Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Miguel Angel Lotina tahu persis bagaimana cara melindungi rahasia dapur taktiknya. Tak pernah sekali pun dalam kariernya dia membeberkan susunan sebelas awal tim kepada pewarta. Namun, pada hari itu, 16 Oktober 2009, Lotina tampak bakal mengakhiri aksi bungkamnya tersebut.
"Oke," katanya membuka percakapan dengan para pewarta. "Dani Aranzubia, Manuel Pablo..." Kedua pemain itu memang merupakan pemain andalan Lotina di Deportivo La Coruna dan, ketika dua nama itu disebutkan, mereka yang hadir di ruang konferensi pers merasa telah menyaksikan sejarah.
Perasaan itu tidak salah karena mereka memang tengah menyaksikan momen bersejarah. Akan tetapi, sejarah yang dimaksud bukanlah momen Lotina pertama kali membeberkan susunan pemainnya. Sejarah yang akan mereka saksikan itu adalah sebuah peristiwa yang benar-benar tiada duanya.
Lotina berhenti sejenak sebelum lanjut berbicara. "Naybet, Coloccini, Capdevila, Donato, Mauro, Djalminha, Fran... Dan dua di depan, Tristan dan Makaay. Pelatih, Jabo," ujar Lotina. Ruang konferensi pers itu seketika sesak oleh gelak tawa. Pelatih mana lagi yang bisa melontarkan humor segelap itu selain dirinya?
Di sini kita tidak berbicara soal kemampuan Lotina memancing tawa. Di sini kita berbicara soal situasi yang sedang dihadapinya. Situasi di mana tim asuhannya tengah berada dalam dekadensi di segala aspek. Situasi di mana kejayaan yang belum genap berusia satu dekade terasa seperti sudah lewat seabad.
Sembilan nama yang disebutkan Lotina tadi sudah tak berada di Deportivo La Coruna ketika Lotina berkuasa. Nourredine Naybet, Fabricio Coloccini, Joan Capevila, Donato Gama, Mauro Silva, Djalminha Dias, Fran Gonzalez, Diego Tristan Herrera, Roy Makaay. Semua adalah relikui masa lalu Deportivo La Coruna.
Mereka semua, beserta Manuel Pablo, adalah andalan Jabo, sosok pelatih yang turut disebut Lotina. Jabo adalah nama yang digunakan orang-orang terdekat untuk memanggil Javier Irureta. Di bawah Irureta, pemain-pemain tadi menjadi tonggak kejayaan sebuah tim yang masyhur dengan sebutan Super Depor.
Ketika Lotina melontarkan candaan itu, tak ada lagi orang yang cukup waras untuk memanggil Deportivo La Coruna dengan sebutan Super Depor. Super apanya? Tidak ada yang bisa dibanggakan lagi dari mereka. Pada titik itu Deportivo La Coruna sudah menjadi semenjana seperti sediakala.
Deportivo La Coruna bukanlah tim besar. Mereka berasal dari kota kecil berpenduduk 200 ribu jiwa dan sejarah klub pun tidak pernah diwarnai momen-momen spektakuler. Pada dekade 1940-an sampai 1960-an, mereka cuma menjadi tim yo-yo yang doyan betul naik turun divisi.
Malah, setelah terdepak dari Primera Division pada 1973, Deportivo La Coruna sempat merasakan pahitnya bermain di divisi ketiga. Deportivo La Coruna pada dasarnya adalah klub semenjana, kalau tidak boleh disebut klub gurem. Akan tetapi, itu semua berubah pada 1988.
Deportivo La Coruna boleh jadi cuma tim kecil tetapi rasa cinta para suporternya betul-betul besar. Kontras inilah yang kemudian mengantarkan para socios alias anggota klub untuk menunjuk seorang politisi lokal bernama Augusto Cesar Lendoiro menjadi presiden. Di sinilah era Super Depor tadi bermula.
