Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Maurizio Sarri mendatangkan Gonzalo Higuain dengan satu harapan, ia menemukan kepingan puzzle lini serang Chelsea yang terhilang.
ADVERTISEMENT
Alvaro Morata memang sudah hengkang ke Atletico Madrid, tapi ialah yang menjadi penyerang utama Chelsea sebelumnya. Status sebagai penyerang utama pada akhirnya tidak pas bila dibandingkan dengan koleksi golnya di musim 2018/19. Ia hanya bisa menceploskan lima gol untuk Chelsea. Sementara, Olivier Giroud tak lebih baik karena baru bisa sekali menjebol gawang lawan-lawannya di Premier League.
Yang namanya pelatih tentu harus bisa mencari solusi dalam situasi seperti ini. Paling terlihat tentu bagaimana Sarri menginstruksikan Eden Hazard untuk bermain sebagai false nine. Hasilnya cukup melegakan karena penyerang asal Belgia itu mampu mencetak tiga gol saat ditugaskan untuk bermain dalam arketipe ini.
Namun, itu solusi jangka pendek. Bukan karena kurun waktunya, tapi karena fungsinya lebih untuk menyelesaikan masalah di lini serang saja. Sementara, tim bukan cuma tentang lini serang. Masih ada lini-lini lain yang tidak boleh dikorbankan hanya untuk menyelesaikan masalah di satu lini tertentu. Bila Hazard terus-menerus dimainkan sebagai false nine, bukannya tidak mungkin Chelsea kehilangan kreativitas, terutama di area kiri yang memang menjadi wilayah paling ideal untuk ditaklukkan Hazard.
ADVERTISEMENT
Berkaca dari itulah Higuain dipanggil ke Stamford Bridge. Terlebih, ini bukan pertama kalinya Higuain dan Sarri bekerja sama. Saat masih membela Napoli, Higuain pernah mencetak sejarah. Produktivitas mencetak gol membawa Higuain sebagai penyerang tersubur sepanjang sejarah Serie A--setara dengan Gino Rossetti-- lewat 36 gol pada edisi 2015/16. Dan di balik kesuburan itu, ada tangan dingin Sarri yang membentuk Higuain sehingga cocok dalam skema 4-3-3 yang acap diusungnya.
Higuain Bukan Penyerang Serbabisa
Higuain bisa mencetak gol, tapi ia bukan penyerang serbabisa. Artinya, kesuburannya itu sangat bergantung pada sokongan pemain lainnya. Ambil contoh saat ia masih di Napoli. Melihat kepelatihan Sarri di tim kebanggaan warga Naples itu, ada tiga gelandang yang rutin ia mainkan: Marek Hamsik, Allan Marques, dan Jorginho. Di antara ketiganya, Hamsik menjadi sosok yang paling rajin menyajikan umpan matang untuk Higuain. Di Serie A 2015/16, tujuh dari 11 assist yang dibuatnya diberikan kepada Higuain.
ADVERTISEMENT
Bandingkan dengan penampilannya saat bermain untuk AC Milan. Yang menjadi persoalan di sini bukan pakem yang digunakan Gennaro Gattuso karena sebenarnya, Milan acap bermain dalam formasi 4-3-3. Milan tidak seperti Napoli yang memiliki pemain yang rutin mengkreasikan peluang. Suso dan Hakan Calhanoglu adalah dua kreator serangan utama Milan.
Namun, Suso juga sering alpa pada tugas utamanya. Alih-alih melayani Higuain dengan umpan-umpan matang, ia lebih cenderung bernafsu untuk menyelesaikan peluang. Alhasil, tidak ada koneksi yang pas antara kreator dan penuntas serangan. Tak ayal, peluang jadi hanya sebatas peluang.
Persoalan lainnya, Higuain bukan penyerang yang rajin menciptakan peluang. Ia berbeda dengan katakanlah, Diego Costa, yang klinis dan kreatif sekaligus. Berhitung mundur, musim 2016/17 menjadi periode terakhir Costa berseragam The Blues.
