Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Homeless World Cup, tentang Perjalanan Menemukan Rumah
12 November 2018 19:28 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
ADVERTISEMENT
Yang ada di hadapan kami adalah kolong jembatan layang Pasupati yang disulap menjadi lapangan sepak bola jalanan. Orang-orang di Bandung menyebutnya sebagai Lapangan Bawet.
ADVERTISEMENT
“Bawet itu singkatan (akronim -red) bawah jembatan,” setiap kali ditanya mengapa namanya Bawet, maka jawabannya akan selalu seperti itu. Seragam, singkat, tak berbasa-basi. Di bawah kolong jembatan itu digelar seleksi Timnas Indonesia yang akan bertanding di ajang Homeless World Cup 2014. Kota Santiago yang ada di Chile itu ditunjuk sebagai tuan rumah.
Mendiang Ginan Koesmayadi, yang pernah menjadi bagian dari skuat Timnas yang berlaga di Homeless World Cup 2011, menyambut hampir seluruh orang yang datang ke sana dengan cara yang sama. Melambaikan kedua tangan, nyengir dari kejauhan, berteriak, “Sini, sini!", merangkul, lalu mempersilakan siapa pun yang ingin menonton duduk di atas undakan-undakan yang ada di tepi lapangan sambil minum minuman dingin.
ADVERTISEMENT
Dari tempat menonton itulah orang-orang menyadari bahwa kolong jembatan bukan tempat ideal untuk melakoni segala jenis olahraga--termasuk sepak bola, futsal atau apa pun namanya. Namun, dari tempat tak ideal itu, beberapa orang berjalan menemukan rumahnya: Homeless World Cup .
***
Semuanya bermula dari kekerashatian Mel Young dan Harald Schmied yang membawa ide untuk menyelenggarakan turnamen sepak bola bagi tunawisma pada 2001 di sebuah konferensi bertajuk Global Street Paper Summit yang dihelat di Cape Town, Afrika Selatan. Ide itu tak serta-merta terwujud. Namun, Young dan Schmied menjadi saksi bahwa sepak bola selalu memberikan tempat bagi segala macam kegilaan. Maka, digelarlah Homeless World Cup pertama pada 2003 di Praz, Austria.
Young adalah orang Skotlandia. Sebelum menjadi pengusaha, ia dikenal sebagai jurnalis. Pengalaman menjadi jurnalis membawanya melihat dunia, mulai dari hal terbaik hingga terburuk.
ADVERTISEMENT
“Pekerjaan sebagai jurnalis mengantarkan saya pada pengenalan yang lebih mendalam akan dunia. Ada banyak hal baik, tapi ada banyak juga hal buruk yang saya lihat. Sebagai jurnalis, saya tidak turun ke lapangan dengan membawa misi untuk melaporkan hal-hal buruk itu dalam tulisan saya. Yang ingin saya lakukan adalah mengubahnya,” tutur Young kepada The Guardian.
Sementara, kawannya itu, Schmied, juga punya latar belakang seorang jurnalis. Ia bekerja sebagai editor in chief untuk surat kabar lokal Steiermark, Austria, yang bernama Megaphon. Pada 2003, Schmied dianugerahi penghargaan kemanusiaan oleh Gubernur Waltraud Klasnic berkat kegigihannya memperjuangkan Homeless World Cup.
Kejuaraan Homeless World Cup pada dasarnya memanggul misi untuk memperbaiki permasalahan sosial terkait ketunawismaan, termasuk di dalamnya konsumsi dan ketergantungan narkoba, HIV-AIDS, kemiskinan, dan kurangnya akses kepada pendidikan.
ADVERTISEMENT
Sejarah Homeless World Cup adalah sejarah tentang perjalanan orang-orang termajinalkan untuk bertemu dengan kesempatan sekali seumur hidup membela negaranya. Kesempatan inilah yang diharapkan dapat menjadi titik balik kehidupan mereka. Setiap orang hanya boleh sekali ikut berpartisipasi di kompetisi ini.
Namun, Homeless World Cup hanya akan menjadi turnamen belaka tanpa ada kegigihan untuk mengubah hidup. Temaram tetap akan menjadi kawan para peserta bila setelahnya mereka kembali pada kehidupan yang sama.
***
Namanya Dave Duke. Pemuda asal Skotlandia berusia 24 tahun yang tanpa sengaja melihat iklan seleksi Homeless World Cup (HWC) 2004 yang digelar di Swedia. Pada akhirnya, ia memutuskan untuk mengikuti seleksi pemain. Yang menjadi persoalan, ia kebingungan bakal masuk dalam kategori mana dalam seleksi tersebut.
ADVERTISEMENT
Ia tidak pernah tergolong sebagai anak muda yang bermasalah dengan penggunaan narkoba, ia bukan ODHA (Orang Dengan HIV-AIDS), dan bukan pula seorang tunawisma. Masalah yang dibawa oleh Duke cuma satu: ia tidak tertarik untuk bersekolah.