Ketika Lendoiro ditunjuk menjadi presiden, Deportivo tengah babak belur. Pada musim 1987/88 mereka hanya mampu finis di urutan ke-16 Segunda Division. Utang klub pun menggunung. Tercatat saat itu ada kewajiban sebesar 500 juta pesetas (sekitar 2,5 juta poundsterling) yang belum terbayar.
Sebagai seorang politisi lokal yang berasal dari A Coruna, Lendoiro paham betul arti Deportivo bagi warga kota. Itulah mengapa dia segera melakukan pembenahan. Struktur manajemen diperbaiki, skema pembayaran utang disusun, strategi rekrutmen pun disiapkan dengan matang.
Soal rekrutmen tadi, Deportivo La Coruna punya dua jenis target. Pertama, para pemain berkualitas yang dirasa sudah terlalu tua untuk bertarung di Primera Division. Kedua, pemain-pemain muda yang belum banyak diketahui orang sehingga bisa didapatkan dengan harga miring.
Semua cara itu akhirnya bakal berjalan, tetapi tidak serta merta. Pada musim pertamanya sebagai presiden, Lendoiro cuma punya satu misi: Memperkenalkan Deportivo La Coruna pada generasi muda. Dari situ, Deportivo mampu menarik sekitar 12 ribu socios baru. Dari 5.000, jumlah socios mereka menjadi 17.500.
Keberadaan para socios itulah yang kemudian jadi dasar pembangunan yang dilakukan Lendoiro. Perlahan, Deportivo mulai menemukan apa yang mereka cari selama itu: Stabilitas. Pada musim kedua Lendoiro menjadi presiden, Deportivo bahkan berhasil mencapai playoff promosi ke Primera.
Upaya pertama itu gagal. Akan tetapi, pada musim 1990/91, laju positif Deportivo tak terhentikan lagi. Mereka finis sebagai runner-up Segunda Division dan berhak lolos otomatis ke Primera Division. Misi untuk menyulap Deportivo La Coruna menjadi Super Depor itu mulai bisa diwujudkan sepenuhnya.
Pada masa itu utang Deportivo sudah berkurang separuh. Mereka pun memiliki sumber daya lebih untuk melakukan rekrutmen. Dari operasi di bursa transfer itu kemudian datang nama-nama seperti Paco Liano, Luis Lopez Rekarte, dan Claudio Barragan.
Tak lupa, Deportivo juga mulai melirik nama-nama potensial yang berasal dari akademinya. Salah satu nama yang akhirnya ditarik ke tim utama itu adalah Fran, seorang pemain sayap berusia 20 tahun. Meski demikian, kesuksesan tidak langsung datang. Pada musim pertama di Primera, mereka hampir saja terdegradasi.
Keberhasilan Deportivo La Coruna bertahan di Primera tak bisa dipisahkan dari keputusan Lendoiro memecat Marc Antonio Boronat dari kursi kepelatihan. Sebagai pengganti, dia menunjuk sosok yang sudah tak asing lagi dengan Deportivo, Arsenio Iglesias, pada April 1992.
Iglesias pernah bermain untuk Deportivo pada dekade 1950-an. Setelah itu dia sempat menangani klub pada dekade 1970-an serta 1980-an. Kini, dia diberi kesempatan untuk melatih Deportivo yang tengah tertatih di Primera Division. Seakan telah tertulis di bintang-bintang, Iglesias sukses menyelamatkan Deportivo.
Pada playoff degradasi musim 1991/92 Deportivo La Coruna sukses memenangi pertarungan dua leg dengan Real Betis. Iglesias dipertahankan dan Lendoiro pun semakin bersemangat untuk merekrut nama-nama hebat ke dalam timnya. Secara resmi, Super Depor benar-benar lahir pada musim 1992/93.
