Ketika Sepak Bola Tak Lagi Sama

24 Juni 2020 8:00 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kendati sepak bola tak sama lagi, para suporter tak kehabisan cara untuk bersenang-senang. Foto: Michal CIZEK / AFP
zoom-in-whitePerbesar
Kendati sepak bola tak sama lagi, para suporter tak kehabisan cara untuk bersenang-senang. Foto: Michal CIZEK / AFP
Meski mencoba meruntuhkan berkali-kali, ada kalanya kita berhadapan dengan tembok yang terlalu kokoh.
Ia menjadi penghalang teguh yang membuat kita seperti orang buta. Kita menyangka yang mengelilingi cuma pekat. Kita merasa lapangan yang seharusnya di depan mata hilang ditelan gelap.
Dalam waktu yang membuat tenggorokan tercekat, kita menyadari siapa yang terdekat. Kita lalu memahami, ada kalanya kita tak perlu melawan dan merobohkan. Yang kita butuhkan hanyalah kawan untuk memanjat tembok yang tegap.
****
Sepak bola terentak karena pandemi menyentak. Elite-elite mundur, menepi, dan berdiam di dalam rumah. Para pesohor lapangan hijau mesti menyingkir. Untuk sementara tak ada lagi perayaan dan tendangan hebat.
Bahkan ketika sepak bola dimulai lagi, tetap ada tembok yang mengelilingi. Kita, orang-orang yang merasa lapangan bola sebagai tempat teraman, tak bisa lagi menyentuh tribune yang sanggup membuat kita merasa jadi seperti pemenang.
Sepak bola terhalang tembok? Ah, kata siapa... Foto: Michal Cizek / AFP
Protokol medis memaksa sepak bola jadi laga yang senyap. Yang duduk di bangku-bangku penonton bukan manusia yang bernyanyi nyaring tanpa peduli nada yang sumbang. Di sana diletakkan orang-orang buatan agar sepak bola tak terkesan terlalu depresif, terlalu menyedihkan.
Para pemain mengeluhkan laga tanpa penonton. Arturo Vidal berkata bahwa ia pernah hampir meninggalkan lapangan karena tak tahan dengan suasana yang aneh ala protokol medis.
Lionel Messi saja menyebut bahwa pertandingan tanpa penonton bisa memengaruhi mental para pemain. Pelatih Timnas Spanyol, Luis Enrique, menganggap pertandingan tanpa penonton sama menyedihkannya dengan menari bersama adik perempuan sendiri.
Namun, manusia tidak pernah kehilangan cara untuk menyikapi kabar buruk. Suporter Bohemians 1905 tetap datang ke Dolicek Stadium untuk menyaksikan tim mereka berlaga melawan SK Dynamo Ceske Budejovice pada 31 Mei 2020.
Bukan panjat sosial. Foto: Michal CIZEK / AFP
Karena tahu laga ini tidak akan dibuka untuk penonton, mereka membawa dan menegakkan tangga di sekeliling tembok stadion. Dari ketinggian mereka menyaksikan Bohemians 1905 bertarung memperebutkan poin penuh. Mereka merayakan gol, menenggak bir, dan tertawa menyambut kemenangan.
Sepasang bapak dan anak suporter Liverpool bertindak mirip. Di hari pertama latihan tim, mereka datang untuk menyaksikan para penggawa berlatih di Melwood.
Karena tembok menjadi penghalang, sang bapak mengangkat anaknya ke pundak. Si bapak tak peduli jika hari itu ia tak dapat menyaksikan Juergen Klopp menggembleng pasukannya. Yang penting anaknya bisa girang menyaksikan Mohamed Salah menggiring bola sambil tersenyum lebar.
Mereka yang tidak menyukai sepak bola mungkin bertanya-tanya kenapa para suporter rela bersusah-susah hanya untuk datang ke stadion. Toh, laga ditayangkan di televisi. Mereka bisa menonton dengan santai tanpa repot-repot memanggul tangga.
Akan selalu ada tembok yang tidak bisa kita panjat sendirian. Mungkin Melwood merupakan salah satunya. Foto: Paul ELLIS / AFP
Kita bisa melihat apa yang terjadi di Irak pada 2003 hingga 2013, tepatnya sejak upaya penggulingan Saddam Husein yang diinisiasi oleh Amerika Serikat, untuk menjawab pertanyaan itu. Mengutip laporan PBB pada 2013, lebih dari 100.000 orang tewas akibat perang ini.
