Frederic Kanoute

Kisah Pesepak Bola Muslim: Frederic Kanoute dan Keteguhannya Tolak Situs Judi

27 April 2020 16:02 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Setelah pensiun, Frederic Kanoute aktif menggelar kegiatan amal lewat lembaga yang dia bangun sendiri, Kanoute Foundation. Foto: dok. Kanoute Foundation
zoom-in-whitePerbesar
Setelah pensiun, Frederic Kanoute aktif menggelar kegiatan amal lewat lembaga yang dia bangun sendiri, Kanoute Foundation. Foto: dok. Kanoute Foundation
ADVERTISEMENT
Pada suatu waktu, Frederic Kanoute pernah berada dalam situasi di mana identitasnya bertentangan dengan profesionalisme, tetapi dia bisa memberi jawaban yang cepat dan tegas.
ADVERTISEMENT
Tahunnya adalah 2006 ketika Kanoute memasuki musim kedua bersama Sevilla. Waktu itu, Sevilla baru saja mengganti sponsor utama untuk tertempel di jersi. Dari Stevenson ke 888.com. 888.com adalah perusahaan judi dan ini masalahnya.
Kanoute sendiri adalah seorang Muslim. Identitas inilah yang membantunya memberi jawaban cepat dan tegas: Dalam Islam, seperti tertulis di QS. Al-Maidah ayat 90, sangat jelas judi dilarang. Maka sikap Kanoute adalah menolak mengenakan jersi tadi.
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan” (QS. Al Maidah: 90).
Penolakan itu sempat bikin heboh Spanyol. Apalagi Kanoute sebetulnya datang ke Sevilla dengan kondisi yang butuh 'diselamatkan'. Bukan apa-apa, dia baru saja ditendang dari Tottenham Hotspur karena kalah saing dengan Jermain Defoe.
ADVERTISEMENT
Perlu dicatat bahwa itu kali kedua dia terlempar lantaran keberadaan Defoe. Saat masih di West Ham United, tepatnya pada musim terakhir, sinarnya juga redup karena kehadiran striker mungil yang kala itu berstatus wonderkid Inggris tersebut.
Penyerang legendaris Sevilla, Frederic Kanoute. Foto: Jorge Guerrero / AFP
Padahal, Kanoute sempat dianggap sebagai bagian dari West Ham yang tengah menyongsong era baru. Bersama dengan Joe Cole, Frank Lampard, hingga Paolo Di Canio, mereka menjadikan West Ham sebagai tim yang menakutkan di Inggris.
These Football Times mengisahkan bahwa pada masa itu Kanoute ditempatkan sebagai tandem Di Canio dalam pakem 4-4-2. Bersama Italiano inilah dia tampil produktif. Dua musim beruntun Kanoute menjadi pencetak gol terbanyak West Ham dengan 11 gol.
Torehan tersebut terasa spesial sebab dia masih tergolong muda. Yang menonjol darinya kala itu lebih kepada perkara membuka ruang dan menguasai bola. Dengan tubuh jangkung dan kurus, dia seakan bisa bergerak tanpa meninggalkan jejak di rumput.
ADVERTISEMENT
Segala hal sayangnya berubah pada musim 2002-03. Sinarnya tergerus kedatangan bintang baru bernama Defoe. Tambah runyam sebab Kanoute juga mengalami cedera paha yang cukup parah. Dia pun terlupakan sebelum diselamatkan Sevilla.
Dari situ, penolakannya tadi ibarat tindakan yang tak tahu malu. Namun, bukan berarti Kanoute tak bersikap dewasa atau semacamnya. Justru hal tersebut jadi bukti betapa prinsip dan identitasnya sudah terpatri dengan kuat.
Untuk Kanoute, identitasnya sebagai muslim adalah harga mati. Dia tak boleh menutupinya dan justru mesti menunjukkannya secara jelas dan lantang. Alhasil, jersi bertuliskan 888.com dia tutupi dengan lakban.
