Eric Cantona, Manchester United

Eric Cantona, Anak Nakal yang Menjadi Raja

26 Maret 2020 14:15 WIB
comment
128
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Eric Cantona, Si Anak Nakal yang menjadi Raja. Foto: AFP
zoom-in-whitePerbesar
Eric Cantona, Si Anak Nakal yang menjadi Raja. Foto: AFP
Matthew Simmons memang masih belia ketika itu tetapi dia tidak bodoh. Simmons tahu persis apa yang harus dilakukan untuk memperbesar kemungkinan tim kesayangannya, Crystal Palace, meraih kemenangan atas Manchester United.
Ada satu pemain yang harus disingkirkan, begitu pikir para suporter Palace, dan pemain itu adalah Eric Cantona. Simmons pun, bersama para pendukung lain, terus menghujani Cantona dengan hujatan sejak peluit tanda sepak mula ditiup wasit Alan Wilkie.
Di lapangan, misi untuk menyingkirkan Cantona juga diusung para pemain Crystal Palace. Manajer mereka kala itu, Alan Smith, memberi tugas khusus kepada pemain bertahan Richard Shaw untuk menempel Cantona sepanjang pertandingan.
Shaw menjalankan tugasnya dengan baik. Bahkan, di Premier League musim 1994/95 itu, dia dinobatkan sebagai pemain terbaik The Eagles. Melihat apa yang dilakukannya terhadap Cantona, tidaklah mengherankan jika gelar itu jatuh ke tangannya.
Cantona praktis tak berkutik di hadapannya. Shaw rela melakukan apa pun untuk menghambat pergerakan bintang asal Prancis itu dan, lebih penting lagi, dia sukses mengisi kepala Cantona dengan hal-hal yang salah. Alih-alih cara mencetak gol, Cantona cuma memikirkan cara membalas perlakuan Shaw.
Sampai akhirnya pertandingan tiba di menit ke-48. Peter Schmeichel, kiper Manchester United, membuang bola jauh-jauh dari area kotak penaltinya dan Cantona berupaya untuk mengamankannya. Namun, Shaw punya rencana lain. Sebelum bisa menguasai bola, Cantona lebih dulu dijatuhkannya.
Tanpa berpikir, Cantona langsung bangkit dan menendang Shaw. Mission accomplished. Wilkie meniup peluit dan mengacungkan kartu merah kepada Cantona. Selhurst Park menggelegak. Suporter Palace yang girang merespons kejadian itu dengan meningkatkan volume makian mereka.
Untuk masuk ke ruang ganti stadion tersebut, semua orang harus berjalan melewati pinggir lapangan. Itu artinya, mereka juga harus melewati tribune yang berisikan para pendukung tuan rumah. Simmons, kebetulan, berada di area yang dilewati oleh Cantona dalam perjalanan menuju ruang ganti.
Tak puas melihat Cantona dikartu merah, Simmons terus melontarkan hujatan. Dan sisanya adalah sejarah. Tendangan kung-fu ala Willy Dozan dilancarkan Cantona ke tubuh Simmons. Tak ketinggalan juga beberapa pukulan ke arah wajah. Hari itu, 22 Januari 1995, Cantona menjadi mitos.
***
Cantona adalah pesepak bola hebat. Dia punya kemampuan teknis yang memungkinkannya untuk mencetak gol-gol di luar nalar. Dia juga memiliki kecerdasan yang mengizinkannya untuk menundukkan narasi pertandingan sesuai kehendaknya.
Tak cuma itu, posturnya pun tinggi besar. Dia memiliki kekuatan fisik yang pernah membuat tukang jagal seperti Vinnie Jones malu. Cantona juga seorang pekerja keras yang mau menjelajah segala sisi lapangan hijau. Dia tidak cepat tetapi punya determinasi tinggi.
