Jurnal: Seorang Inggris, India, dan Indonesia Masuk ke Sebuah Bar...

12 November 2018 13:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pertandingan Indonesia vs Singapura di babak penyisihan Piala AFF 2018 (Foto: Helmi Afandi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pertandingan Indonesia vs Singapura di babak penyisihan Piala AFF 2018 (Foto: Helmi Afandi/kumparan)
ADVERTISEMENT
Stadion Nasional Singapura sudah sepi malam itu. Ketika kami berjalan, hanya ada segilintir manusia yang berhilir mudik. Sebagian dari mereka adalah petugas keamanan stadion yang tengah mencuri-curi kesempatan untuk merokok di area stadion, sesuatu yang takkan berani dilakukan oleh siapa pun ketika stadion masih beraktivitas penuh.
ADVERTISEMENT
Kami berjalan sekitar satu setengah kilometer dari ruang konferensi pers stadion menuju tempat penjemputan. Untuk keluar menuju tempat penjemputan tersebut, kami tak boleh sembarang ambil pintu keluar. Salah-salah, kami bisa berakhir di bagian Singapore Sports Hub yang benar-benar lain. Beruntung, orang yang bersama saya itu tahu persis seluk beluk stadion.
Namanya Shamir Osman dan dia adalah wartawan senior harian terbesar Singapura, The Straits Times. Bagaimana saya bisa berjalan bersama dia, itu bukan kebetulan.
Pada siang harinya, Kamis (8/11/2018), saya baru tiba dari Jakarta. Setelah menaruh dan merapikan barang-barang bawaan, saya bersantai sejenak sembari menunggu fotografer kumparan, Helmi Afandi, yang ketinggalan pesawat dan harus menumpang pesawat berikutnya. Di kamar hotel itu, saya membuka-buka linimasa Twitter dan menemukan bahwa Antony Sutton rupanya berniat untuk menyaksikan laga Singapura vs Indonesia keesokan harinya.
ADVERTISEMENT
Sutton adalah mantan ekspatriat yang sekarang sudah kembali menetap di Inggris. Saya melihat dia sebagai seorang pengamat sepak bola Asia Tenggara jempolan. Tak sia-sia memang dia tinggal di Thailand dan Indonesia selama hampir 30 tahun. Di dunia maya, kami sudah saling 'kenal' selama beberapa tahun, tetapi kami sama sekali belum pernah bertatap muka.
kumparanBOLA memang pernah mewawancarai Sutton pada Januari 2017. Ketika itu, ia baru meluncurkan buku 'Sepakbola: The Indonesian Way of Life'. Namun, ketika itu yang menemuinya adalah dua eks jurnalis tim kami, Bergas Agung dan Abrar Firdiansyah.
Melihat niat Sutton, saya pun menghubunginya untuk mengajak kopi darat untuk pertama kalinya. Dia pun langsung mengiyakan, sembari memberi detail kapan dia akan tiba di Singapura. Namun, tak cuma sampai di situ info yang diberikan pria paruh baya itu. Dia juga meminta saya untuk mencari Shamir yang katanya juga akan meliput konferensi pers prapertandingan di Stadion Nasional.
ADVERTISEMENT
Sekitar pukul 21:30 waktu setempat, pekerjaan saya sudah hampir rampung. Akan tetapi, saya belum menemukan sosok Shamir karena Sutton memang tidak memberi detail bagaimana rupa sang jurnalis satu ini. Maka, saya pun menggunakan penemuan terbaik umat manusia, Google, untuk mencari seperti apa wajahnya. Sekejap kemudian, saya berhasil menemukannya. Ternyata, Shamir duduk tak jauh dari tempat saya mengetik.
Saya pun menghampirinya. "Hai, maaf, apakah kamu Shamir Osman?" tanya saya sembari mengulurkan tangan.