Bahkan pada 28 Juni 2013 sebuah bom diledakkan di stadion sepak bola yang terletak di area Madain. Tiga pemain dan dua suporter tewas dalam tragedi ini.
Alih-alih mati dalam periode kelam itu, sepak bola Irak malah membukukan catatan penting. Timnas Irak menjadi kampiun Piala Asia 2007. Pada 2012 dan 2013, Irak juga menjejak duel pemungkas Piala Asia Barat dan Piala Teluk.
Jangan lupakan pula bahwa Irak sampai ke semifinal Piala Dunia U-20 2013. Mereka mencapai babak empat besar usai mengalahkan Korea Selatan 5-4 di adu penalti.
Surealisme sepak bola: Perang dan anak-anak bermain sepak bola. Foto: TIMOTHY A. CLARY / AFP
Sepak bola tak mampu menghentikan perang. Namun, ketika para jagoan lapangan hijau berhasil merengkuh kemenangan, untuk sesaat orang-orang Irak lupa bahwa mereka sedang ada dalam masa peperangan.
Sorak-sorai di atas podium kampiun tak akan pernah sepadan dengan nyawa yang direnggut bom dan peluru. Akan tetapi, untuk beberapa jam saja, orang-orang yang muak dihajar kehilangan merasakan kembali seperti apa rasanya memiliki ketika tim kesayangan mereka merengkuh kemenangan
Pusat-pusat pengungsian perang dan bencana menunjukkan bahwa sepak bola kerap mendapat tempat. Jepret kamera para fotografer berulang kali menangkap anak-anak yang bermain sepak bola di tengah situasi rumit.
Foto itu barangkali memperlihatkan seorang anak memakai jersi Ronaldinho menggiring bola sambil tertawa-tawa di sekitar tenda pengungsian.
Di hari itu mungkin kita seperti melihat Ronaldinho yang sebenarnya, Ronaldinho yang berulang kali membuat sepak bola menjadi permainan misteri yang hanya bertujuan untuk menikmati permainan itu sendiri.
Kita yang mengingat kisah gempa bumi di Yogyakarta pada 27 Mei 2006 mungkin tahu cerita ini. bencana hebat itu terjadi sekitar dua minggu jelang Piala Dunia 2006. Pusat-pusat pengungsian berubah menjadi arena nonton bareng yang membuat orang-orang lupa akan bencana meski hanya dua jam.
Dalam konteks awalnya, sepak bola adalah permainan yang diciptakan bagi kelas pekerja. Permainan ini ibarat pintu yang mengantarkan kelas pekerja pada kemenangan.
Di hari pertandingan, mereka yang babak belur dalam hidup sehari-hari bisa berteriak lepas menyuruh para pemain timnya menggiring bola dengan becus. Jika tim mereka menang, orang-orang yang kalah dalam kehidupan sehari-hari tadi ikut-ikutan merasa jadi pemenang.
Sepak bola di tengah pandemi juga seperti itu. Beberapa bulan terakhir adalah periode sulit. Hantamannya bahkan terasa sampai sekarang dan diperkirakan masih bakal berlangsung dalam beberapa bulan ke depan.
Kita tidak mengetahui seberapa besar kehilangan yang ditanggung oleh para suporter Bohemians 1905 dan sepasang bapak anak pencinta Liverpool yang menyaksikan sepak bola dari balik tembok tinggi itu. Barangkali mereka harus melepas apa-apa yang digenggam erat selama ini.
Mungkin karena itulah mereka datang ke lapangan bola. Anggaplah sepak bola sebagai imbalan untuk keteguhan mereka bertahan dalam situasi rumit.
Kalau selama ini para suporter itu bertarung sendirian melawan krisis, di jam-jam pertandingan itu ada orang lain [para pemain] yang bertanding habis-habisan untuk memberi mereka kemenangan.
Begitu kemenangan itu datang, mereka yang berdiri di tangga masing-masing saling membenturkan gelas berisi bir. Dentingannya adalah penanda bahwa hari itu mereka merayakan hidup dan segala hal baik yang tetap datang dalam waktu yang buruk.
====
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona. Yuk, bantu donasi atasi dampak corona!