Kisah Roberto Rojas, Kiper Cile yang Diskors Seumur Hidup Usai Pura-pura Cedera

3 Agustus 2021 17:08 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Eks kiper Chile, Roberto Rojas. Foto: MAURICIO LIMA / AFP
zoom-in-whitePerbesar
Eks kiper Chile, Roberto Rojas. Foto: MAURICIO LIMA / AFP
ADVERTISEMENT
Roberto Rojas harus menanggung hukuman sangat berat usai pura-pura cedera saat membela Timnas Cile pada Kualifikasi Piala Dunia 1990. Ia tak dapat bermain lagi selama seumur hidup karena ulahnya tersebut.
ADVERTISEMENT
Roberto Antonio Rojas Saavedra lahir di Santiago, 8 Agustus 1957. Dia memulai karier profesional pada 1976 dengan CD Aviacion. Di klub itu juga sang penjaga gawang berpostur 180 cm tersebut menimba ilmu di akademi.
Setelahnya, Rojas bermain untuk klub elite Cile, Colo-Colo, pada 1983-1987. Di sana, dia memenangi Liga Cile 1983 dan 1986. Setelah penampilan yang sukses di Copa America 1987, Rojas pindah ke Sao Paulo.
Setelah pensiun, Rojas kembali ke klub itu untuk untuk mendidik salah satu kiper hebat Brasil, Rogerio Ceni. Namun sebelum melatih Ceni dan membentuknya sebagai kiper top, Rojas punya masa lalu kelam sebagai pemain.
Rojas dipaksa FIFA pensiun dini setelah mendapatkan hukuman larangan bermain seumur hidup. Itu karena aksi bodohnya pada duel bertajuk El Maracanazo.
Eks kiper Chile, Roberto Rojas. Foto: MAURICIO LIMA / AFP
Maracanazo de la seleccion Chilena juga dikenal sebagai Condorazo atau Bengalazo. Itu adalah insiden memalukan yang terjadi selama pertandingan antara Brasil dengan Cile di Estadio Maracana, Rio de Janeiro, 3 September 1989.
ADVERTISEMENT
Itu adalah duel Kualifikasi Piala Dunia 1990 Zona CONMEBOL. Insiden dalam pertandingan tersebut dianggap oleh para sejarawan dan pakar sepak bola Amerika Latin maupun Eropa sebagai salah satu peristiwa paling memalukan dalam sejarah pertandingan internasional di bawah naungan FIFA.
Sebelum laga digelar, Brasil dan Cile tergabung di Grup 3 bersama Venezuela. Saat itu, CONMEBOL mendapatkan jatah 4+1. Argentina sebagai juara Piala Dunia 1986 lolos otomatis. Lalu, 3 tempat kosong diberikan kepada juara Grup 1, 2, dan 3. Sementara runner-up terbaik akan play-off melawan wakil Oceania.
Ketika itu, Cile mengalahkan Venezuela 3-1 di Caracas dan 5-0 di Mendoza. Lalu, pada pertandingan pertama melawan Brasil di Santiago, skornya imbang 1-1. Artinya, laga kedua di Rio de Janeiro akan menjadi penentuan langkah Brasil dan Cile. Jika Brasil yang menang, Cile gagal. Begitu pula sebaliknya.
ADVERTISEMENT
Seperti laga-laga sebelumnya, duel hari itu juga biasa-biasa saja, meski keras. Kedua tim saling serang untuk mencoba mendapatkan gol kemenangan. Tapi, hingga istirahat babak pertama, kedudukan masih sama kuat 0-0. Lalu, pada menit 46, Careca membuat Brasil memimpin 1-0.
Skor sementara membuat para pendukung Brasil bersemangat. Mereka merayakannya dengan menyalakan kembali api, bom asap, hingga flare. Tiba-tiba, pada menit 67, Rojas jatuh ke tanah dengan sebuah flare yang menyala sekitar 1 meter didekatnya.
Melihat kejadian itu, para pemain dan ofisial Cile, yang dipimpin sang kapten, Fernando Astengo, memutuskan meninggalkan lapangan dengan menggotong Rojas yang berlumuran darah. Itu sebagai bentuk protes atas pelemparan flare yang dilakukan pendukung tim Samba.
Wasit asal Argentina, Juan Carlos Loustau, mencoba membujuk Cile untuk melanjutkan pertandingan. Namun, usaha itu tidak berhasil. Bahkan, saat Rojas dirawat, rekannya sesama pemain Cile, Patricio Yanez, membuat isyarat cabul ke arah fans Brasil. Gerakan ini kemudian dikenal di Cile sebagai "Pato Yanez".
ADVERTISEMENT
Awalnya, semua orang percaya Rojas terluka karena flare yang dijatuhkan tepat mengenai dirinya. Namun, keesokan harinya, gambar televisi dan beberapa foto surat kabar mengungkapkan fakta sebaliknya. Flare tidak mengenai Rojas, melainkan mendarat lebih dari 1 meter.
Dengan bukti tersebut, CONMEBOL mulai ragu pada asal usul cedera Rojas. Apalagi, laporan tim medis menunjukkan luka di kepala Rojas bukan berasal dari percikan api atau bekas terbakar. Tidak terdapat pula adanya sisa bubuk mesiu. Yang ditemukan justru luka sayatan.