ADVERTISEMENT
Tahun terakhirnya itu ditandai dengan 20 gol dan tujuh assist dalam 35 penampilannya di Premier League. Itu belum ditambah dengan 1,7 umpan kunci per pertandingan. Hebatnya, performa seimbang ini tak hanya muncul di Chelsea. Dalam 10 pertandingan awalnya bersama Atletico Madrid pun, Costa sudah mampu membukukan lima gol dan sepasang assist.
Situasi ini memberikan lampu merah dan hijau sekaligus bagi Sarri. Lampu merahnya, ia harus memastikan dalam timnya ada gelandang yang mampu memberikan umpan-umpan matang kepada Higuain. Jika Hazard bermain sebagai false nine, Sarri sering menugaskan Mateo Kovacic atau Ross Barkley sebagai kreator peluang. Namun, ini bukan pilihan optimal. Rata-rata hanya satu umpan kunci per laga yang dibukukan Kovacic. Sementara Barkley lebih rendah lagi karena hanya mengukir 0,5 umpan kunci per pertandingan.
ADVERTISEMENT
Kabar baiknya, Chelsea memiliki Hazard yang bisa diandalkan sebagai kreator serangan. Torehan 10 assistnya menjadikannya sebagai pemain Chelsea yang paling banyak menciptakan assist di Premier League 2018/19. Begitu pula dengan rataan umpan kuncinya yang mencapai 2,8 per laga.
Mencari Penyeimbang
Posisi menentukan prestasi. Ungkapan itu tak hanya berlaku pada kita saat zaman kuliah dulu. Hazard selalu ada dalam performa terbaiknya saat menempati area kiri.
Dirangkum WhoScored, dalam laga melawan top four Premier League, Hazard mencatatkan akurasi umpan 87,5% bila bermain di area kiri. Sementara, saat bermain sebagai false nine, akurasi umpannya hanya 78,5%. Begitu pula dengan dribel suksesnya, di kiri ia membukukan 88,5% dribel sukses, sementara saat sebagai false nine persentasenya hanya mencapai 68,75%.
ADVERTISEMENT
Bila Hazard dikembalikan ke posisinya sebagai penyerang kiri, bukannya tidak mungkin problem kreativitas Chelsea akan tuntas. Nah, peluang tanpa penyelesaian akhir yang klinis sama dengan bohong. Untuk itulah Higuain ada.
Namun, yang menjadi persoalan, Chelsea harus bisa mencari kreator serangan yang seimbang di area kanan. Liverpool dan Spurs yang ada di peringkat dua dan tiga merupakan tim yang memiliki keseimbangan serangan. Serangan dari kiri Liverpool mencapai 36%, sementara kanannya ada di angka 37%. Sedangkan Spurs, area kiri dan kanannya sama-sama mencatatkan angka 37%.
Nah, Chelsea adalah tim yang unik dengan 25% serangan dari kiri dan 14% dari kanan. Keunikannya ini bukannya tidak mungkin menjadi senjata makan tuan. Bila lawan dapat memetakan serangan Chelsea dan menutup pergerakan Hazard atau siapa pun yang ditugaskan di sisi kiri, tamatlah The Blues.
ADVERTISEMENT
Tapi bukan berarti Sarri tak punya aset yang bisa dipoles untuk mengisi area kanan. Posisi ini akan menjadi ideal bila diserahkan kepada Willian walaupun Sarri juga memiliki Pedro Rodriguez. Tapi dibandingkan Pedro, rataan umpan kunci Willian jauh lebih baik--yaitu mencapai 2,5. Sementara Pedro cuma mampu menciptakan rataan 0,7 umpan kunci per laga. Jumlah rataan umpan kunci Willian itu masih mendekati torehan yang dibuat oleh Hazard (2,8).