Singkat cerita, Duke benar-benar terpilih sebagai bagian dari Timnas Skotlandia. Kala itu, Skotlandia tidak menjadi juara dan menutup kompetisi di peringkat keempat. Timnas Italia-lah yang menjadi kampiun di gelaran HWC edisi kedua itu.
Namun, bukan persoalan juara dan tak juara yang pada akhirnya mengubah kehidupan Dave. Setelah turnamen itu rampung, Duke memutuskan untuk menjajal bangku kuliah sambil bekerja paruh waktu. Tiga tahun setelahnya, kuliahnya selesai. Ia lantas bekerja di sebuah majalah yang berbasis di Glasgow, Inggris, Big Issue.
ADVERTISEMENT
“Turnamen itu menyadarkan saya tentang apa-apa saja yang sebenarnya bisa saya raih. Ada kepercayaan diri yang saya upayakan. Dan upaya itu berhasil. Kepercayaan diri pada akhirnya meyakinkan saya bahwa pada dasarnya, saya bisa mendapatkan apa yang saya inginkan dalam hidup,” jelas Duke dalam wawancaranya kepada The Guardian.
Young yang berpredikat sebagai co-founder itu menjelaskan apa yang sebenarnya lahir dari gelaran HWC. Kalimat ‘ada yang lebih penting daripada kalungan medali juara’ sepintas memang terdengar klise. Namun, menurut Young kalimat itu jauh dari klise. Benak orang-oranglah membikin kalimat itu terdengar seperti perihal klise. Di HWC, hal-hal klise inilah yang mereka hidupi dengan sedapat-dapatnya.
“Perubahan psike para pesertanya yang dikejar oleh gelaran HWC ini. Di tribune penonton, orang-orang berdiri dan memberikan aplaus. Pemain-pemain mendapat medali, mereka kembali ke negara masing-masing dan berkata bahwa mereka adalah orang-orang yang diubahkan."
ADVERTISEMENT
“Kita selalu percaya bahwa kita tidak dapat memenangi segala hal, bahwa kita tidak dapat menang setiap saat. Namun, orang-orang yang termajinalkan itu, mereka yang disebut sebagai tunawisma, adalah orang-orang yang merasa bahwa mereka selalu kalah. Di HWC ini mereka disadarkan, oke, mereka bisa kalah. Namun, mereka juga bisa menang. HWC adalah rumah yang membuat mereka belajar hidup tidak selalu tentang kekalahan dan penolakan,” ucap Young.
Melompat ke HWC edisi 2006 yang digelar di Cape Town, Afrika Selatan, maka kita akan bertemu dengan pemuda asal Inggris bernama Paul Smith yang pada akhirnya terpilih sebagai bagian dari Timnas. Berbeda dengan Duke, Smith bisa disebut sebagai tunawisma. Ia diusir oleh keluarganya sejak remaja dan menghabiskan hari-harinya tidur di jalanan Kota London.
ADVERTISEMENT
“Sampai sekarang, pengalaman itu tidak menjadi hal yang menyenangkan untuk diceritakan. Namun, pengalaman saya di Cape Town benar-benar luar biasa. Seluruh tim makan bersama. Saya sudah lama sekali tidak makan bersama, jadi, rasanya luar biasa. Ada banyak orang yang mau bicara kepada saya, tidak peduli apakah Bahasa Inggris mereka lancar atau tidak.
“Kami bertemu dengan banyak teman baru. Saya pikir, hal-hal seperti itu mengubah cara pandang saya terhadap diri sendiri. Saya diberi kesempatan untuk melihat kehidupan di Afrika Selatan, mendengar banyak cerita dari orang-orang yang selama ini hidup di belahan dunia lain. Saya yakin, bukan hidup saya saja yang berubah. Banyak orang yang diubahkan. Dan lucunya, kami berubah karena sepak bola," tutur Smith.
ADVERTISEMENT
Kembali kepada Young, ia menjelaskan, yang membuat turnamen ini berbeda dengan turnamen sepak bola lainnya adalah bagaimana mereka tetap dijaga walaupun kompetisi sudah usai. Ambil contoh dalam kasus Duke yang bergabung bersama Timnas Skotlandia.
Siapa pun yang tergabung dalam Timnas Skotlandia akan diberikan selama dua bulan sebelum turnamen dan empat bulan setelah turnamen. Pendampingan tersebut berfungsi untuk membantu mereka menemukan apa yang sebenarnya menjadi masalah mereka, apa yang ingin mereka raih, dan bagaimana merengkuh apa-apa yang mereka inginkan.
“Saya diberi tahu tentang segala kemungkinan yang bisa saya wujudkan jika menjajal bangku kuliah. Saya juga disadarkan soal apa yang menjadi talenta saya. Setelahnya, mereka membantu saya untuk menemukan universitas yang tepat dan menemani saya menjalani bulan-bulan awal di bangku kuliah. Sementara kawan saya yang lain, dibimbing supaya bisa terlepas dari ketergantungan narkoba,” jelas Duke.