Shamir mendongak, tersenyum, dan membalas uluran tangan saya. Dia mengiyakan bahwa dia memang Shamir Osman. Saya pun menjelaskan duduk perkaranya, bahwa Sutton ingin saya menemukan dirinya agar kami bertiga bisa bersua. Akhirnya, kami bersepakat bahwa kami memang masih butuh waktu sekitar setengah jam untuk merampungkan pekerjaan, dan setelah itu baru akan pergi menjumpai Sutton.
ADVERTISEMENT
Shamir adalah seorang warga Singapura tulen. Ayahnya merupakan orang keturunan India, sementara ibunya orang Melayu asli. Namun, dia mengakui bahwa dia memang tampak seperti ayahnya, dengan kulit cokelat tua yang dia sebut sebagai 'rosy brown' itu. Di wajahnya, terdapat berewok rapi yang di beberapa bagian telah tampak memutih. Usia Shamir memang sepuluh tahun lebih tua dari saya.
Dalam perjalanan menuju tempat penjemputan itu, Shamir mengeluarkan kotak rokok Marlboro menthol yang tampak sudah lusuh karena itu dia jadikan sebagai tempat untuk menyimpan puntung bekas. Di situlah kami benar-benar mulai bisa mengobrol dengan asyik. Dengan senjata andalan bernama Marlboro merah, saya bertanya banyak hal kepada dirinya.
Obrolan kami dimulai dari betapa sulitnya mencari tempat merokok di Singapura. Shamir bahkan berkata bahwa Indonesia adalah surga karena di negeri ini, perokok memang begitu bebas beraksi. Shamir pun menjelaskan bahwa di Singapura, asal di atas kepala tidak ada atap, di situlah seseorang bisa merokok. Namun, seringkali tempat seperti itu memang sangat tidak nyaman.
ADVERTISEMENT
Dari rokok, semua memang menjadi lebih mudah. Obrolan kami pun mengalir dengan sendirinya. Di dalam mobil, saya bertanya soal antusiasme warga Singapura dalam menonton sepak bola dan Shamir menjawab bahwa dibandingkan dengan Indonesia, Singapura tak ada apa-apanya dalam urusan itu.
Pertandingan Indonesia vs Singapura di babak penyisihan Piala AFF 2018 (Foto: Helmi Afandi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pertandingan Indonesia vs Singapura di babak penyisihan Piala AFF 2018 (Foto: Helmi Afandi/kumparan)
"Kamu beruntung," katanya. "Orang Indonesia benar-benar gila untuk urusan olahraga."
"Tapi, justru di situ sering terjadi masalah," balas saya. "Seperti kemarin, ada kerusuhan antarsuporter di pertandingan level U-19. Sebelumnya, juga sudah ada orang yang dibunuh hanya karena sepak bola."
"Ya, memang, masalah akan selalu ada. Tapi, coba lihat positifnya. Antusiasme orang Indonesia benar-benar gila," ujarnya lagi.
Pemahaman Shamir soal olahraga di Indonesia tidak hanya dia dapatkan dari membaca. Di beberapa kesempatan, dia sudah pernah mengunjungi Indonesia untuk melihat langsung betapa gilanya masyarakat Indonesia dalam menyikapi olahraga. Pengalaman terbarunya meliput ke Indonesia adalah pada Asian Games 2018 lalu, di mana dirinya mendapat jatah untuk mengaver event di Palembang.
ADVERTISEMENT
Sekitar 15 menit kami menempuh perjalanan dengan mobil. Kami pun sampai di sebuah pub bergaya Inggris yang terletak hanya sepelemparan batu dari Stadion Jalan Besar, tempat Persija Jakarta bermain melawan Tampines Rovers beberapa waktu lalu. Ketika saya berkata 'sepelemparan batu', ini bukan kiasan. Dari pub itu, Anda benar-benar bisa melempar batu dan batu itu akan sampai di area stadion.
Saya tak ingat nama pub itu karena akhirnya kami memang tidak menghabiskan malam di sana. Yang jelas, dari jendela, saya bisa melihat bahwa di bagian dalam pub, mereka sedang menayangkan sebuah acara Premier League. Ada Troy Deeney di layar kaca itu dan saya berpikir, "Huh, mungkin ini adalah pub tempat orang menyaksikan pertandingan sepak bola."