Higuain, si Manusia Statis
Salah satu persoalan yang harus dipikirkan Sarri adalah bagaimana lini serangnya tak tumpul walaupun Higuain yang didapuk sebagai penyerang utama tergolong sebagai pemain yang pergerakannya statis. Higuain yang sekarang berbeda dengan Higuain yang dulu.
Kini ia bukan pemain yang dapat memberikan pace mumpuni untuk dapat membantu tim meregangkan pertahanan lawan. Contoh terbarunya adalah di laga melawan Bournemouth yang berakhir dengan kekalahan 0-4 untuk Chelsea.
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya, The Blues kalah karena selalu gagal menyelesaikan peluang. Penyebabnya apa lagi kalau bukan para pemain Bournemouth yang begitu disiplin merapatkan jarak antarlini dalam skema 4-4-1-1 ketika diserang. Tak jarang, empat bek dan gelandang menumpuk di kotak penalti.
Demi memecah kebuntuan, lini pertahanan Chelsea juga ikut menyerang menuju akhir babak pertama. Duo bek, Antonio Ruediger dan David Luiz, maju melewati titik sepak mula, sementara full-back kanan dan kiri, Cesar Azpilicueta dan Emerson, berada di pinggir lapangan.
Sementara, baik Hazard dan Pedro--yang masih berperan sebagai sayap kiri dan kanan pada laga ini--berada di kotak penalti bersama dengan Higuain. Tak jauh dari kotak penalti, N’Golo Kante dan Kovacic berdiri untuk membantu serangan. Akibatnya, lubang di area pertahanan Chelsea jadi menganga. Tak heran jika pada akhirnya laga ini berkisah tentang pesta gol di Vitality Stadium.
ADVERTISEMENT
Situasi macam juga bukan tak pernah muncul saat Higuain bermain di Milan. Dalam laga melawan Sampdoria di Coppa Italia, misalnya. Saat rekannya sedang menguasai bola, Higuain yang tak mampu memberikan kecepatan untuk melepaskan diri dari kepungan lawan justru berdiri di depan dua bek tengah.
Tentu posisi yang demikian tidak memberikan pilihan ideal bagi pembawa bola untuk meneruskan serangan. Masalahnya, dalam posisi ini sudah pasti yang menjaga Higuain bukan hanya duet bek tengah, tapi juga gelandang terdalam.
Instruksi Gattuso yang acap terlihat adalah membangun serangan selebar mungkin. Tapi, taktik ini hanya bisa berjalan dengan sukses jika dua bek sayap cukup kokoh untuk bermain dalam garis pertahanan tinggi. Kalau tidak, ya hasilnya, akan seperti di laga melawan Bournemouth itu.
ADVERTISEMENT
Idealnya jika ingin bermain seperti ini, hanya satu bek sayap yang bergerak naik. Sementara, bek sayap yang lain tetap pada posisinya sehingga dapat memberikan keseimbangan di lini pertahanan yang kini dihuni oleh tiga bek.
Tapi itu baru permulaan, pemain-pemain tengah mereka harus berlari secara vertikal sehingga mendahului para pemain di lini terdepan sehingga dapat memberikan ruang yang cukup bagi Higuain di area penalti yang menjadi wilayah strategisnya untuk melepaskan tembakan. Cara ini sering gagal di Milan karena mereka gelandang mereka pun cenderung statis sehingga semuanya serba terlambat.
Mendatangkan Higuian dengan nama besarnya di masa lalu memang terkesan menggiurkan. Namun, kedatangannya tak serta-merta menyelesaikan persoalan Chelsea. Buktinya di laga debut Premier League-nya bersama Chelsea tersebut, Higuain tak berdaya. Tak sekalipun ia berhasil menciptakan peluang dan melepaskan tembakan.
ADVERTISEMENT
Berkaca dari sini, Sarri punya tugas berat. Bukan untuk mengembalikan ketajaman Higuain, tapi membentuknya menjadi pemain yang solutif untuk Chelsea. Bagaimanapun serupa pemain lain, Higuain tidak didatangkan ke Chelsea untuk menambah masalah, tapi menyelesaikan masalah.