ADVERTISEMENT
Atau contoh terdekat, lihatlah kiprah kiper Timnas Indonesia di edisi HWC 2016, Eman Sulaeman. Di edisi 2016 itu, Indonesia finis di peringkat tujuh dari 52 negara peserta. Eman memang tidak merengkuh medali juara, tapi ia dinobatkan sebagai kiper terbaik tahun itu. Secara fisik, Eman memang terlihat berbeda dibandingkan pesepak bola pada umumnya. Ia terlahir dengan kaki kanan sebatas pergelangan dan kaki kiri sebatas lutut.
Fisik yang berbeda tak membikin Eman tampil sebagai inferior. Eman bermain sebanyak 11 kali dan diganti sebanyak dua kali oleh Wira Danu saat melawan Afrika Selatan dan India. Ia menyebut bahwa Meksiko dan Portugal menjadi lawan tersulitnya di kompetisi tahun itu. Menurut Eman, gawang kedua negara tersebut dikawal oleh kiper-kiper berkualitas. Namun demikian, Eman tetap menutup kompetisi sebagai yang terbaik di bawah mistar gawang.
ADVERTISEMENT
Indonesia sendiri rutin berkompetisi di Homeless World Cup sejak 2011. Kala itu, Timnas Indonesia diwakili oleh Rumah Cemara. Setelahnya, Rumah Cemara terpilih sebagai perwakilan tanah air yang mempersiapkan Timnas Indonesia di kancah HWC.
Cerita pertama Indonesia di kompetisi HWC adalah kisah yang berwarna. Mulai dari permasalahan finansial supaya dapat terbang ke Paris, nazar Ginan untuk berlari dari Bandung hingga Jakarta jika mereka dapat berangkat, hingga keberhasilan Timnas menutup kompetisi di peringkat keenam.
Sementara di gelaran HWC 2012, langkah Timnas lebih jauh lagi. Mereka menuntaskan kompetisi di peringkat keempat. Setelah kalah 6-9 dari Meksiko di semifinal, Timnas menggapai laga perebutan tempat ketiga yang mempertemukan mereka dengan Brasil yang berakhir dengan kekalahan 2-6. Nah, di gelaran tahun 2013 yang dihelat di Poznan, Polandia, Timnas menutup turnamen di peringkat kedelapan. Setahun setelahnya dalam kompetisi yang dihelat di Santiago, Chile, perwakilan Tanah Air ada di peringkat ke-10.
ADVERTISEMENT
Sementara di HWC 2015 yang menunjuk Amsterdam, Belanda, sebagai tuan rumahnya, Timnas memenangi kompetisi Amsterdam Cup setelah mengalahkan Norwegia dengan skor 6-5. Sebagai catatan, untuk kategori pria, ada enam jenis kompetisi yang dihelat: Homeless World Cup, Salvation Army Cup, Amsterdam Cup, Life Goals Cup, Sportsgen Cup, dan Inspiring Networking Trophy.
Bila dirinci, perjalanan Timnas di Amsterdam dimulai fase first stage yang menempatkan mereka di Grup D bersama Italia, Kosta Rika, Slovenia, Republik Ceko, dan Kanada. Singkat cerita, empat kemenangan dan satu kekalahan mengantarkan mereka menutup first stage di posisi runner up.
Di second stage, Timnas tergabung di Grup A bersama Brasil, Afrika Selatan, Norwegia, Bulgaria, dan Irlandia. Perjalanan Timnas tidak mulus seperti di first stage. Total, mereka mencatatkan empat kekalahan dan satu kemenangan. Alhasil, mereka harus tersingkir di second stage.
ADVERTISEMENT
Namun, hanya karena tersingkir di fase selanjutnya untuk turnamen tier pertama, tak berarti langkah mereka terhenti. Mereka berhak bertanding di Amsterdam Cup. Di sini, Timnas menutup kompetisi dengan kemenangan 6-5 atas Norwegia di partai final. Pada akhirnya, Timnas menutup kompetisi di peringkat 17.
Bila Timnas finis di peringkat tujuh pada 2016, maka setahun setelahnya, Timnas menduduki peringkat kelima. Serupa dengan 2016, di gelaran tahun 2017 yang berlangsung di Oslo ini, Timnas berlaga di kompetisi tier pertama, HWC.
Di tahun 2018 sendiri, Timnas akan kembali berlaga di HWC. Kali ini, kompetisi dihelat di Zocalo, Meksiko pada 13-18 November 2018. Hasil pengundian menempatkan Indonesia pada grup F bersama Kroasia, Prancis, Denmark, dan Polandia. Sepanjang apa perjalanan mereka kali ini, di peringkat berapa mereka akan menutup kompetisi, tidak ada yang bisa menebak. Atau mungkin, tidak ada yang menebak karena hitung-hitungan peringkat memang bukan yang terpenting.
ADVERTISEMENT
Masih panjang jalan yang harus ditempuh para kontestan. Begitu riuh sorak turnamen mereda, siapa pun yang berlaga di Homeless World Cup akan menjejak ke pertandingan sesungguhnya. Pertandingan tanpa lampu sorot dan elu-elu, pertandingan yang menentukan seperti apa pada akhirnya hidup mereka yang diawali dengan satu kepastian bahwa rumah itu sudah mereka temukan.