Pada saat bersamaan Polisi Brasil berhasil menangkap pelaku pelemparan flare. Dia seorang pemuda berusia 24 tahun dari Rio de Janeiro bernama Rosenery Mello do Nascimento, yang kemudian dikenal sebagai Fogueteira do Maracana (Petasan Maracana).
ADVERTISEMENT
Dari keterangan pelaku dan penyelidikan di lapangan, CONMEBOL kemudian memanggil Rojas untuk bersaksi. Hasil interogasi memunculkan pengakuan mengejutkan dari sang kiper.
Rojas menyatakan luka yang didapat bukan karena lemparan flare, melainkan sayatan silet. Ternyata dia melukai dirinya sendiri mengunakan silet yang sengaja disimpan dan disembunyikan di sela-sela sarung tangan. Pengakuan Rojas menggemparkan Amerika Selatan dan dunia.
"Saya mengambil 14 atau 15 foto flare yang jatuh dan kejadian setelahnya. Itu karena flare mendarat di lapangan dan mengeluarkan asap. Rojas jatuh di tengah-tengah asap dan setelah itu, foto berikutnya yang saya miliki tentang Rojas, berlumuran darah," ujar fotografer El Grafico asal Argentina yang mengabadikan insiden itu, Ricardo Alfieri, dikutip Goal.
"Saya mendapat kesan bahwa itu tidak kena. Tapi, ada kontradiksi. Itu tidak kena, tapi dia berdarah. Itu tidak masuk akal. Saat itu, 1989, anda tidak bisa membayangkan atlet profesional memainkan pertandingan dengan pisau tersembunyi di sarung tangannya," tambah Alfieri.
ADVERTISEMENT
Sepuluh hari setelah pertandingan, FIFA memutuskan Rojas harus dilarang selamanya dari pertandingan sepak bola profesional. Cile juga dicoret dari kualifikasi dan dinyatakan kalah WO 0-3. La Roja mendapatkan hukuman tambahan dilarang ambil bagian di Kualifikasi Piala Dunia 1994.
Skorsing juga dijatuhkan FIFA kepada Sergio Stoppel (presiden Asosiasi Sepakbola Chile), Orlando Aravena (pelatih), Fernando Astengo (pemain), dan Daniel Rodriguez (dokter tim).
Ilustrasi FIFA. Foto: Arnd Wiegmann/REUTERS
FIFA menganggap mereka berperan secara tidak langsung dan aktif dalam kebohongan yang dijalankan Rojas. Tapi, bukannya menerima keputusan tersebut, media dan fans Cile marah.
Warga Cile menyerbu Kedutaan Besar Brasil di Santiago untuk berdemonstrasi. Bahkan, media olahraga ternama Cile ketika itu, Minuto 90, menulis konspirasi Presiden FIFA asal Brasil, Joao Havelange, untuk mengamankan hak tim Samba di Italia 1990.
ADVERTISEMENT
"Saya mengiris diri saya dengan pisau cukur dan lelucon itu diketahui," beber Rojas dalam wawancara sensasional dengan La Tercera, yang memuat cerita itu di halaman depan dengan judul "Saya Bersalah!".
Rojas mengungkapkan cara menyelundupkan siletnya ke lapangan di dalam sarung tangan dengan bantuan salah satu ofisial Cile.
"Itu memotong harga diri saya. Saya memiliki masalah di rumah dengan istri saya. Rekan satu tim juga berpaling dari saya. Saat itu rumit. Tapi, jika saya orang Argentina, Uruguay, atau Brasil, saya tidak akan dihukum," tambah Rojas.
Rogerio Ceni. Foto: MAURICIO LIMA / AFP
Uniknya, El Maracanazo ternyata tidak memengaruhi karier Rojas di Brasil. Pada tahun 1994, dia dipekerjakan oleh Sao Paulo sebagai pelatih penjaga gawang ketika Ceni masih sangat muda.
ADVERTISEMENT
Rojas melatih Ceni selama hampir satu dekade. Di tangan Rojas, Ceni menjelma menjadi ikon dan Legenda Sao Paulo.
"Saya ingat dia selalu bersikeras agar saya tidak hanya puas dengan penyelamatan bola. Saya harus banyak bekerja dengan kaki saya," kenang Ceni kepada La Tercera.
"Saya memainkan lebih dari 400 pertandingan dengannya. Dia adalah orang yang memiliki pengaruh besar dalam perkembangan saya," lanjut penjaga gawang yang mencetak 131 gol selama karier profesionalnya.
Pujian juga diberikan Alfieri, sang fotografer. "Saya merasa kasihan kepada Rojas dengan skorsing itu karena dia adalah penjaga gawang yang hebat. Karena satu foto, dia diskorsing. Tapi, yang saya lakukan hanyalah memenuhi misi jurnalistik saya dan sebagai fotografer," ucap Alfieri.
ADVERTISEMENT
"Beruntung bagi saya, sial bagi Cile. Saya dapat mengambil foto itu karena jika tidak Brasil tidak akan pergi ke Piala Dunia dan Cile yang akan melakukannya," beber Alfieri.
Namun, di sepak bola selalu ada pengampunan. Larangan seumur hidup Rojas akhirnya dicabut pada 2000 dalam amnesti yang dikeluarkan FIFA.
Lalu, Rojas melanjutkan karier sebagai pelatih kiper. Ia juga sering diundang untuk menjadi komentator di televisi Cile. Menurut catatan Transfermarkt, Rojas telah 49 kali mengawal gawang Timnas Cile.
****