Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Kisah Marco van Basten, Peraih 3 Ballon d'Or yang Kariernya Dihancurkan Cedera
3 Maret 2021 17:03 WIB
ADVERTISEMENT
Penggemar sepak bola khususnya fans AC Milan mestinya sangat familiar dengan nama Marco van Basten . Ia merupakan salah satu pemain terbaik pada masanya. Namun, cedera membuat karier sang penyerang harus diakhiri dengan cepat.
ADVERTISEMENT
Tiga Ballon d'Or (1988, 1989, dan 1992) dan satu gelar pemain terbaik FIFA (1992) jadi bukti kehebatan Marco van Basten. Pada periode 1980-an hingga akhir 1990-an, dia adalah penyerang dengan jaminan gol dan trofi.
Van Basten membawa Ajax Amsterdam, AC Milan, dan Timnas Belanda meraih kesuksesan. Tak heran karena dari 373 kali berlaga, 277 gol berhasil dia cetak. Artinya, persentase Basten mencetak gol per laga sekitar 74 persen.
Bersama Van Basten, Ajax nyaris selalu meraih gelar juara—entah itu Eredivisie, KNVB Cup, maupun UEFA Cup Winners Cup. Pun begitu saat membela AC Milan.
Kecuali pada 1991, Van Basten selalu mengangkat trofi juara—3 Serie A, 2 Super Coppa, 2 Liga Champions, 1 Piala Super Eropa, dan 2 Piala Interkontinental.
Keberhasilan Van Basten di Milan cukup luar biasa karena sejak pindah dari Ajax pada 1987, serangkaian cedera pergelangan kaki menimpanya.
ADVERTISEMENT
Bahkan di musim pertama dia hanya mampu bermain sebanyak 11 laga Serie A. Sejak musim kedua, Van Basten mengabaikan cederanya itu dan tetap berusaha bermain maksimal ketika diperlukan.
Van Basten menjadi penyerang andalan Fabio Capello ketika itu. Pada 1991/92, Milan yang diperkuat Van Basten merupakan salah satu kesebelasan terbaik dunia.
Van Basten saat itu dimanjakan oleh kompatriotnya di Timnas Belanda: Ruud Gullit dan Frank Rijkaard. Kenyamanan bermain yang dirasakan Van Basten saat itu tak bertahan lama.
Musim 1993/94 menjadi akhir dari era Gullit-Rijkaard-Basten. Gullit dan Rijkaard hengkang, sementara Basten tak bisa lagi bermain di setiap laga. Cedera pergelangan kakinya kambuh dan parahnya cedera tersebut bukan cedera ringan seperti sebelumnya.
Di luar harapan, operasi yang dijalani Van Basten gagal. Pria kelahiran 31 Oktober 1964 itu divonis harus menepi selama dua musim. Sempat menyimpan asa untuk kembali bermain, rumput hijau yang ia rindukan pada akhirnya harus dilupakan. Pada usia 30 tahun, ia menyatakan pensiun.
ADVERTISEMENT
Sempat menghilang, Van Basten kembali ke lapangan hijau 8 tahun sesudah pensiun. Kali ini sebagai pelatih. Sempat menjadi asisten pelatih di Ajax B, Timnas Belanda menunjuk eks mesin gol Belanda tersebut sebagai kepala pelatih usai kegagalan Belanda di Piala Eropa 2004.
Kontroversi langsung menyeruak karena Van Basten, sehebat apa pun saat ia bermain, tidak punya pengalaman sebagai pelatih. Namun, Van Basten mampu memberikan sinyal positif dengan mengandalkan para pemain muda seperti Ryan Babel, Dirk Kuyt, Ron Vlaar, Joris Mathijsen, dan lain-lain.
Tidak ada tempat untuk pemain-pemain senior seperti Edgar Davids, Clarence Seedorf, Roy Makaay, Mark van Bommel, Boudweijn Zenden, atau Ruud van Nistelrooy. Kritikan mereda ketika Van Basten mengantarkan Belanda ke Piala Dunia 2006 dengan tanpa kekalahan di babak kualifikasi.
ADVERTISEMENT
Semua berubah ketika Belanda kalah di babak 16 besar oleh Portugal. Keputusannya lebih memilih Kuyt ketimbang Nistelrooy dianggap jadi penyebab kegagalan Belanda.
Bahkan intrik semakin berlanjut ketika secara terang-terangan Van Basten tidak akan lagi memanggil Nistelrooy selama Belanda dilatih olehnya.
Di sisi lain, federasi sepak bola Belanda, KNVB, cukup percaya pada kemampuan Van Basten. Bahkan kegagalan Belanda di Piala Eropa 2008 pun KNVB masih berencana memperpanjang kontraknya hingga Piala Dunia 2010.
Sebaliknya, Van Basten memilih mengundurkan diri dan menerima tawaran Ajax Amsterdam, kesebelasan yang membesarkan namanya sebagai pemain.
Namun, tidak seperti sebagai pemain, karier kepelatihan Van Basten kurang bersinar. Di Ajax, Heerenveen, hingga AZ Alkmaar, tak ada satu pun kesebelasan yang berhasil di antaranya menjadi juara. Hanya saat di Heerenveen ia berhasil mencatatkan poin terbanyak dalam sejarah klub, walau hanya menempati posisi lima.
Bahkan tampaknya Van Basten menyadari kemampuan taktisnya tak sebaik kehebatannya bermain. Alih-alih membantu sepak bola Belanda yang sedang krisis prestasi, ia lebih menerima tawaran dari FIFA sebagai Direktur Teknik. Padahal saat itu ia tengah menjabat asisten pelatih Timnas Belanda yang dilatih Danny Blind.
ADVERTISEMENT
Posisinya di FIFA membuatnya bisa mengajukan inovasi-inovasi di sepak bola. Ia pernah mengusulkan penghapusan offside, yang sampai saat ini hanya sebatas wacana. Salah satu usulnya yang mampu mengubah sepak bola adalah penggunaan Video Assistant Referee alias VAR.
VAR pun akhirnya digunakan pada Piala Dunia 2018 lalu dan beberapa liga-liga top di Eropa. Van Basten mewujudkan ambisinya: mereformasi sepak bola.
Namun pada pertengahan Oktober 2018 silam, Marco van Basten memutuskan untuk berhenti dari jabatan Direktur Teknik FIFA. Tujuannya agar dirinya bisa menghabiskan waktu lebih banyak bersama keluarga.
****