Namun, ya, itu tadi. Sumbu amarah di kepala Cantona begitu pendek. Disulut sedikit saja dia langsung meledak dan itu semua mencapai puncaknya di Selhurst Park. Tendangan kung-fu itu akhirnya jadi narasi yang paling sering digunakan untuk mendeskripsikan seorang Cantona.
Bagi Cantona sendiri, insiden di London Selatan itu bukan yang pertama. Bisa dibilang, momen itu adalah puncak gunung es dari segala kelakuan ngawur yang pernah dilakukan Cantona selama berkarier sebagai pesepak bola. Untuk melacak itu semua, kita harus kembali ke Burgundy, Prancis, pada 1983.
Cantona lahir di Marseille, sebuah kota pelabuhan yang keras di Prancis, pada 1966. Di situlah dia jatuh cinta pada sepak bola dan di situ pulalah dia mulai belajar bagaimana caranya mengolah bola dengan benar. Pada usia 15 tahun, dia bergabung dengan klub kecil bernama Les Caillols.
Mulanya, Cantona muda bermain sebagai penjaga gawang. Akan tetapi, karena pada dasarnya punya bakat alamiah yang besar, posisi yang dia huni semakin lama semakin maju. Sampai akhirnya, Cantona pun menjadi seorang striker yang mampu mencuri perhatian Auxerre.
Pada 1981 Cantona hijrah ke akademi Auxerre dan dua tahun kemudian dia sukses merebut hati pelatih legendaris Guy Roux. Di usia 17 tahun, meski tanpa kontrak profesional, Cantona sudah dipercaya untuk memperkuat tim senior Auxerre.
Karier sepak bola Cantona sempat terdisrupsi pada 1984 karena harus menjalani wajib militer. Setelah itu pun dia dipinjamkan Auxerre ke sebuah klub bernama Martigues. Di sinilah kiprah Cantona sebagai pembuat onar bermula. Dalam sebuah kesempatan, dia terlibat keributan dengan seorang suporter di tribune.
Walau demikian, Roux tidak kehilangan kepercayaan terhadap Cantona. Apalagi, Cantona muda berhasil menyelamatkan Martigues dari degradasi ke Divisi Tiga Liga Prancis. Pada akhir musim 1985/86, Cantona kembali ke Auxerre dan dipersiapkan untuk menjadi tumpuan tim sepeninggal Andrzej Szarmach.
Problemnya adalah, sumbu Cantona tampak semakin pendek saja di Auxerre. Pada musim 1986/87 dia dinobatkan menjadi pemain muda terbaik Liga Prancis tetapi di saat bersamaan dia juga melakukan tindak kekerasan pertama. Kiper Auxerre kala itu, Bruno Martini, diberinya bogem mentah sampai lebam.
Ajaibnya, Roux tidak memberi hukuman berat kepada Cantona kala itu. Cantona cuma didenda dan terus bermain seperti tidak terjadi apa-apa. Setahun kemudian, barulah Cantona mendapat hukuman berat ketika tindak kekerasan itu dilakukannya terhadap pemain lawan.
Simmons bukanlah korban tendangan kung-fu Cantona yang pertama. Pada 1988, pemain Nantes bernama Michel Der Zakarian sudah pernah merasakannya. Akibat peristiwa ini, Cantona mendapat hukuman larangan bermain selama tiga bulan dan di sinilah kesabaran Roux habis.
Cantona kemudian dilego ke Marseille. Semestinya, bermain di klub idola dari kota kelahiran bisa membuatnya jadi lebih dewasa. Akan tetapi, kelakuan Cantona semakin parah saja di sini. Bahkan, kebengalan Cantona itu akhirnya terseret juga ke Timnas Prancis.
Henri Michel, pelatih Les Bleus saat itu, jadi sasaran Cantona yang pertama. Dalam sebuah wawancara di televisi, Cantona mendeksripsikan Michel sebagai 'sac of merde' atau 'sekantung tahi' dan ini membuatnya mendapat larangan bermain selama satu tahun.
