Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Jurnal: Karena Kedai Kopi adalah Rumah Kedua Warga Serambi Mekah
7 Desember 2017 20:30 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
ADVERTISEMENT
Nak pergi kerja ngupi, pulang kerja ngupi, santai ngupi, nggak ngapa-ngapain pun juga sambil ngupi.
ADVERTISEMENT
Saya tengah mencoba memeragakan dialek bahasa Aceh. Di sebuah warung kopi, bersama dengan empat orang kawan--yang tentu saja waga lokal, sore itu.
Mari kita sama-sama sepakati bahwa Aceh sangat lekat dengan kopi. Sejauh mata memandang, yang terlihat di sepanjang jalan, ya, kedai kopi.
Kodensa, kawan baru yang saya kenal dua hari setibanya di Tanah Rencong, sudah nyinyir soal kopi. Baginya menyeruput kopi ibarat minum air: rutin setiap hari.
Entah candu atau bukan, tapi jika tak meminum kopi, belum tenang rasa hatinya. Begitu katanya sambil memainkan ponsel pintarnya sembari menyilakan kedua kakinya di kursi kayu, tepat di samping saya.
Ya, bagi sebagian masyarakat Aceh, kedai kopi adalah tempat kedua setelah rumah mereka. Segala sesuatu bisa dilakukan di sana.
ADVERTISEMENT
Sering kali, kata Irsyad yang duduk di depan Kodensa kepada saya, walau telah menyeruput kopi di rumah, maka setelahnya, orang masih akan mendatangi warung kopi. Aneh, tetapi memang itulah kenyataannya.
Dan, ya, tentu saja, mencari warung kopi di Aceh tak akan sesulit mencari jarum di tumpukan jerami. Jadi, bisa Anda bayangkan berapa kedai kopi di Aceh ini? Benar sekali: banyak.
Jika Anda bertanya kegiatan apa yang biasa dilakukan di kedai kopi? Dari apa yang sayup-sayup terdengar, mereka berbicara tentang apa saja. Dari mulai pekerjaan, bisnis, politik hingga sepak bola.
Kebetulan ketika itu Banda Aceh menjadi tuan rumah dari turnamen Aceh World Solidarity Cup 2017 yang diikuti Tim Nasional (Timnas) Indonesia bersama Brunei Darussalam, Mongolia, dan Kirgistan. Dan, ya, saya di sana, bertugas meliput turnamen yang baru pertama kali digelar tersebut.
ADVERTISEMENT
Kodensa melanjutkan ceritanya bahwa Aceh memiliki kopi khas yaitu Kopi Gayo. Nama itu diambil dari sebuah daerah di Gayo Lues, sebuah kabupaten berada di gugusanan pegunungan Bukit Barisan.
Kopi Gayo, ucap Kodensa, memiliki tingkat keasaman yang seimbang. Karena keunggulan yang dimiliki, maka tidaklah berlebihan jika kopi yang ditanam di Pegunungan Gayo, Aceh Tengah, Nanggroe Aceh Darussalam, ini mendapat "Fair Trade Certified" dari Organisasi Internasional Fair Trade pada 27 Mei 2010 silam.
Tak hanya itu, Kopi Gayo pun masuk sebagai nominasi kopi terbaik dunia pada International Conference on Coffee Science, Bali, Oktober 2010 lalu.
Tak hanya itu, kopi Aceh pun disajikan dengan cara yang cukup unik. Berdasarkan kebiasaan masyarakat Aceh, kopi ini disajikan dengan cara diseduh terlebih dahulu di dalam panci hingga mendidih. Kemudian, barulah kopi ini disajikan dalam gelas yang telah diisi dengan susu dan gula.
ADVERTISEMENT
"Kalau yang saya bikin, susunya seperempat, kopinya tiga perempat," ucap Kodensa yang diiringi anggukan oleh saya--sambil menyeruput kopi tentunya.
====
*Jurnalis kumparan, Alan Kusuma, mendatangi Aceh untuk meliput turnamen sepak bola Aceh World Solidarity Cup (AWSC), yang merupakan bagian dari peringatan bencana tsunami Aceh.
Live Update
Gedung Glodok Plaza yang terletak di Jalan Mangga Besar II Glodok Plaza, Kecamatan Tamansari, Jakarta Barat, terbakar, pada Rabu (15/1) malam. Kebakaran dilaporkan terjadi pada pukul 21.30 WIB. Api diduga bersumber dari lantai 7.
Updated 16 Januari 2025, 18:05 WIB
Aktifkan Notifikasi Breaking News Ini