Itu Kanoute lakukan pada beberapa pertandingan hingga akhirnya, jalan tengah berhasil diperoleh. Kanoute bersedia mengenakannya karena pihak sponsor keberatan. Syaratnya: Dia boleh menolak segala materi promosi terkait perusahaan itu.
ADVERTISEMENT
“Aku tak pernah menyesal telah menjadi seorang Muslim,” kata Kanoute dalam sebuah feature wawancara berjudul 'Fredi Kanoute: Muslims should not have to prove they are not terrorists before talking' di The Guardian.
Sebetulnya, Kanoute tak terlahir sebagai seorang Muslim. Dia baru memeluk Islam saat usianya menginjak 22 tahun, atau sekitar 1998-99. Waktu itu, Kanoute masih bermain untuk Olympique Lyonnais, tempatnya menimba ilmu sepak bola.
Terutama ketika memasuki 2001, sentimen terhadap Muslim sedang meninggi. Tragedi World Trade Center di Amerika Serikat jadi pangkalnya. Di negara-negara di mana Islam jadi minoritas, anggapan miring dan cap teroris begitu kentara.
Kanoute hidup di tengah-tengah segala sentimen tersebut. Pada 1997-00 dia bermain untuk Lyon di Prancis, 2000-05 di Inggris bersama West Ham dan Tottenham, sebelum akhirnya pindah ke Spanyol guna bermain untuk Sevilla.
ADVERTISEMENT
Walau begitu, tak sekalipun Kanoute menutupi identitas Islam-nya. Penolakannya terhadap sponsor judi tadi adalah salah satu contoh paling nyata. Aksi lain bisa dilihat dari tindak-tanduknya selama beraksi di rumput lapangan.
Tiap kali mencetak gol, selebrasinya tak lepas dari dua hal ini: Kalau tidak bersujud, berarti Kanoute bakal menengadahkan dua telapak tangan tanda berdoa. Di Sevilla, pemandangan ini rutin terlihat sebab di sinilah dia mencapai performa terbaik.
Total 89 gol yang digelontorkan Kanoute untuk Sevilla selama tujuh musim mengabdi. Dia juga berjasa membawa Sevilla merengkuh sejumlah gelar, termasuk saat menjuarai Europa League dua musim beruntun pada 2005-06 dan 2006-07.
Di momen-momen seperti ini, fragmen-fragmen bahwa Kanoute yang seorang Muslim kian terlihat.
ADVERTISEMENT
Ada satu aksi lain yang jadi bukti betapa Kanoute tak ragu menunjukkan identitasnya di lapangan. Ceritanya, Kanoute baru saja mencetak gol untuk Sevilla kala menghadapi Deportivo La Coruna pada Copa del Rey 2009.
Kanoute tak menengadahkan tangan atau pun bersujud. Dia berlari ke salah satu sudut lapangan, mengangkat bagian depan jersinya, lalu terlihatlah kaus hitam bertuliskan 'Palestina' sebagai bentuk protes akibat invasi militer Israel di Jalur Gaza.
Ada harga yang mesti dibayar Kanoute atas aksinya itu, tetapi dia tak pernah menyesal. Kartu kuning yang lantas didapat dia terima dengan dada lapang. Denda sebesar 3.000 euro atau setara 45 juta rupiah juga langsung dia bayarkan.
Menurut Kanoute, itulah resikonya. Lagi pula sepak bola melarang simbol-simbol politik masuk stadion. Namun, momen seperti ini yang bisa jadi kesempatan untuk menyuarakan ketidakadilan atau sebatas mengimbau orang-orang untuk melakukan kebajikan.
ADVERTISEMENT
Semua itu secara tersirat dijelaskan dalam wawancaranya dengan The Guardian. Kanoute bilang bahwa statusnya sebagai pesepak bola, lebih-lebih pesepak bola elite di liga yang juga elite, bisa memengaruhi publik sebagaimana seorang pengiklan.
Hal demikian menurut Kanoute mesti dimanfaatkan dengan baik. "Selama niatmu benar-benar murni, aku pikir adalah hal yang bagus untuk melakukannya dan mengundang terciptanya aksi-aksi serupa," tegas Kanoute.