Eric Cantona dalam pertandingan Prancis vs Inggris tahun 1992. Foto: AFP/Martin Hayhow
Setiap tahun, setidaknya ada satu kontroversi yang dibuat Cantona di Prancis. Pada 1989, dia melempar jersinya ke arah pelatih Marseille, Gerard Gili, setelah ditarik keluar pada laga amal melawan Torpedo Moskva. Pemilik Marseille, Bernard Tapie, pun geram bukan kepalang.
Tapie akhirnya mengirim Cantona ke Montpellier. Di klub ini, Cantona kembali berbuat ulah. Menyusul kekalahan dari Lille, Cantona melempar sepatu ke muka rekan setimnya, Jean-Claude Lemoult. Montpellier kemudian memberinya hukuman larangan bermain dua pertandingan.
Sebagai catatan, Montpellier bukanlah satu-satunya tim yang pernah diperkuat Cantona sebagai pemain pinjaman dari Marseille. Sebelum itu dia sempat juga dipinjamkan ke Bordeaux karena pada dasarnya Tapie memang tidak menyukai Cantona.
Keinginan Tapie menyingkirkan Cantona sepenuhnya terwujud pada 1991 ketika Nimes bersedia untuk menampungnya. Namun, karier Cantona di sini tak bertahan lama karena kelakuannya makin menjadi. Dia sempat melempar bola ke arah wasit karena tak terima dikartu merah serta menyerang pemain lawan.
Di Timnas Prancis pun Cantona kian tak terkendali. Insiden pelemparan bola itu membuat Cantona dijatuhi hukuman larangan main sebulan. Dia pun harus menghadiri sidang dengan pendapat. Di sidang itu, Cantona mengamuk dan menyebut semua anggota komite 'idiot'. Hukuman pun ditambah jadi dua bulan.
Penambahan hukuman itu membuat Cantona semakin meradang sampai-sampai dia mengumumkan pensiun dari Timnas Prancis. Peristiwa inilah yang kemudian memicu kepindahan Cantona ke Britania. Michel Platini berperan besar di balik keputusan tersebut.
Platini saat itu menjabat sebagai pelatih Timnas Prancis dan dia tidak rela melihat Cantona pensiun dari sepak bola internasional. Oleh Platini, Cantona dibujuk untuk memulai lagi kariernya dari nol di Inggris. Platini bahkan menawarkan Cantona ke pelatih Liverpool, Graeme Souness, secara langsung.
Souness menolak memberi Cantona kesempatan tetapi Platini tak menyerah. Dia pun menghubungi kawan lamanya, Trevor Francis, yang saat itu melatih Sheffield Wednesday. Francis mengalah. Eks pemain Birmingham City dan Sampdoria itu mau memberi Cantona kesempatan.
Akan tetapi, sedari awal Francis sudah berkata kepada Platini bahwa Wednesday tidak punya kekuatan finansial untuk merekrut Cantona. Wednesday ketika itu hanya menjadi etalase untuk memamerkan Cantona kepada klub-klub kaya di Inggris.
Sampai akhirnya, Leeds United asuhan Howard Wilkinson menunjukkan minatnya. Pada Januari 1992, Cantona diresmikan sebagai penggawa baru The Whites. Mulanya, Cantona cuma didatangkan sebagai pemain pinjaman dari Nimes tetapi kemudian statusnya dipermanenkan.
Setengah musim bersama Leeds itu jadi masa yang menyenangkan buat Cantona. Dia dibayar mahal dan sanggup menunjukkan permainan cemerlang. Gelar Liga Inggris pun berhasil dipersembahkan dirinya untuk klub yang bermarkas di Elland Road tersebut.
Sayangnya, bulan madu itu tak berlangsung lama. Pada musim 1992/93 yang menjadi musim pertama digelarnya Premier League, Cantona mulai bersikap seenaknya. Wilkinson sendiri mulai gerah dengan sikap Cantona dan mulai sering memarkirnya di bangku cadangan.
