news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Ketika Van der Sar Mengadali Anelka di Final Liga Champions 2008

22 Mei 2020 14:16 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Edwin van der Sar merayakan keberhasilan menjuarai Liga Champions untuk kali kedua pada 2008. Foto: AFP/Pool
zoom-in-whitePerbesar
Edwin van der Sar merayakan keberhasilan menjuarai Liga Champions untuk kali kedua pada 2008. Foto: AFP/Pool
ADVERTISEMENT
Edwin van der Sar bukan kiper dengan catatan adu penalti terbaik. Pada 1996, 1998, dan 2000, pria Belanda itu menjadi pesakitan.
ADVERTISEMENT
Rekor buruk Van der Sar dalam adu penalti itu bermula di final Liga Champions 1996. Saat itu dia masih memperkuat Ajax yang dibawanya menjadi kampiun Eropa setahun sebelumnya.
Datang ke final sebagai juara bertahan, Ajax ditantang Juventus yang mulai bangkit dari keterpurukan di bawah asuhan si rambut perak Marcello Lippi.
Setelah 120 menit, tak ada pemenang yang muncul dari pertandingan di Stadio Olimpico Roma itu. Adu penalti pun harus digelar. Hasilnya, Juventus menang 4-2 dan Van der Sar tak membuat satu pun penyelamatan.
Dua tahun berselang, giliran Brasil yang memberi kekalahan kepada Van der Sar di adu penalti. Ajangnya adalah Piala Dunia 1998, tepatnya pada babak semifinal.
Ronaldo, Rivaldo, Emerson, dan Dunga berhasil menaklukkan Van der Sar. Sementara, tendangan Philip Cocu dan Ronald de Boer sukses dibaca oleh Claudio Andre Taffarel.
ADVERTISEMENT
Belanda pun gagal ke final. Sudah begitu, mereka juga kalah 1-2 dari Kroasia pada perebutan tempat ketiga.
Selang dua tahun berikutnya, Belanda mendapat kehormatan jadi tuan rumah Piala Eropa bersama Belgia. Sepanjang turnamen, mereka tampil meyakinkan, termasuk kala menghancurkan Yugoslavia 6-1.
Akan tetapi, setelah menyisihkan Yugoslavia di perempat final, Oranje harus berhadapan dengan Italia pada babak semifinal. Di sinilah kekalahan ketiga Van der Sar terjadi.
Pada adu penalti ini Van der Sar memang berhasil menggagalkan sepakan Paolo Maldini. Namun, karena Frank de Boer, Jaap Stam, dan Paul Bosvelt gagal menaklukkan Francesco Toldo, Belanda pun tersisih.
***
Awal 2000-an merupakan masa yang sulit bagi Van der Sar. Dia memang direkrut Juventus pada 1999 untuk menjadi pengganti Angelo Peruzzi. Akan tetapi, Van der Sar tak mampu bersinar di Stadio delle Alpi.
ADVERTISEMENT
Pada 2001, Juventus mendatangkan Gianluigi Buffon dari Parma sehingga Van der Sar tersingkir. Secara mengejutkan, kiper bertinggi 197 cm itu memilih pindah ke klub gurem, Fulham.
Buffon singkirkan Van der Sar dari Juventus. Foto: Reuters/Stefano Rellandini
Dengan pindah ke Fulham dari Juventus, Van der Sar tampak seperti sudah menyerah. Lagi pula, saat itu dia sudah 31 tahun. Dia bukan lagi kiper muda potensial yang masih bisa berkembang. Kepindahan itu menunjukkan bahwa dia sudah mentok, kalau tak bisa dibilang menurun.
Akan tetapi, kenyataannya tidak begitu. Pindah ke Fulham, bagi Van der Sar, adalah mundur selangkah untuk maju dua langkah.
Selama bermain untuk The Cottagers, Van der Sar mampu menunjukkan penampilan impresif yang akhirnya memantik ketertarikan dari Sir Alex Ferguson. Pada 2005, Van der Sar pindah ke Manchester United dengan harga yang sangat murah; hanya 2 juta poundsterling.
ADVERTISEMENT
Manchester United ketika itu seperti sedang kebingungan. Setelah Peter Schmeichel hengkang pada 1999, mereka kesulitan mencari suksesor.
Berbagai nama, mulai dari Mark Bosnich, Massimo Taibi, Fabien Barthez, Tim Howard, sampai Roy Carroll, sudah mencoba. Namun, tak satu pun berhasil.
Bagi Ferguson sendiri, kepergian Schmeichel itu menandai berakhirnya era keemasan pertamanya. Setelahnya, Manchester United menjalani transisi panjang dengan banyaknya pemain yang datang dan pergi.