ADVERTISEMENT
Di pub itu, awalnya Sutton tak sendiri. Di sekelilingnya, terdapat beberapa pria dan seorang wanita yang berpakaian rapi. Kata Shamir, ada sebagian dari mereka yang merupakan pengurus FAS, Asosiasi Sepak Bola Singapura. Namun, saya tidak tahu yang mana yang merupakan orang FAS itu. Yang jelas, mereka di situ adalah 'orang sipil' yang cuma ingin menikmati segelas bir dingin.
Kami tak berlama-lama menghabiskan waktu bersama teman-teman Sutton itu karena sekitar 20 menit setelah saya dan Shamir datang, mereka undur diri. Salah satu dari mereka mengucapkan 'semoga beruntung' kepada saya untuk pertandingan besoknya, dan saya, dengan berseloroh berucap, "Oh, kami tidak butuh keberuntungan." Sampai sekarang saya masih malu dibuatnya.
Pertandingan Indonesia vs Singapura di babak penyisihan Piala AFF 2018 (Foto: Helmi Afandi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pertandingan Indonesia vs Singapura di babak penyisihan Piala AFF 2018 (Foto: Helmi Afandi/kumparan)
Shamir kemudian mengajak kami untuk mengunjungi bar favoritnya yang hanya terletak sekitar 3 menit berjalan kaki dari pub tersebut. "Udah, kita ke sana aja. Di sana orang-orangnya asyik. Aku juga sering banget kerja di sana sambil ngerokok," ujar Shamir membujuk.
ADVERTISEMENT
Well, saya dan Sutton pun menurut. Pikir kami, Shamir adalah orang Singapura asli dan harusnya, dia memang lebih paham soal mana yang menyenangkan dan mana yang tidak. Kami pun berjalan ke bar itu melewati sebuah gang yang menghubungkan Kitchener Road dan Maude Road. Bar itu, Buddy Buddy Cheers, terletak di Maude Road.
Buddy Buddy Cheers sama sekali tidak besar. Ukurannya tak lebih besar dari Kedai Bang Ali --sekarang 616 Roastery, tetapi buat saya, kedai kopi itu selamanya adalah Kedai Bang Ali--, sebuah kedai sebesar garasi rumah yang terletak di seberang kantor kumparan. Di bagian dalam, terdapat sebuah fasilitas karaoke yang digunakan untuk menuntaskan hasrat bernyanyi bagi jiwa-jiwa bahagia.
Namun, kami tidak masuk ke dalam. Kami duduk di teras, di mana ada tiga meja yang disediakan oleh pemilik bar. Salah satu meja itu, yang paling dekat dengan jalan, adalah 'mejanya Shamir' karena di meja itulah dia menghabiskan banyak waktu, baik untuk bekerja maupun sekadar bercengkerama.
ADVERTISEMENT
Di tempat itulah saya kemudian melihat Singapura yang sebenarnya, bukan Singapura yang terdapat di brosur-brosur wisata, bukan pula Singapura yang selama ini diceriterakan oleh manusia-manusia kelebihan duit dari Indonesia. Buddy Buddy Cheers adalah Singapura yang mampu memberikan pengalaman otentik karena di sanalah tempat para warga lokal berkumpul.
Sama sekali tak ada yang spesial dari bar itu, jika dilihat sambil lalu. Apalagi, teras tempat kami duduk itu cukup gelap. Sama sekali tidak akan menarik perhatian turis. Akan tetapi, gelapnya teras itu justru menambah masyuk suasana. Perut saya keroncongan sebenarnya malam itu, tetapi saya tak peduli. Makan bisa kapan saja, yang begini kapan lagi?
Tak lama setelah kami duduk, Shamir masuk ke dalam dan sekejap kemudian, seorang wanita Cina paruh baya berjalan keluar sembari membawa tower bir. Dengan itu, resmi dimulailah perundingan meja bundar --oh, ya, meja itu memang bundar-- antara saya, Sutton, dan Shamir.