Itu di dalam lapangan. Di luar lapangan, Kanoute juga dikenal sebagai pesepak bola Muslim yang taat. Tak usah bicara soal kewajiban salat lima waktu atau puasa di bulan Ramadhan, Kanoute bahkan banyak terlibat terhadap aksi-aksi sosial.
Salah satu yang paling dikenal adalah keterlibatannya terhadap eksistensi satu-satunya masjid di Sevilla.
Kisahnya, masjid itu terancam ditutup karena kontrak sewa yang segera berakhir. Di sisi lain, orang Muslim di Sevilla juga tak begitu banyak. Ini situasi yang paradoks mengingat kota ini sebetulnya begitu lekat dengan Islam.
ADVERTISEMENT
Bangunan-bangunan peninggalan sejarah Islam yang sempat menguasai Andalusia selama ratusan tahun bahkan masih banyak terlihat. Kanoute lantas tergerak dan mendonasikan 500 ribu euro (sekitar Rp7 miliar) untuk menyelamatkan masjid tadi.
Aksi itu Kanoute lakukan pada 2007. Pada tahun ini pula Kanoute mendirikan yayasan bernama Sakina Children's Village sebagai bagian program Kanoute Foundation untuk membantu anak-anak kurang beruntung di Mali, negara asal kedua orang tuanya.
Frederic Kanoute kini aktif mengelola Sakina Children's Village di Mali. Foto: dok. Kanoute Foundation
Meski orang tuanya dari Mali, Kanoute sebetulnya lahir dan besar di Prancis. Dia bahkan pernah membela Timnas Prancis kelompok umur. Tapi, ujung-ujungnya tetap soal identitas, dan Kanoute sama sekali bukan orang Prancis.
Maka pada 2000-an awal, dia memutuskan untuk membela Timnas Mali dan menjalani debutnya di Piala Afrika 2004.
ADVERTISEMENT
David Pleat, caretaker Tottenham yang waktu itu melatih Kanoute, sebal dengan keputusan sang pemain karena Piala Afrika digelar pada pertengahan musim. Dia lantas bilang bahwa Tottenham merekrutnya sebagai pemain Prancis, bukan Mali.
"Aku tidak tahu di mana Mali; Aku sepertinya harus bertanya kepada seseorang. Begini, kami mengontraknya sebagai pemain internasional Prancis. Kami tidak mengontraknya sebagai pemain Mali. Inilah masalahnya," kata Pleat.
Tapi, Kanoute sudah bertekat. Dia yakin sebab keputusan itu juga terkait dengan gambarannya soal Mali saat berkunjung ke sana. Kunjungan itu pula yang memengaruhi caranya memandang dunia, dan bahwa dia mesti lebih banyak membantu sesama.
"Kunjungan itu punya kontribusi untuk membuka mataku dalam melihat realitas yang lain. Ada perbedaan besar, orang-orang di sana hampir tidak memiliki apa-apa, tetapi kadang justru lebih bahagia ketimbang yang di sini."
ADVERTISEMENT
"Oleh karena itu, aku berpikir bahwa kekayaan dan kebahagiaan tak selalu sejalan. Tapi pada saat yang sama, ada ambang batas yang tidak boleh kita lewati dan sayangnya hal seperti itulah yang aku lihat di Mali."
"Ini perjalanan panjang tetapi berujung sederhana, lebih tentang apa yang aku rasakan, terutama ketika mulai mempraktikkan nilai-nilai agama secara sadar, bahwa iman harus diwujudkan dengan tindakan, tidak cuma di hati dan pikiran," tutur Kanoute.
Kanoute kini tak lagi bermain sepak bola. Dia pensiun pada 2013 lalu di Beijing Guouan. Walau demikian, dia masih aktif membantu sesama dan karena itu Kanoute akan selalu dikenang tak hanya sebagai pesepak bola yang hebat, tetapi juga Muslim yang baik.
ADVERTISEMENT
***
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona.
***
Yuk! bantu donasi atasi dampak corona
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten