. Semua orang ingin menjadi yang terkuat karena semua orang dituntut untuk menjadi kuat. Maka sepak bola menjadi arena bar-bar. Tapi, beruntunglah sepak bola karena memiliki Berbatov--orang yang tidak punya urusan untuk menjadi yang terkuat, orang yang tidak punya kepentingan untuk merebut tempat sebanyak-banyaknya.
ADVERTISEMENT
Sejak 2017/18, United dihebohkan dengan perseteruan Jose Mourinho dan Paul Pogba. Keduanya tak mengaku bahwa mereka sedang berseteru, meyakinkan publik bahwa hubungan keduanya baik-baik saja. Mourinho menyindir Pogba, Pogba menjawab dengan sindiran. Entah mana yang benar, semua orang berlomba-lomba untuk menyimpulkan.
Mourinho ada karena ego setinggi langitnya. Tak ada manusia yang tidak memiliki ego karena ego memang dibutuhkan. Namun, Mourinho adalah sosok yang berbeda. Saat merasa keberadaannya sedang terancam, ia tidak akan segan merebut kekuasaannya dengan ribut-ribut. Maka jangan heran jika konferensi pers Mourinho dipenuhi dengan kalimat-kalimat kontroversialnya. Mourinho tidak ingin ada yang lebih besar darinya--termasuk para pemainnya, termasuk Pogba yang apa lacur, memang hebat.
Menanggapi apa yang sedang melanda mantan klubnya ini, Berbatov punya jawaban jenakanya sendiri. Katanya, "Sepak bola itu adalah tentang bagaimana kau tampil di atas lapangan, bukannya besar-besaran penis." Tenang, ia tidak sedang berkata jorok atau melecehkanmu secara verbal.
ADVERTISEMENT
Penis, bagaimanapun, menjadi lambang maskulinitas dan kekuatan seorang pria. Pogba dan Mourinho sama-sama pria yang berjibaku di atas lapangan bola. Maka lewat omongannya yang terkesan kasar dan nyeleneh itu, Berbatov hanya ingin menjelaskan bahwa sah-sah saja bila kau ingin menjadi yang terkuat atau menancapkan hegemoni di atas ranah sepak bola. Tapi, lakukanlah itu sebagai pelakon sepak bola. Beradu cerdas, hebat, dan tangkas di atas lapangan.
Sepak bola adalah perkara menendang bola, bukannya adu bacot. Ada waktunya kau diam dan bersikap kalem. Ada pula waktunya kau bersikap beringas. Toh, Berbatov bukannya pemain yang elegan-elegan amat. Ia juga pernah diganjar kartu merah karena menyikut pemain lawan. Tapi kartu merah adalah hal yang hanya muncul dalam pertandingan. Artinya, jika kau ingin bertindak kasar sekalipun, lakukanlah itu saat peluit panjang belum berbunyi.
ADVERTISEMENT
"Jika renjana akan sepak bola sudah berkurang, saya berhenti berteriak dan bereaksi di atas lapangan, maka saya sudah tidak peduli lagi dengan sepak bola atau klub tempat saya bermain," seperti itu penjelasan Berbatov menyoal kartu merah saat ia membela PAOK Athens di laga derbi melawan AEK Athens pada Januari 2016.
Dimitar Berbatov sewaktu membela AS Monaco. (Foto: ANNE-CHRISTINE POUJOULAT / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Dimitar Berbatov sewaktu membela AS Monaco. (Foto: ANNE-CHRISTINE POUJOULAT / AFP)
Menulis Dimitar Berbatov itu menyusahkan. Bintang-bintang lapangan adalah figur publik. Yang ada di pundak mereka bukan cuma beban untuk mengantarkan gelar juara kepada timnya, tapi juga menjaga citra yang baik di hadapan orang. Pesepak bola tak boleh salah, selayaknya selebriti, hidupnya dikuntit oleh media. Menjatuhkan mereka dengan pemberitaan tak sedap memang godaan tersendiri.
Begitu pula ketika media menayangkan fotonya dengan rokok yang tersulut pada 2009. Alih-alih menyangkal dengan keras, Berbatov melakoninya dengan santai, tetap dengan gayanya yang ogah-ogahan untuk memberat-beratkan satu masalah. "Tidak, saya tidak merokok. Kalau kalian melihat foto saya saat merokok, saya hanya berpura-pura merokok supaya terlihat keren." Ya, seperti itu cara Berbatov menutup ribut-ribut yang dianggapnya tak penting itu.
ADVERTISEMENT
Menulis Dimitar Berbatov itu menyusahkan. Ia seperti berbicara tentang orang yang akan selalu mengakui apa yang kau kerjakan, tanpa peduli apakah tanggung jawab itu mentereng apa tidak. Masih dalam wawancaranya bersama Mitten, Berbatov mengenang-ngenang soal koki United dulu. Katanya, koki itu begitu brilian, memiliki cinta yang hebat kepada klubnya.
"Bahkan koki di United dulu menggunakan lagu 'Glory, Glory Man United' sebagai nada dering ponselnya. Orang-orang ini begitu peduli dengan tim dan menuntaskan tugasnya. Itu pulalah yang membuat kami peduli dengan tim dan menyelesaikan pekerjaan kami," jelas Berbatov kepada ESPNFC.
Ada banyak pemain yang mengekspresikan kekagumannya akan pelatih atau rekan setimnya di hadapan publik. Tapi, rasanya hanya Berbatov yang pernah memberi tahu jurnalis lagu apa yang digunakan oleh juru masak timnya sebagai nada dering. Bagian wawancara yang bagi para pembacanya cukup remeh, tapi menunjukkan bahwa selama masih ada dalam klub yang sama, tidak ada orang yang terlalu kecil bagi Berbatov.
ADVERTISEMENT
Pembicaraan yang paling sering diingat orang tentang Berbatov adalah menyoal sentuhan pertamanya saat hendak menguasai bola; "Kau harus memperlakukan bola dengan gentle, se-gentle kau memperlakukan wanitamu."
Bagaimana Berbatov mengendalikan bola selalu menjadi ciri khas. Di atas lapangan sana ia menawarkan hal baru bahwa sepak bola bukan tentang gol melulu. Di benaknya, tak masalah bila di beberapa pertandingan ia tidak bisa mencetak gol karena keindahan sepak bola ada di keseluruhan pertandingan bukan cuma lima enam detik saat gol tercipta.
Bola, kata Eduardo Galeano, tidak suka dipermainkan karena suasana hatinya dapat berubah kapan pun. Ia lebih suka dibuai dengan ditidurkan di dada atau kaki. Ia menggelinding dan memantul dari satu lapangan ke lapangan lain dengan kebanggaan. Bukan kebanggaan tanpa alasan, karena kemenangan atau kekalahan bergantung penuh pada keputusannya untuk bersarang di gawang mana.
ADVERTISEMENT
Rooney-Berbatov, Manchester United 2011. (Foto: ANDREW YATES / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Rooney-Berbatov, Manchester United 2011. (Foto: ANDREW YATES / AFP)
Maka, Berbatov memperlakukan bola dengan pantas. Ia tidak pernah memerintahkan bola untuk berpihak padanya, tapi memintanya dengan baik dan lembut. Apa yang dipertontonkannya saat United berhadapan dengan Liverpool pada September 2010 menjadi salah satunya. Berbatov memang mencetak trigol di laga itu, tapi gol kedua menjadi yang paling gila dalam alam pikirnya.
"Nani memberikan umpan silang dan saya melihat (Wayne) Rooney ada di depan saya. Rooney terlihat hendak menggapai bola itu. Saya berkata kepadanya: Wazza (nama panggilan Rooney -red), tinggalkan bola itu. Wazza! Wazza! Biarkan saya yang mengambilnya!"
"Seketika ia memberikan ruang bagi saya dan begitu saya berhasil mencetak gol, ia berkata seperti ini dengan bangganya: 'Saya yang meninggalkan bola itu untukmu.' Saya mengontrol bola itu dengan paha. Bohong bila berkata bahwa saya sudah melatih manuver itu berkali-kali. Yang saya sadari waktu itu, bola melambung tinggi dan mengontrol bola dengan paha adalah opsi terbaik. Keputusan itu saya buat hanya dalam waktu sepersekian detik. Semuanya serba otomatis, jadi tanpa pikir panjang. Dan cara saya mencetak gol membuat segala sesuatunya menjadi lebih keren."
ADVERTISEMENT
Berbatov tidak menendang bola dengan serampangan. Tiap kali menyentuh bola, kondisinya hampir sama dengan saat ia memperlakukan siapa pun yang ada di timnya, baik itu mereka yang berhubungan langsung dengan pertandingan ataupun tidak--ya, macam kokinya itu. Yang mencuat setiap kali bola mendarat di tubuhnya adalah kegembiraan yang sederhana, kesenangan yang tak lahir dari nafsu untuk menjadi yang terhebat, dan kebahagiaan yang tidak bisa dipahami sepenuhnya oleh mereka yang sibuk menjadi yang paling sempurna di atas lapangan bola.
Menulis Dimitar Berbatov itu menyusahkan. Ia seperti menulis makhluk khayali di ranah sepak bola yang hanya kau dengar dari mulut ke mulut dan tak pernah kau temui muka dengan muka. Tapi, kata 'seperti' tidak selalu bercerita tentang apa yang sebenarnya terjadi. Buktinya, jejak Berbatov ada di sejumlah lapangan. Maka mungkin, di luar lapangan bola kita bisa menjadi Berbatov atau entah bagaimana caranya, bertemu dengan Berbatov kita masing-masing.
ADVERTISEMENT