Jejak Magis sang Hedonis, Guti Hernandez

14 November 2019 14:28 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Guti Hernandez merayakan gol untuk Real Madrid. Foto: AFP/Joan Jordan
zoom-in-whitePerbesar
Guti Hernandez merayakan gol untuk Real Madrid. Foto: AFP/Joan Jordan
ADVERTISEMENT
Sebelum David Beckham bergabung pada 2003, Real Madrid sudah memiliki 'David Beckham'-nya sendiri. Dia bernama Jose Maria Gutierrez Hernandez. Biasa disapa Guti, atau 'Puti', tergantung siapa yang memanggilnya.
ADVERTISEMENT
Jejak karier Guti bersama Real Madrid bisa dilacak sampai pertengahan dekade 1980-an. Lahir dan besar 20 kilometer dari kota Madrid, Guti bergabung dengan akademi Real ketika berusia 10 tahun.
Dia termasuk yang beruntung. Ada suatu masa ketika Real Madrid sangat menghargai bocah-bocah yang mereka didik sendiri. Guti tumbuh di era tersebut; era yang yang memuja La Quinta del Buitre.
Ketika Guti masih menjadi kadet di La Fabrica, pemain-pemain lokal seperti Emilio Butragueno, Michel, Rafael Vazquez, Miguel Pardeza, dan Manolo Sanchis tengah berjaya. Mereka adalah simbol El Real pada masa itu.
Guti punya bakat. Itu jelas sekali. Kalau tidak, mustahil baginya bisa menembus semua jenjang pendidikan di La Fabrica sampai akhirnya lulus dan menjadi anggota tim utama.
ADVERTISEMENT
Tahunnya adalah 1995 ketika Guti pertama kali membela Real Madrid sebagai pemain tim senior. Ketika itu, Guti turun dalam pertandingan melawan Sevilla di Bernabeu yang dimenangi Real dengan skor telak 4-1.
Kliping koran Mundo Deportivo yang memberitakan debut Guti pada 1995. Foto: Mundo Deportivo
Laga itu adalah laga spesial bagi Guti. Dia tak cuma melakoni debut tetapi juga merasakan berada satu lapangan dengan Sanchis dan Michel. Pertandingan itu sendiri merupakan pertandingan ke-400 Sanchis berkostum Real Madrid.
Meski sudah dipercaya turun di tim senior pada 1995, Guti baru benar-benar dipromosikan setahun berikutnya. Pada titik itulah, di bawah komando Presiden Lorenzo Sanz, internasionalisasi Real Madrid dimulai.
Predrag Mijatovic, Roberto Carlos, Davor Suker, Clarence Seedorf, Christian Panucci, Bodo lllgner, Carlos Secretario, sampai Ze Roberto, semua datang pada awal musim 1996/97. Guti pun dihadapkan pada tantangan besar.
ADVERTISEMENT
Tantangan besar itulah yang di kemudian hari senantiasa mengikuti Guti. Dia memang berhasil mengemas lebih dari 500 penampilan serta belasan trofi juara. Akan tetapi, potensinya tidak pernah benar-benar terpenuhi.
Mengukur potensi Guti bukanlah perkara sulit. YouTube punya segudang video untuk menunjukkan hal itu. Bola begitu jinak di kakinya. Di belakang kepalanya pun seperti ada mata ketiga. Visi dan teknik Guti nyaris tiada duanya.
Jika masih belum percaya, sila bertanya kepada Sevilla dan Deportivo La Coruna. Dua kesebelasan ini pernah jadi korban kegeniusan Guti yang selalu muncul tanpa disangka.
Dalam dua pertandingan itu, Guti membuat dua assist dengan tumitnya. Aksi inilah yang kemudian identik dengan dirinya. Mustahil membicarakan Guti tanpa menyinggung dua mahakarya tersebut.
ADVERTISEMENT
Namun, sekali lagi, Guti tak pernah benar-benar bisa menjadi pemain besar. Ratusan penampilan bersama Real Madrid, ditambah status deputi kapten selama beberapa musim, bukanlah ekuivalen dari status megabintang.
Sebaliknya, Guti adalah hiasan antik yang sedap dipandang tetapi tidak bisa selalu difungsikan. Di saat-saat tertentu, dia bisa tampil bak penyihir. Namun, di kesempatan lainnya, Guti lebih mirip ayam tanpa kepala.
Inkonsistensi memang tak bisa dipisahkan dari Guti dan ini bisa dijelaskan lewat caranya bersikap, baik di dalam maupun luar lapangan. Bagi Guti, yang terpenting adalah estetika. Soal fungsi, itu nomor dua.
Guti adalah seorang hedonis. Dia rajin bersolek dan bergaul dengan orang-orang yang tidak akan memprotes gaya hidupnya. Sebelum benar-benar memiliki David Beckham, Guti adalah 'David Beckham'-nya Real Madrid.
Guti (paling kiri) bersama Raul, David Beckham, dan Zinedine Zidane. Foto: AFP/Javier Soriano
Kecenderungan Guti untuk menikmati hidup ini memang bukan satu-satunya alasan mengapa dia tak pernah menjadi megabintang. Namun, sedikit banyak, pengaruhnya tetap terasa.
