Kisah Ivan Toplak, Pelatih Top Dunia yang Gagal Tangani Timnas Indonesia

3 Agustus 2021 14:59 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ivan Toplak, eks pelatih Timnas Indonesia. Foto: Instagram/@pssi
zoom-in-whitePerbesar
Ivan Toplak, eks pelatih Timnas Indonesia. Foto: Instagram/@pssi
ADVERTISEMENT
Tujuh hari yang lalu, kabar duka baru saja menghampiri Timnas Indonesia. Mantan pelatih yang pernah mengasuh skuad Garuda, Ivan Toplak, meninggal dunia.
ADVERTISEMENT
Menurut laporan media Slovenia, Dnevnik, Ivan Toplak mengembuskan napas terakhirnya di Maribor, Slovenia, pada usia 90 tahun. Ia merupakan pelatih Timnas Indonesia rentang 1991-1993.
PSSI, selaku induk sepak bola Indonesia, juga turut berbelasungkawa atas kepergian sang pelatih.
"Turut berduka cita atas wafatnya mantan pelatih timnas Indonesia periode 1992-1993, Ivan Toplak. Semoga beliau mendapatkan tempat terbaik di sisi Tuhan Yang Maha Esa," tulis PSSI di akun Twitter resminya.
Nama Ivan Toplak sendiri sangat tersohor di negaranya, Serbia. Sebelum menjadi pelatih, pria kelahiran Belgrade, 21 September 1931, itu dikenal sebagai legenda.
Toplak memulai karier sepak bola sebagai pemain untuk Branik Maribor di Slovenia setelah Perang Dunia II berakhir (saat itu Slovenia masih bagian dari Yugoslavia bersama Serbia, Kroasia, Bosnia-Herzegovina, Montenegro, Makedonia Utara, dan Kosovo).
ADVERTISEMENT
Pada 1951, Toplak menandatangani kontrak dengan klub elite Slovenia, Olimpija Ljubljana. Di sana, ia bermain selama tiga tahun. Permainan cemerlang sang pemain membuatnya menarik perhatian klub-klub besar Yugoslavia yang berbasis di Serbia dan Kroasia.
Toplak lantas meninggalkan Olimpija ke Red Star Belgrade pada 1954. Di sana, dia merumput tujuh tahun, hingga 1961. Hasilnya, sang pemain meraih gelar juara Liga 1 Yugoslavia pada 1955/56, 1956/57, 1958/59, 1959/60.
Toplak juga pernah memenangi Piala Yugoslavia 1957/58 dan 1958/59, serta Piala Mitropa 1958. Ia lalu meninggalkan Red Star pada 1961 dan tak lama setelah itu pensiun dari sepak bola pada usia 30 tahun.
Selepas gantung sepatu, Toplak langsung melatih Red Star pada 1964. Dia mengelola klub selama dua tahun, tapi tidak berhasil memenangi apapun.
ADVERTISEMENT
Setelah Yugoslavia, Toplak pergi ke Amerika Serikat pada 1967. Di sana, dia membesut California Clippers pada 1967-1968, Stanford University (1969-1971), dan San Jose Earthquakes (1974-1975).
Kemudian, Toplak meninggalkan AS dan kembali ke Yugoslavia sembilan tahun berselang. Pada 1976/77, dia menjadi pelatih Yugoslavia semua usia.
Selain senior, Toplak juga bertanggung jawab pada Yugoslavia U-20 dan U-21. Dia memimpin tim U-21 jadi juara di Euro U-21 pada 1977/78. Setelahnya, Toplak berhasil membawa tim ke semifinal Euro U-21 1980 dan mempersembahkan perunggu di Olimpiade 1984.
Meski sukses dengan tim junior Yugoslavia, posisi Toplak di skuad senior ternyata tidak sepenuhnya aman. Pada 1986, dia menjadi "pelatih bersama" Yugoslavia dengan Ivica Osim.
Toplak lantas memutuskan untuk mundur dari jabatannya sebagai pelatih Yugoslavia. Setelah itu, ia mendapatkan tawaran menukangi Indonesia. Konon, Toplak mendapatkan bayaran Rp 300 juta. Nominal sebesar itu terbilang sangat mahal pada zamannya.
Ivan Toplak, eks pelatih Timnas Indonesia. Foto: Instagram/@pssi
Dengan bayaran yang sangat besar itu, harapan segudang diletakkan di pundak Toplak. Targetnya cukup ambisius sesuai level sepak bola Indonesia saat itu, yaitu tampil di Piala Asia 1992 dan medali emas SEA Games 1993.
ADVERTISEMENT
Sayang, ada banyak hal di luar kemampuan Toplak yang membuat semua target itu tidak bisa terealisasi. Tim 'Merah Putih' hanya mampu menempati peringkat keempat di SEA Games.
Untuk Piala Asia juga tidak bisa mencapai sasaran. Bahkan, di turnamen tidak resmi sekelas Piala Kemerdekaan 1992, Indonesia hanya menjadi runner-up.
Situasi itu terjadi karena Toplak mendapatkan waktu yang minim untuk menggenjot fisik serta mental para pemain. Itu berpengaruh sangat besar karena Toplak dikenal sebagai pelatih yang mengandalkan kekuatan fisik pemainnya.
Akibatnya, para pemain Indonesia bermain sangat jelek. Fisik mereka lemah. Organisasi permainan juga rapuh dan kerja sama tim tidak terbentuk. Sebagai gantinya, aksi individu yang cenderung menonjol.
Selain teknis, faktor non teknis yang membuat Toplak gagal adalah waktu yang tidak tepat. Dia datang ketika Indonesia baru saja sukses mendapatkan medali emas SEA Games 1991 dengan Anatoli Polosin sebagai pelatih.
Anatoli Polosin, Pelatih Timnas Indonesia di SEA Games 1991. Foto: Instagram @akmalmarhali20
Itu membuat Toplak dibanding-bandingkan dengan pelatih legendaris asal Uni Soviet itu. Apalagi, salah satu alasan PSSI menunjuk Toplak sebagai pengganti Polosin adalah gaya melatih yang sama, yang mengandalkan kemampuan fisik dan serangan yang spartan tanpa henti selama 90 menit.
ADVERTISEMENT
Namun, itu sudah menjadi masa lalu. Suka atau tidak, Toplak pernah mewarnai sepak bola Indonesia. Dalam waktu singkat, dia berhasil mendidik pemain-pemain legendaris seperti Herry Kiswanto, Rahmad Darmawan, hingga Elly Idris, yang kini sudah beralih profesi menjadi pelatih jempolan.
Menurut catatan Transfermarkt, Toplak telah menjalani 63 pertandingan saat menjadi pelatih. Ia mencatatkan 24 menang, 8 seri, dan 31 kekalahan. Timnas Indonesia pun tercatat sebagai tim terakhir yang dilatihnya.
****