Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Kisah Moacyr Barbosa, Kiper Brasil yang Dibenci Seumur Hidup karena Blunder
9 Juli 2021 13:32 WIB
·
waktu baca 5 menitDiperbarui 13 Agustus 2021 13:58 WIB

ADVERTISEMENT
Sial seumur hidup karena blunder dirasakan eks kiper Brasil, Moacyr Barbosa. Ia jadi kambing hitam kegagalan negaranya dalam meraih trofi Piala Dunia 1950.
ADVERTISEMENT
Lahir di Campinas, 27 Maret 1921, pemilik nama lengkap Moacyr Barbosa Nascimento itu menyandang status sebagai salah satu kiper terbaik dunia pada 1940 dan 1950-an. Dia bermain di klub elite Vasco da Gama serta menjadi pilihan utama Timnas Brasil.
Kegemilangan Barbosa di bawah mistar gawang ditunjukkan bersama Vasco. Pada 1945/55 dan 1958-1960, dia bermain pada 683 pertandingan. Hasilnya, klubnya menjuarai Campeonato Sul-Americano de Campeoes (1948), Torneio Rio-Sao Paulo (1958), serta Campeonato Carioca (1945, 1947, 1949, 1950, 1952, 1958).
Penampilan membanggakan di klub membawa Barbosa ke level internasional. Dia menjadi penjaga gawang utama saat 'Tim Samba' menjuarai Copa America 1949. Di final, Brasil menghajar Paraguay 7-0.
Karier Barbosa di timnas berlanjut saat Brasil menjadi tuan rumah Piala Dunia 1950. Berbeda dengan turnamen modern yang menggunakan sistem gugur setelah fase grup berakhir, saat itu format round-robin tournament digunakan di fase akhir.
ADVERTISEMENT
Empat tim yang lolos dari penyisihan dan tampil di putaran final adalah Brasil, Spanyol, Swedia, dan Uruguay. Lantas, semuanya terlihat mulus bagi Barbosa ketika Brasil menghajar Swedia 7-1 di pertandingan pertama dan Spanyol 6-1 di pertarungan kedua.
Di tempat lain, Uruguay bermain imbang 2-2 dengan Spanyol dan menang 3-2 melawan Swedia. Dalam kondisi seperti itu, Brasil memuncaki klasemen dengan 4 poin (saat itu kemenangan masih bernilai 2 poin dan imbang 1 poin).
Di posisi kedua, ada Uruguay dengan koleksi 3 poin. Di pertandingan penentuan, Selecao bertemu La Celeste di Estadio Maracana, Rio de Janeiro. Cukup meraih hasil imbang, maka Brasil akan juara.
Di hari pertandingan, 200.000 orang berdesakan di pintu stadion menunggu giliran masuk. Di hari itu dan sejak beberapa hari sebelumnya, media-media berpengaruh di Negeri Samba berlomba-lomba menulis berita dengan judul yang menyatakan Brasil pasti juara.
ADVERTISEMENT
"Besok kita akan mengalahkan Uruguay" tulis Gazeta Esportiva di halaman depannya. Ada pula O Mundo, yang memajang semua pemain timnas besar-besar dengan sebuah tulisan: "Inilah Juara Dunia".
Wali kota Rio de Janeiro saat itu, Angelo Mendes de Morais, juga berbicara di televisi nasional dengan sangat sombong memprediksi jalannya pertandingan melawan Uruguay. Dia menyatakan tidak pernah ada tim di dunia ini yang bisa mengalahkan Brasil.
"Kalian, para pemain, yang dalam waktu kurang dari beberapa jam akan dipuji sebagai juara oleh jutaan rekan senegaranya! Kamu, yang tidak memiliki saingan di seluruh belahan bumi! Anda, yang akan mengalahkan pesaing lainnya! Kamu, yang sudah saya hormati sebagai pemenang!" ucap Morais.
Ternyata, sepak bola memang bukan matematika. Setelah bermain imbang 0-0 di babak pertama, Albino Friaca membuat Brasil unggul 1-0 di menit 47. Euforia melanda seisi stadion hingga Juan Alberto Schiaffino menyamakan skor 1-1 pada menit ke-67.