Kelahiran Super Depor ini ditandai dengan kedatangan Bebeto dan Mauro Silva dari Brasil serta Ricardo Serna yang direkrut dari Barcelona. Berbekal pemain-pemain seperti itu, Deportivo menggebrak konstelasi persaingan La Liga untuk finis di posisi ketiga.
Pada musim tersebut, dua pemain Deportivo La Coruna sukses meraih penghargaan individual. Bebeto menyabet trofi Pichichi sebagai pencetak gol terbanyak, kemudian Liano diganjar trofi Ricardo Zamora sebagai penjaga gawang terbaik. Kesuksesan ini membuat momentum Deportivo La Coruna makin besar.
Musim panas 1993, pemain-pemain seperti Paco Jemez dan Donato didatangkan oleh Lendoiro. Amunisi pertahanan ini membuat Deportivo asuhan Iglesias jadi makin solid saja. Bayangkan, selama satu musim di liga, mereka cuma kebobolan 18 kali. Tangguhnya pertahanan ini membuat Deportivo berada di ambang juara liga.
Pada pekan pemungkas musim 1993/94, Deportivo unggul dua poin atas Barcelona. Deportivo menghadapi Valencia di Riazor, sementara Barcelona menjamu Sevilla di Camp Nou. Supaya tidak perlu bergantung pada hasil yang didapat Barcelona, Deportivo harus meraih kemenangan pada laga tersebut.
Di babak pertama, situasi tampak bakal memihak Deportivo karena mereka masih bermain imbang 0-0, sementara Barcelona tertinggal 1-2. Akan tetapi, yang terjadi kemudian sungguh di luar dugaan. Barcelona tiba-tiba saja mengamuk dengan mencetak empat gol sekaligus.
Deportivo, sementara itu, tak kunjung mampu menembus pertahanan Valencia yang, usut punya usut, pemainnya mendapatkan bonus dari Barcelona untuk mengganjal laju Deportivo. Sampai akhirnya, peristiwa bersejarah itu terjadi pada pengujung laga.
Setelah menggempur Valencia tanpa kendat, Deportivo mendapatkan hadiah penalti dari wasit. Yang jadi problem, Donato si eksekutor utama sudah ditarik keluar. Sedangkan, Bebeto tak bersedia mengambilnya karena tak lama sebelumnya gagal mencetak gol dari titik putih.
Majulah Miroslav Djukic, bek asal Yugoslavia yang di kemudian hari bakal bermain untuk Valencia. Ancang-ancang Djukic tampak meyakinkan. Namun, eksekusinya jauh sekali dari harapan. Bola tendangan Djukic bergulir pelan dan dengan mudah bisa ditangkap kiper Valencia, Jose Gonzalez.
Tak lama sesudah itu wasit meniup peluit akhir dan gelar juara La Liga pun melayang ke Barcelona. Walau begitu, kegagalan menyakitkan tersebut tidak membuat semangat Deportivo luntur karena pada musim 1994/95 akhirnya mereka bisa memenangi trofi mayor pertama dalam sejarah klub.
Setelah Deportivo La Coruna menjadi runner-up La Liga itu Lendoiro tidak lagi jorjoran pada musim panas 1994. Namun, dia tetap mampu mendatangkan nama besar dalam diri Julio Salinas dan Emil Kostadinov. Kehebatan Deportivo pun terus terlihat sepanjang musim.
Di La Liga sendiri Deportivo lagi-lagi menjadi runner-up. Bedanya, kali ini mereka kalah dari Real Madrid yang dipimpin topskorer liga, Ivan Zamorano. Gelar perdana itu Deportivo La Coruna dapatkan pada ajang Copa del Rey. Menariknya, lawan mereka kala itu adalah Valencia.
Final Copa del Rey 1995 itu tidak seperti biasanya karena laga harus dihelat dua kali. Laga pertama pada 24 Juni harus dihentikan karena hujan deras. Di situ Deportivo La Coruna dan Valencia masih bermain imbang 1-1. Tiga hari kemudian, masih di Santiago Bernabeu, laga ulangan digelar.