Peter Schmeichel di final Liga Champions 1999. Foto: AFP
Selain itu, dominasi Manchester United pun terganggu. Arsenal makin kuat dan Chelsea memiliki bos baru yang uangnya seperti tak terbatas. United memang masih kuat, tetapi tidak sedigdaya sebelumnya.
Proses transisi itu baru rampung pada 2006 ketika Michael Carrick didatangkan dari Tottenham Hotspur. Namun, kedatangan Van der Sar setahun sebelumnya adalah tonggak penting bagi finalisasi proses tersebut.
ADVERTISEMENT
Mulanya Van der Sar kudu bersaing dengan Howard. Itulah mengapa kostum pertamanya di United adalah 19, bukan 1. Namun, dalam waktu singkat Van der Sar berhasil menunjukkan bahwa dia memang pantas menjadi penjaga gawang utama 'Iblis Merah'.
Sejak 2006, dominasi mutlak Manchester United di Inggris kembali, terbukti dengan keberhasilan mereka memenangi tiga titel liga beruntun hingga 2009.
United tidak cuma hebat di negerinya. Di Eropa pun performa mereka luar biasa. Masa keemasan kedua Ferguson ini kemudian ditandai dengan keberhasilan meraih trofi Liga Champions pada 2008. Di situ, peran Van der Sar amat sangat besar.
***
Di bawah guyuran hujan deras, Manchester United dan Chelsea bertarung memperebutkan Si Kuping Besar.
Cristiano Ronaldo membawa United unggul lebih dahulu pada menit ke-26 sebelum Frank Lampard menyamakan kedudukan. Skor 1-1 ini bertahan sampai menit ke-120. Untuk mencari pemenang, adu penalti pun digelar.
Edwin van der Sar menepis tendangan penalti Nicolas Anelka di Final Liga Champion 2008. Foto: AFP/Adrian Dennis
Tak jarang orang menyebut adu penalti dengan istilah tos-tosan. Sebabnya, adu penalti dinilai sebagai adu keberuntungan.
ADVERTISEMENT
Anggapan itu sebetulnya tidak salah. Memang ada keberuntungan yang bermain dalam adu penalti. Akan tetapi, adu penalti tidaklah sesederhana itu. Van der Sar tidak menjadi pahlawan dalam adu penalti di Luzhniki dengan bekal keberuntungan semata.
"Aku belajar banyak soal penalti Chelsea lewat DVD. Sebagai contoh, aku mempelajari 40 tendangan penalti berbeda dari Frank Lampard," kenang Van der Sar dalam wawancara bersama FourFourTwo pada 2017.
"Dari situ, aku membuat banyak catatan. Salah satu yang kuingat adalah bagaimana Nicolas Anelka hampir selalu mengarahkan tembakannya ke sisi kanan kiper."
"Akan tetapi, Chelsea sendiri rupanya juga sudah mempelajari caraku menghadapi penalti. Mereka tahu bahwa dalam menghadapi penalti aku lebih sering menjatuhkan badan ke kanan."
ADVERTISEMENT
"Aku kemudian berpikir bahwa hampir semua pemain mereka disuruh menendang ke arah kiriku dan hampir semua melakukan itu, kecuali Anelka."
Edwin van der Sar mengangkat trofi Liga Champions bersama Manchester United pada 2008. Foto: AFP/Adrian Dennis
"Aku mengantisipasi Anelka bakal menembak ke arah sebaliknya (ke arah kanan) dan syukurnya itulah yang terjadi," jelas Van der Sar.
Van der Sar memenangkan Manchester United di adu penalti lewat pendekatan ilmiah, itu benar. Namun, namanya juga adu penalti, ada keberuntungan juga di dalamnya.
Keberuntungan bagi Van der Sar dan Manchester United itu terwujud dalam kegagalan legendaris John Terry. Terry, kapten Chelsea kala itu, merupakan penendang yang harus dihadapi Van der Sar sebelum Anelka.
Jika Terry berhasil menaklukkan Van der Sar, Chelsea bakal berada di atas angin karena sebelumnya Petr Cech mampu menggagalkan eksekusi Ronaldo.
ADVERTISEMENT
Namun, Terry justru terpeleset. Tembakannya pun melayang entah ke mana. United berbalik memegang kendali setelah Ryan Giggs sukses menundukkan Cech. Sampai akhirnya, Anelka gagal mencetak gol dan Manchester United keluar sebagai juara.
Van der Sar sendiri pensiun sebagai pemain Manchester United pada 2011. Selama enam tahun di Old Trafford, pria yang kini menjabat sebagai CEO Ajax itu berhasil mempersembahkan tujuh trofi mayor plus tiga Community Shield.
====
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona. Yuk, bantu donasi atasi dampak corona.