ADVERTISEMENT
Dengan skor 1-1, para pendukung Brasil di Maracana, yang jumlahnya 199.854 orang, masih tetap optimistis. Mereka terus bernyanyi, menari, melompat-lompat, dan bergembira karena sangat percaya Piala Dunia 1950 akan menjadi milik mereka.
Tiba-tiba semuanya hening. Pada menit ke-79, Alcides Ghiggia berlari di sisi kanan Uruguay masuk ke sisi kiri area penalti Brasil. Tanpa pikir panjang, Legenda Penarol dan AS Roma tersebut melepaskan tendangan kaki kanan keras menyusur tanah dari jarak sekitar 5 meter.
Bola sepakan Ghiggia sangat keras. Bola itu tepat menuju Barbosa. Dengan sigap, dia berhasil menangkap tendangan Ghiggia. Masalahnya, dengan kecepatan yang tinggi, bola itu terlepas dari pelukan Barbosa, dan gol!
Skor 2-1 untuk kemenangan Uruguay pun bertahan hingga wasit asal Inggris, George Reader, meniupkan peluit panjangnya.
ADVERTISEMENT
"Di mana-mana ada bencana nasional yang tidak bisa diperbaiki. Ini seperti Hiroshima. Ini bencana kami. Ini Hiroshima kami. ini adalah kekalahan dari Uruguay pada Piala Dunia 1950," tulis penulis terkenal Brasil, Nelson Rodrigues, dikutip dari The Verse.
Kekalahan itu benar-benar tidak bisa diterima. Lalu, orang-orang mulai mencari kambing hitam. Mereka menyalahkan Barbosa karena tidak bisa menangkap bola dengan benar.
Hukuman kepada Barbosa bahkan berlangsung seumur hidup hingga meninggal akibat serangan jantung pada 7 April 2000.
"Hukuman maksimal di Brasil adalah 30 tahun penjara. Tapi, saya telah membayar untuk sesuatu yang bahkan saya tidak bertanggung jawab. Sekarang, (saya sudah dihukum selama) 50 tahun," kata Barbosa jelang kematiannya.
Hukuman sosial itu sangat kejam dan tidak manusiawi. Contohnya pada 1994, dia dilarang bertemu para pemain timnas oleh asisten pelatih, Mario Zagallo, yang khawatir Barbosa akan membawa kesialan.
ADVERTISEMENT
Setahun sebelumnya, Presiden Asosiasi Sepakbola Brasil (CBF), Ricardo Teixeira, melarang Barbosa menjadi komentator siaran langsung Selecao karena takut dikutuk dan kalah.
Barbosa mengatakan pernah mendapatkan pengalaman pahit saat berkunjung ke sebuah pasar. Momen itu terjadi 20 tahun setelah Piala Dunia.
Dia terkejut ketika menyaksikan seorang ibu menunjuk padanya dan memberi tahu anaknya siapa dirinya yang sebenarnya. "Lihat dia, anakku. Dia adalah orang yang membuat seluruh Brasil menangis," ucap Barbosa menirukan sang wanita.
Tidak hanya itu, hukuman sosial kepada Barbosa juga muncul di dunia fiksi. Sebuah novel karya Ian McDonald berjudul "Brasyl", diluncurkan untuk mengolok-olok sang pemain. Ada lagi buku berjudul "Penyelamatan Terakhir Moacyr Barbosa" karya Darwin Pastorin.
Ada juga film pendek berjudul "Barbosa". Karya satir itu ditayangkan perdana pada 1988. Kisahnya tentang seorang pria berusia 49 tahun (diperankan oleh Antonio Fagundes) melakukan perjalanan ke masa lalu, ke final Piala Dunia 1950. Misinya, mencegah Ghiggia mencetak gol kemenangan Uruguay.
ADVERTISEMENT
"Dia menangis di pundak saya. Sampai akhirnya dia selalu berkata: 'Saya tidak bersalah. Kami ada 11 orang di lapangan'. Dia benar. Sepak bola itu olahraga tim. Tidak adil menyalahkan 1 orang jika ada 11 orang di lapangan dan 1 pelatih di bench," ungkap seorang teman Barbosa.
Bukan hanya Barbosa yang menderita. Brasil dan sejarah panjang hubungan antar ras juga demikian. Pasalnya, tidak pernah lagi ada kiper berkulit hitam di bawah mistar Selecao sejak 1950 hingga Dida muncul pada 1999, dan kemudian menjadi bintang AC Milan.
***