Pada laga ulangan itulah akhirnya Deportivo sukses menaklukkan momoknya. Dua gol, masing-masing dari Javier Manjarin dan Alfredo Santaelena, hanya bisa dibalas Valencia sekali lewat Predrag Mijatovic. Deportivo La Coruna menjadi juara dan predikat Super Depor tadi makin lekat menempel.
Keberhasilan membawa Deportivo menjadi juara, sayangnya, membuat niat Iglesias untuk pensiun makin bulat. Usianya waktu itu sudah 65 tahun dan dia merasa pengabdiannya sudah cukup. Pensiunnya Iglesias ini membuat Lendoiro kemudian menunjuk pelatih Wales, John Benjamin Toshack.
Toshack datang dengan reputasi cemerlang dengan keberhasilan mengantarkan Real Sociedad juara Copa del Rey dan Real Madrid juara La Liga. Akan tetapi, rezim kepelatihannya di Deportivo La Coruna berjalan jauh sekali dari kata menyenangkan. Di situ, Toshack tak pernah berhenti mengeluh.
Pada musim pertama Toshack menjadi pelatih, Deportivo La Coruna finis di urutan kesembilan La Liga. Toshack mengeluh karena pemain-pemain yang dia miliki dinilai kurang punya mental bertarung. "Kami butuh lebih banyak bajingan," kata Toshack ketika itu.
Mendengar itu, Lendoiro menurut. Pada musim panas 1996 dia melakukan perombakan. Bebeto dan Liano dipersilakan pergi. Sebagai gantinya, datanglah Naybet, Rivaldo, Flavio Conceicao, Jacques Songo'o, serta Djalminha. Tapi, dasarnya Toshack memang kumpeni, sudah dikasih hati dia masih minta jantung.
Toshack kemudian mengeluhkan kurangnya investasi Lendoiro untuk markas latihan. Keluhan-keluhan Toshack itu tak dibarengi dengan prestasi mumpuni di lapangan. Para suporter yang gerah pun membentangkan spanduk kecaman, salah satunya bertuliskan "Toshack bajingan."
Tak lama setelah itu, Toshack pun minggat dari Riazor. Kepergian Toshack pada pertengahan musim 1996/97 menjadi berkat buat Deportivo La Coruna karena saat itulah mereka dipertemukan dengan Irureta. Dalam sekejap, Irureta mampu membawa Deportivo La Coruna ke papan atas dan akhirnya finis ketiga.
Sayangnya, sebelum musim 1997/98 dimulai, Deportivo La Coruna harus kehilangan Rivaldo yang dibajak Barcelona pada deadline day. Selain Rivaldo, Djukic juga akhirnya angkat kaki dari A Coruna. Kepergian dua pilar ini membuat Deportivo goyah dan hanya mampu finis di papan tengah.
Meski demikian, Lendorio belum kehabisan sumber daya. Uang 135 juta poundsterling yang didapatkannya dari Canal+ pada 1996 masih tersisa banyak. Lagi dan lagi, Lendoiro mengeluarkan uang untuk memperbaiki performa tim. Namun, hasilnya tidak terlihat secara instan.
Setelah cuma finis di posisi enam musim 1998/99, Deportivo La Coruna belanja besar-besaran pada musim berikutnya. Roy Makaay, Cesar Martin, Slavisa Jokanovic, dan Victor Sanchez didatangkan. Deportivo La Coruna pun langsung menggebrak sejak awal musim.
Makaay langsung membuktikan kebolehannya dengan mencetak hattrick pada laga perdana melawan Alaves. Deportivo pun berhasil memuncaki klasemen sekaligus menjauhi para pesaingnya. Akan tetapi, pada pertengahan musim, sebuah cobaan melanda. Deportivo sempat gagal menang dalam 12 pertandingan.
