Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Senin, 16 Maret 2020, saat dunia babak-belur dihajar pandemi, Keisuke Honda menaklukkan lima benua dengan caranya sendiri.
Honda mencetak gol untuk timnya, Botafogo, saat berlaga melawan Bangu. Dalam laga tersebut, Honda berhasil mencetak gol di menit ke-29 via titik putih.
Gol itu membuat Honda menancapkan tiang pancangnya di Amerika Selatan—benua kelima yang ia taklukkan. Pada akhirnya, Botafogo tak jadi menang, tetapi Honda jelas boleh bangga.
Honda telah mencetak gol di empat benua berbeda, yaitu Asia, Eropa, Australia, dan Amerika Utara. Ia mencetak gol bersama Nagoya Grampus di Asia, VVV-Venlo, CSKA Moskow dan AC Milan di Eropa, Melbourne Victory di Australia, dan CF Pachuca di Amerika Utara.
Ia berhasil melakukan semua itu di level tertinggi. Maka, disebut-sebutlah Honda sebagai orang pertama.
Honda memulai segalanya dari kaset video tua. Rekaman itu memperlihatkan bahwa di atas muka Bumi ini ada pesepak bola bernama Pele.
Ia orang Brasil, punya kaki yang lincah dan terampil mengolah bola. Ia mengantar negaranya jadi juara dunia. Honda kecil menancapkan mata rekat-rekat pada Pele. Ia bertanya-tanya apa yang dilakukan seorang pesepak bola.
Ayah Honda berkata bahwa Pele menjadi pesepak bola bukan hanya karena sepak bola itu menyenangkan. Sepak bola adalah jalan yang mengantar Pele pada hidup yang lebih manusiawi. Pele seperti anak-anak Brasil pada umumnya di zaman itu.
Berasal dari favela, bertarung dengan kemiskinan untuk bertahan hidup. Namun, petak-petak rumah di favela itu menjadi bujur sangkar ajaib yang membentuk imajinasi Pele. Sepak bolanya didewasakan oleh hidup yang tak nyaman.
Honda ingin menempuh jalan yang sama. Ia tahu keluarganya tak semiskin keluarga Pele. Namun, tetap saja mereka bukan orang berada. Honda ingin lebih yang lebih baik.
Masalahnya, hidup tak punya tugas untuk selalu menjadi baik-baik saja. Ayah dan ibu Honda bercerai, tinggal di rumah nenek menjadi solusi paling logis. Lagi pula, seharusnya semuanya tak bakal jadi masalah. Toh, sang nenek adalah role model ayahnya. Berulang kali ia mendengar ayahnya itu bercerita tentang si nenek.
Yang baru saja disadari Honda kecil, tinggal bersama dan mendengarkan cerita seringkali tak sama. Neneknya tak punya keyakinan bahwa sepak bola bisa memberikan kehidupan yang lebih baik bagi Honda.
Perang urat saraf khas generasi yang lebih tua dan generasi yang lebih muda berulang kali muncul. Semuanya belum cukup untuk menghentikan Honda. Katanya, kekerasan kepala sang nenek justru mengajarkannya seperti apa cara memelihara tekad.
Usia muda adalah waktunya bernekad-nekad ria. Honda tak mau ketinggalan kereta. Ia menandatangani kontrak tiga tahun bersama Nagoya Grampus begitu lulus SMA.
Di tahun terakhirnya, apa yang diidam-idamkan entah oleh berapa banyak pesepak bola di dunia mulai menunjukkan rupa. Honda punya kesempatan berlaga di Eropa. Ketika itu, ia mendapat tawaran di VVV Venlo.
Tak ada kontrak, ia cuma dijanjikan trial. Namun, itu sudah cukup buat Honda. Anak muda yang satu ini kepalang yakin bahwa segala sesuatu yang ia miliki sebagai pemain muda mampu mengantarnya ke ranah sepak bola Eropa.
Seringkali sebuah cerita manis diawali dengan adegan yang tak disangka-sangka. Honda menganggap bahwa perjalanannya selama empat musim di Venlo gagal besar. Untunglah ia tahu apa yang membuatnya gagal. Terlalu banyak sering mengoper. Sejak saat itu, Honda tahu bahwa ia harus mencetak gol untuk sampai ke puncak gunung prestasi.
Honda lalu merantau ke tanah Rusia, bersama CSKA Moskva. Kariernya di sana juga tak bagus-bagus amat. Ia pergi meninggalkan Rusia dengan status bebas transfer, padahal ia menetap di sana selama tiga musim.
Kondisi ini kian ironis jika melihat seperti apa debutnya bersama CSKA di leg kedua babak 16 besar Liga Champion 2010/11 melawan Sevilla. Di pertandingan tersebut ia mencetak gol penentu kemenangan via tendangan bebas langsung. Honda dipuja, dielu-elukan sebagai penyelamat yang mengantar CSKA ke perempat final.