ADVERTISEMENT
Awalnya, saya membiarkan Shamir dan Sutton untuk bercakap-cakap dahulu. Mereka sudah saling kenal selama lebih dari satu dasawarsa dan mereka sudah tampak begitu dekat, terbukti dengan terlontarnya kata-kata kotor dari keduanya. Baru setelah itu, obrolan beranjak serius.
Kami bertiga banyak bicara soal Indonesia malam itu. Di situ, Sutton mengeluhkan soal pemberitaan negatif Indonesia di media-media barat. "Coba deh kalian lihat. Indonesia itu selalu muncul kalau ada berita-berita negatif. Kematian, bencana, yang seperti itu. Padahal, coba dipikir, di Indonesia, negara berpenduduk muslim terbesar dunia, ada seorang wali kota perempuan hebat," kata Sutton.
Wali kota yang dimaksud Sutton adalah Tri Rismaharini alias Bu Risma, walikota Surabaya. Sutton lantas menjelaskan kepada Shamir apa-apa yang sudah dicapai Risma di Kota Pahlawan, termauk bagaimana wanita 56 tahun itu merapikan Surabaya. "Seharusnya, cerita-cerita kayak gitu juga diangkat," lanjut Sutton dengan mimik serius.
ADVERTISEMENT
Risma Lepas Tim Relawan Pilihan ke Palu. (Foto: Phaksy Sukowati/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Risma Lepas Tim Relawan Pilihan ke Palu. (Foto: Phaksy Sukowati/kumparan)
Dari Risma, kami beranjak ke Joko Widodo, sang presiden. Sebagai warga Singapura, Shamir jelas sudah pernah mendengar soal Jokowi. "He's the guy that gets s**t done," kata Shamir. Sutton pun mengiyakan sembari menjelaskan apa-apa lagi kelebihan Jokowi, termasuk bagaimana dia kerapkali melakukan blusukan. Kata Sutton, Jokowi adalah man of the people.
Pada titik itu, kami berbicara soal demokrasi. Sebagai orang Indonesia, saya bersyukur bahwa negara ini sekarang sudah menganut sistem politik Yunani tersebut. Akan tetapi, saya bilang kepada Sutton dan Shamir bahwa polarisasi pendukung Jokowi dan Prabowo Subianto membuat saya khawatir. "Sebelumnya, tidak pernah seperti itu," kata saya. "Dengan munculnya dua kandidat besar, segalanya berubah."
Akan tetapi, pada titik itu pula, saya seperti mendapat tamparan. Baik Shamir maupun Sutton sepakat bahwa saya, sebagai orang Indonesia, semestinya lebih bersyukur. Pasalnya, demokrasi di Indonesia ini, kata mereka, masih sangat muda, tetapi progresnya jelas. Tiadanya kerusuhan besar pasca-Pemilu, menurut mereka, adalah tanda bahwa sebenarnya, rakyat Indonesia sebagai zoon politikon sudah cukup dewasa.
ADVERTISEMENT
Obrolan soal politik ini nantinya akan berlanjut, terutama setelah dua kawan Shamir, sepasang suami istri bernama Ben dan Rain, ikut-ikutan nimbrung. Akan tetapi, sebelum itu kami berbincang terlebih dahulu soal hal yang menyatukan kami bertiga: sepak bola, khususnya sepak bola Indonesia dan Singapura.
Almarhum Choirul Huda adalah salah satu topik pembicaraan kami. Shamir sama sekali belum pernah mendengar nama kiper legendaris Persela Lamongan itu sebelumnya. Saya dan Sutton pun menjelaskan betapa hebatnya sosok Huda. Bagaimana dia lahir, besar, berkarya, sampai akhirnya meninggal untuk sepak bola Lamongan. Bagaimana kisah Huda ini seharusnya jadi kisah yang layak untuk terus dituturkan.