Akibatnya, gelar juara pun harus ditentukan sampai ke pekan terakhir. Lagi-lagi, pesaing Deportivo kala itu adalah Barcelona. Namun, situasinya sudah berbeda. Mental Deportivo sudah lebih kuat dan sukses mempertahankan puncak klasemen lewat kemenangan atas Espanyol di pekan terakhir.
Mimpi panjang Lendoiro dan seluruh warga A Coruna menjadi kenyataan. Setelah hampir seratus tahun berdiri, Deportivo La Coruna akhirnya berhasil menjadi tim terbaik di Spanyol. Keberhasilan besar ini, sayangnya, cuma ilusi. Perlahan, fondasi finansial klub mulai keropos.
Namun, keroposnya fondasi itu tidak segera terdeteksi karena sampai 2004 mereka masih bisa bersaing di level tertinggi. Pada 2002, malah, mereka sukses menyabet gelar Copa del Rey kedua. Gelar Copa del Rey kedua Deportivo itu diraih lewat kemenangan atas Real Madrid, yang sedang berulang tahun ke-100, di Bernabeu.
Pada 2004, Deportivo sukses melaju ke semifinal Liga Champions. Ini merupakan prestasi terbaik mereka di level kontinental. Dalam prosesnya, Deportivo sempat membukukan comeback fenomenal atas AC Milan. Kalah 1-4 lebih dulu di Riazor, mereka kemudian melumat Milan 4-0 saat berlaga di San Siro.
Langkah Deportivo di Liga Champions 2003/04 itu terhenti di tangan Porto yang akhirnya keluar sebagai juara. Kekalahan itu sekaligus menandai berakhirnya era Super Depor karena setelahnya Deportivo La Coruna terus mengalami kemunduran. Irureta pun akhirnya angkat kaki pada 2005.
Di sinilah kekeroposan fondasi finansial Deportivo La Coruna mulai terasa. Lendoiro dalam sebuah kesempatan menyatakan bakal mengubah kebijakan transfer dengan berburu pemain muda. Pada titik itu, semua orang mulai sadar bahwa kas klub sudah terkuras habis.
Deportivo sendiri akhirnya terdegradasi dari Primera Division pada 2011 setelah melalui tahun-tahun yang tidak mengesankan. Lendoiro pun mundur dua tahun berselang dengan meninggalkan utang hingga 160 juta euro. Lendoiro mengakui, keberhasilan menjadi juara La Liga 2000 tadi adalah sebuah ilusi yang memabukkan.
Karena gelar tersebut, Lendoiro melihat Deportivo sebagai klub yang selalu bisa bersaing dan bersaing. Namun, perlahan-lahan, mereka tak lagi mampu menarik bintang untuk menggantikan nama-nama yang hengkang. Pelan tapi pasti, Deportivo La Coruna kembali ke 'khitahnya' mereka sebagai klub gurem.
Setelah terdegradasi pada 2011 tadi Deportivo sempat kembali ke Primera tetapi langsung terdegradasi lagi. Kemudian, dari 2014/15 sampai 2017/18 mereka berlaga kembali di divisi satu tetapi tak mampu berbuat banyak hingga harus terdemosi. Saat ini, mereka masih tertahan di Segunda Division.
Situasi Deportivo La Coruna di Segunda Division pun jauh sekali dari kata apik. Sebelum kompetisi dihentikan karena wabah corona, Deportivo tercecer di posisi ke-19 alias zona degradasi. Kemungkinan terjun ke divisi tiga pun mendadak jadi kenyataan yang harus diterima.
Dengan situasinya yang sekarang, nyaris mustahil rasanya melihat Deportivo La Coruna menjadi Super Depor lagi dalam waktu dekat. Apalagi, kesuksesan Deportivo dulu sesungguhnya amat bergantung pada figur, bukan sistem yang baik. Karena terbutakan ilusi, Deportivo La Coruna kini harus memulai segalanya dari nol lagi.
-----
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!