Apes, elu-elu itu tidak bertahan lama. Kadang Honda tampil oke, kadang angot-angotan. Cerita manisnya pun tergerus dari hari ke hari.
Mungkin Honda harus terpuruk dulu untuk sampai pada klub yang muncul dalam esai yang ditulisnya saat sekolah dulu. Sebagian dari kita pernah mendapat tugas seperti ini. Guru salah satu pelajaran meminta kita untuk menulis esai tentang cita-cita, apa yang ingin kita lakukan saat dewasa nanti.
Honda menulis bahwa ia ingin menjadi pesepak bola AC Milan. Mungkin kala itu sang guru tertawa geli membaca tulisan Honda. Namun, itu sebelum palu nasib menjatuhkan vonis berbeda.
Honda sampai ke Milan sambil membawa perasaan gundah. Apalah yang bisa diharapkan dari pemain berstatus bebas transfer Terlebih, Milan pada 2014 adalah Milan yang kacau. Ini Italia, bermain buruk sedikit saja kau bisa menjadi celaan.
Kekhawatiran Honda tidak berlebihan. Di laga debutnya bersama Milan, ia dicemooh para tifosi.
Milan hanya bermain imbang 1-1 melawan Torino saat itu. Honda tak kunjung menemukan permainan terbaiknya. Massimiliano Allegri meninggalkan kursi kepelatihan Milan, lalu Clarence Seedorf datang.
Honda baru bisa tampil sedikit menjanjikan pada 2014/15, di musim keduanya bersama Milan saat dilatih Filippo Inzaghi. Pelatih yang satu ini bisa memaksimalkan potensi Honda dengan menempatkannya sebagai penyerang kanan.
Saat masih ditangani Seedorf, Honda identik dengan gelandang serang. Posisi gelandang serang sebenarnya tak asing bagi Honda.
Di CSKA Moscow pun ia ditempatkan sebagai gelandang serang, di belakang penyerang. Masalahnya, di Milan, ia harus berbagi tempat bersama Kaka dan pemain pinjaman dari Queen Park Rangers, Adel Taarabt.
Jika di CSKA Honda masih bisa menyumbang empat trofi, Honda angkat kaki dari Milan pada 2017 dengan satu gelar saja. Transfernya juga tak jadi cerita gempita. Bagaimana mau heboh kalau ia pindah ke klub asal Meksiko, Pachuca?
Bikin gol debut, setelahnya meredup dari hari ke hari. Pola itulah yang membuat Honda gagal jadi pesepak bola eye catching.
Bahkan sebelum pindah ke Vitesse pada November 2019, Honda sempat mempromosikan diri lewat akun Twitter-nya supaya digaet Manchester United. Tak sampai di situ, setelah United, ia menuliskan tweet yang sama untuk Milan.
"Hei, aku ini masih pemain terbaik di Asia, lho. Kenapa, sih, tidak ada yang menawariku kontrak?"
Perjalanannya di Vittese ternyata juga tak panjang, cuma semusim, hanya empat laga, tanpa gol dan tanpa assist. Setelahnya, Honda hengkang ke Brasil. Di laga debutnya bersama Botafogo ia mencetak rekor. Honda menjadi pemain pertama yang mencetak gol di kompetisi tertinggi di lima benua.
Negara ini tanah kelahiran Pele, orang yang pertama kali membuatnya jatuh cinta pada sepak bola. Pele adalah orang yang membuatnya merasa wajar-wajar saja untuk lari tunggang-langgang dikejar neneknya yang memaksa untuk masuk sekolah, sementara ia ingin bermain sepak bola.
Pele adalah orang yang membuatnya bertaruh mati-matian. Pertaruhan itu tak selamanya buntung meski tak bisa disebut sumber untung.
Namun, setidaknya ia sudah bermain bersama Timnas Jepang di tiga Piala Dunia. Setidaknya, sebutan 'Emperor' menjadi predikat harum semerbak yang dibawanya setiap kali turun arena membela Jepang di pentas dunia.
Perjalanan yang lebih banyak senyap itu, toh, memberinya hidup yang lebih baik. Honda pada akhirnya mendirikan organisasi yang memberikan beasiswa kepada atlet-atlet sekolah. Indonesia, Vietnam, Thailand, Uganda, Kamboja, Amerika Serikat disentuhnya. Sekitar 15.000 anak mendapat kesempatan untuk keluar dari kemiskinan.
Kalaupun Honda tak bisa menjadi 'Emperor' yang mempersembahkan trofi untuk Jepang atau gelar juara prestisius untuk timnya, setidaknya ia membuktikan bahwa sepak bola adalah jalan keluar.