ADVERTISEMENT
Fabio Capello merasakan sendiri bagaimana sulitnya berhadapan dengan Guti. Sepeninggal Zinedine Zidane yang pensiun pasca-Piala Dunia 2006, Capello menyatakan dia ingin membangun tim di sekeliling Guti.
Akan tetapi, tak seberapa lama kemudian Capello menyadari bahwa Guti bukan sosok yang bisa jadi tumpuan. Selain kecenderungan Guti untuk menghilang di tengah pertandingan, ada satu hal yang benar-benar membuat Capello geram.
Suatu kali, Capello memerintahkan para pemainnya untuk berkumpul di pagi hari. Capello sendiri sengaja datang terlambat 15 menit untuk melihat siapa saja yang terlambat dan di situ dia hanya mendapati satu orang: Guti.
Temperamen adalah persoalan Guti yang lain. Meludahi dan mengata-ngatai lawan bukan barang tabu di kitab suci Guti. Kartu merah yang dia koleksi sepanjang karier pun tidak sedikit.
ADVERTISEMENT
Inilah yang membuat Guti jadi pembelah opini. Mereka yang memujanya tahu bahwa dia seorang genius. Di sisi lain, tak sedikit yang tidak tahan dengan sikap seenak jidat sang hedonis.
Panggilan 'Puti' tadi datang dari sini. Dalam bahasa Spanyol, kata itu berarti 'pelacur'. Sudah tak terhitung berapa kali suporter lawan, khususnya, menggunakan kata ini untuk memancing sisi terburuk Guti.
Terlepas dari itu, ada satu hal lain yang bisa dijadikan argumen untuk menjelaskan kenapa Guti tak pernah memenuhi ekspektasi yang sedari muda dibebankan kepadanya: Momentum.
Guti tak pernah mendapatkan momentum yang tepat untuk benar-benar bersinar. Pada 1999, ketika Seedorf hengkang ke Inter, Guti awalnya dipercaya jadi pengganti. Namun, tak lama kemudian Real Madrid mendatangkan Zidane.
ADVERTISEMENT
Lalu, pada 2001, cedera yang dialami Raul Gonzalez Blanco membuat Guti dikembalikan ke lini depan. Hasilnya tidak buruk karena dia bisa mengemas 14 gol dalam semusim. Namun, setahun berikutnya, Ronaldo datang.
Selanjutnya, pada 2003, giliran Beckham yang datang. Kehadiran Beckham ini sangat mengganggu Guti karena para pelatih lebih memilih memainkan pria Inggris itu sebagai gelandang tengah.
Guti Hernandez sang hedonis. Foto: AFP/Cristina Quicler
Secara konstan, Guti harus memberikan kesempatannya berkembang kepada para megabintang yang jadi bagian dari proyek mercusuar Real Madrid. Momentum pun selalu lepas dari genggamannya.
Namun, pada akhirnya Guti mampu bertahan paling lama. Ketika mereka datang Guti sudah ada dan kala mereka hengkang Guti pun masih ada. Guti bahkan sempat mengalami masa-masa awal Galactico II di peralihan dekade.
ADVERTISEMENT
Pada 2011, Guti akhirnya angkat kaki dari Real Madrid dan menutup karier bermainnya bersama klub Turki, Besiktas. Meski demikian, dua tahun kemudian Guti kembali ke Real Madrid untuk membesut tim junior.
Selama lima tahun mengabdi di La Fabrica sebagai pelatih, Guti mampu mencatatkan prestasi gemilang. Pada musim 2016/17 dia mengantarkan tim Juvenil A meraih trigelar domestik.
Kini, Guti sudah tidak lagi bersama Real Madrid. Setelah pada musim lalu bekerja untuk Besiktas sebagai asisten pelatih, pria 43 tahun ini tengah memulai perjalanan karier sebagai pelatih tim senior di Almeria.
Guti Hernandez sebagai pelatih Almeria. Foto: La Liga
Guti belum lama membesut Almeria. Dia baru ditunjuk menggantikan Pedro Emanuel sebagai pelatih kepala. Pada laga debutnya, Guti membawa Almeria bermain imbang 1-1 dengan Real Zaragoza.
ADVERTISEMENT
Hasilnya memang belum optimal, tetapi setidaknya ide Guti—seperti yang sudah diterapkannya di La Fabrica—sudah terimplementasi. Permainan bola-bola pendek jadi mazhab Guti sebagai pelatih.
Ide permainan Guti itu memang tidak spesial karena gaya seperti itu sekarang sudah menjamur. Namun, ada dua hal yang membuat Guti tetap menonjol sebagai seorang pelatih.
Pertama, soal kecenderungannya melakukan eksperimen. Meski memilih susunan konservatif pada laga pertama bersama Almeria, Guti dikenal rajin melakukan percobaan ketika masih di La Fabrica dulu.
Kedua, bagaimana dia berusaha terlibat aktif dalam memberi instruksi. Tak sekali pun Guti meninggalkan area teknis di dekat bangku cadangan dan secara konstan dia memberi instruksi serta pujian kepada para pemainnya.
Di usianya yang sekarang, Guti memang tampak lebih dewasa. Walau begitu, caranya membawa diri tetap sama. Guti tetap berusaha terlihat perlente dan, itu artinya, dia tak pernah benar-benar berhenti menjadi seorang hedonis.
ADVERTISEMENT