Bicara soal Choirul Huda, kami pun akhirnya berbicara soal Diego Mendieta. Keduanya adalah kisah pilu, tetapi cerita Mendieta ini adalah cerita yang sulit sekali untuk dimaafkan. Bagi Anda yang tidak familiar dengan nama ini, Mendieta adalah mantan pemain Persis Solo asal Paraguay yang meninggal dunia enam tahun silam.
ADVERTISEMENT
Sepak bola Indonesia memang indah, tetapi di baliknya ada hal-hal yang kerapkali membuat geram. Sutton berkisah bahwa dulu, dia sudah pernah berkoar di Twitter agar orang-orang mau membantu Mendieta. Namun, pria London ini berkata bahwa orang-orang tak menghiraukannya.
Penjaga gawang Persela, Choirul Huda. (Foto: ANTARA FOTO/Rahbani Syahputra)
zoom-in-whitePerbesar
Penjaga gawang Persela, Choirul Huda. (Foto: ANTARA FOTO/Rahbani Syahputra)
"Penyakit Mendieta itu sebenarnya gampang sekali diobati, tetapi dia enggak punya uang. Gajinya enggak dibayar dan akhirnya, walaupun Pasoepati --suporter Persis Solo-- sudah mengumpulkan bantuan, itu semua enggak cukup karena penyakitnya sudah telanjur parah," tutur Sutton kepada Shamir.
"Lah, terus rekan-rekannya gimana? Masa enggak ada yang membantu?" tanya Shamir yang keheranan dan tampak sedikit kesal.
"Ya, gimana?" balas saya. "Mereka juga sudah beberapa bulan enggak dibayar gajinya."
Jika masalah sepak bola Indonesia ada di persoalan tata kelola, lain halnya dengan persepakbolaan Singapura. Di negara itu, masalah sepak bola lebih fundamental lagi, yakni minimnya antusiasme. Kata Shamir, ini semua salah Premier League. Dengan massifnya promosi, Premier League membuat warga Singapura jadi meninggalkan liga sepak bola mereka sendiri.
ADVERTISEMENT
Nah, di sinilah kemudian Ben dan Rain bergabung dengan kami. Kata Rain, mereka awalnya segan untuk nimbrung karena obrolan kami terdengar berat. Namun, kami kemudian mempersilakan mereka untuk duduk bersama kami.
Inilah satu hal yang menarik dari Buddy Buddy Cheers. Menurut kesaksian Shamir, bar ini adalah bar yang banyak dikunjungi oleh warga Singapura beretnis Cina, seperti halnya Ben dan Rain. Namun, kata Shamir lagi, di bar ini dia tidak pernah dipandang sebagai liyan. Para pengunjung justru penasaran dan akhirnya merangkul Shamir untuk jadi bagian dari mereka.
Ini adalah Singapura yang ideal. Singapura yang sudah mau melewati batas prasangka. Di luar sana, menurut pengakuan Shamir, ada banyak diskriminasi yang dialaminya karena berkulit gelap. Salah satu bentuk diskriminasi itu adalah bagaimana dia kerapkali disetop oleh petugas keamanan MRT. Bahkan, dia pernah disetop dua kali secara beruntun oleh petugas yang sama.
ADVERTISEMENT
Masalah diskriminasi rasial adalah masalah laten Singapura yang sampai saat ini masih sukar dienyahkan. Warga etnis Cina di sana dipandang sebagai golongan teratas. Sebaliknya, orang-orang India acapkali diperlakukan seperti Shamir tadi. Contoh lain dari diskriminasi ini adalah bagaimana harga properti di kawasan India dan Cina bisa berbeda meski dua daerah itu punya masalah serupa.
Namun, di bar itu segala sekat hilang. Ben dan Rain, yang meminum birnya dengan gelas kecil --orang Cina memang seperti itu minumnya, kata Shamir-- itu bahkan kemudian berlaku sebagai 'bartender' dengan menuangkan minuman ke gelas-gelas kami apabila sudah kosong.
Di sana, sepak bola kembali jadi pembuka. Ben dulunya adalah penggemar Singapore Armed Forces yang sekarang sudah beralih nama menjadi Warriors FC. Bahkan, dia berkisah bahwa suatu kali dia pernah memanjat pagar untuk bisa menyaksikan klub milik militer Singapura itu. Tetapi, sekarang tidak lagi. Selain karena usianya sudah menua, dia juga sekarang lebih menikmati pertandingan-pertandingan Liga Inggris.
ADVERTISEMENT
Rain, sementara itu, juga merupakan penggemar sepak bola. "Tapi cuma pas Piala Dunia," katanya. "Di Piala Dunia, suasananya lain. Semua orang berkumpul buat menonton. Aku suka suasananya, tapi aku juga senang bisa melihat pemain-pemain terbaik. Kemarin, misalnya, ada [Kylian] Mbappe."
Jair Bolsonaro (Foto: CARL DE SOUZA / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Jair Bolsonaro (Foto: CARL DE SOUZA / AFP)
Dari sepak bola, lagi-lagi obrolan kami beranjak ke ranah politik. Dari penuturan Ben, dia mengaku senang dengan Indonesia karena di sini tidak ada polisi syariat seperti di Malaysia. Di Indonesia, dia bisa lebih bebas bergerak tanpa harus takut disetop oleh petugas keamanan.
Kami pun kemudian bercerita soal bagaimana pandangan kami terhadap dunia. Sutton yang lahir di Libya dan pernah tinggal di 15 negara itu berulang kali mengatakan bahwa dia tidak peduli dari mana kawan-kawannya berasal. Bahkan, pendukung Arsenal ini memiliki istri seorang muslim Indonesia. Di situ, kami berkeluh kesah soal rasialisme, fasisme, dan ultranasionalisme yang kini tengah menjangkiti dunia.
ADVERTISEMENT
Donald Trump akhirnya juga menjadi bahan pembicaraan kami. Rain berkata bahwa dia merasa sangat terpukul dengan kondisi di Amerika Serikat saat ini. Saya kemudian berkata bahwa Trump bukan satu-satunya Trump di muka bumi ini. Jair Bolsonaro di Brasil juga merupakan sosok Trump lain yang berhasil naik takhta dengan memanfaatkan ketakutan warganya.
Malam sudah berhenti dan akhirnya, pagi menyongsong. Waktu sudah menunjukkan pukul 02:30 ketika saya bicara panjang lebar soal bagaimana golongan kiri bisa menjadi golongan kanan. Sutton, ketika itu, sudah mulai terkantuk. Setengah jam kemudian, Sutton sudah terlelap. Saya pun sadar bahwa ini saatnya undur diri.
Ketika undur diri itu, saya meminta tolong kepada Shamir untuk memesankan Grab karena entah mengapa, aplikasi milik saya itu rusak. Dengan ringan tangan, Shamir melakukannya dan --ini yang menarik-- ketika saya berkata bahwa saya akan membayar biaya Grab itu dengan uang kontan, dia menolak.
ADVERTISEMENT
"Di Indonesia aku selalu dijaga oleh kawan-kawanku. Sekarang, giliranku melakukannya. Welcome to Singapore, man," ujarnya sambil menepuk pundak saya.
Ya, di situlah saya benar-benar merasa diterima di Singapura. Saya sebenarnya berjanji akan kembali menemui mereka setelah pertandingan. Namun, waktu tidak bersahabat. Usai pertandingan, saya baru bisa merampungkan pekerjaan pada pukul 03:00 dini hari dan akhirnya harus melewatkan undangan mereka.
Namun, apa yang saya alami malam itu adalah pengalaman tak terlupakan. Sebelumnya, saya membayangkan Singapura sebagai negara yang artifisial. Semua-semuanya adalah buatan dan dalam benak saya, itu juga termasuk orang-orang di dalamnya. Saya salah. Di Singapura, asal Anda tahu apa yang harus dilakukan, Anda akan menemukan orang-orang yang nyata dengan kisah hidup yang bisa Anda pahami sepenuhnya karena Anda pun mengalaminya.
ADVERTISEMENT