Tahu bahwa relasinya dengan Wilkinson tak bisa lagi diselamatkan, Cantona kemudian meminta dijual. Tak cuma meminta dijual malah. Dalam faksimili yang dikirimkannya kepada pihak klub, Cantona menyatakan ingin bermain untuk Manchester United, Liverpool, atau Arsenal.
Sejarah sudah mencatat bahwa akhirnya Cantona hijrah ke Manchester United dan menjadi legenda di sana. Akan tetapi, mulanya Alex Ferguson tidak berpikir untuk merekrut dirinya. Cantona ketika itu merupakan opsi keempat bagi Ferguson.
Ferguson sudah memiliki Mark Hughes dan Brian McClair di lini depan tetapi dia ingin lebih. Dia ingin mendatangkan pemain nomor sepuluh. David Hirst, Matthew Le Tissier, dan Brian Deane jadi pilihan utama Ferguson saat itu tetapi semuanya gagal digaet.
Akhirnya, sebuah panggilan telepon dari bos Leeds, Bill Fotherby, masuk ke pesawat milik bos United, Martin Edwards. Fotherby menelepon Edwards untuk menanyakan apakah Denis Irwin dijual atau tidak. Tentu saja, pemain yang berjuluk Mr. Reliable itu tidak dijual oleh 'Iblis Merah'.
Eric Cantona. Foto: AFP
Di momen yang sama, Edwards yang sedang bersama Ferguson berbalik menanyakan apakah Cantona dijual atau tidak. Fotherby tak langsung memberi jawaban tetapi beberapa hari kemudian Cantona sudah resmi menjadi pemain baru Manchester United dengan nilai transfer 1,2 juta poundsterling.
Sepuluh tahun setelah memulai karier profesional, Cantona akhirnya menemukan tempat yang benar-benar cocok untuknya. Di bawah asuhan Ferguson yang tegas tapi kebapakan, Cantona mulai melunak. Akan tetapi, selunak-lunaknya Cantona tetap saja tidak akan mengubahnya jadi seorang jentelmen.
Setahun sebelum melepaskan tendangan kung-fu ke arah Simmons, Cantona pernah mencatatkan rekor kedisiplinan yang buruk. Pada 1994, dia menjadi pemain Premier League pertama yang diusir wasit dalam dua laga beruntun. Kejadiannya adalah pada laga kontra Swindon Town dan Arsenal.
Namun, secara keseluruhan, Cantona benar-benar melunak. Dia bahkan dipandang sebagai panutan bagi pemain-pemain Manchester United, khususnya Kelas '92 yang di kemudian hari bakal menjadi legenda itu. Bagi United, Cantona bukanlah L'Enfant Terrible (Si Anak Nakal), melainkan Le Roi (Sang Raja)
Sayangnya, kejadian dengan Simmons tadi membuat karier Cantona terhambat. Usai insiden itu dia mendapat hukuman larangan bermain selama delapan bulan. Tempatnya di Timnas Prancis pun dicopot oleh pelatih Aime Jacquet. Ini sempat membuat Cantona frustrasi.
Cantona sempat menyatakan tak mau lagi bermain di Inggris tetapi Ferguson terus membujuknya untuk bertahan, salah satunya dengan memberinya kontrak baru. Akhirnya, pada Oktober 1995, Cantona diperbolehkan kembali tampil untuk The Red Devils.
Cantona menghabiskan dua musim lagi di United sebelum memutuskan gantung sepatu di usia 30 tahun pada 1997. Bisa dibilang, karier Cantona di sepak bola tidak terlalu panjang. Akan tetapi, warisan yang dia tinggalkan, terutama untuk Premier League dan Manchester United, betul-betul sulit disamai siapa pun.
-----
Ayo, ikutan Home of Premier League dan menangi uang tunai Rp50.000.000. Buruan daftar di sini.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten