news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Liku-Liku Jadi Agen Pemain di Liga Indonesia

29 Desember 2018 12:51 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suka duka agen bola. (Foto: kumparan )
zoom-in-whitePerbesar
Suka duka agen bola. (Foto: kumparan )
ADVERTISEMENT
Sepak bola Indonesia tidak pernah memberikan jalan mudah bagi para pelakonnya, termasuk para agen yang bekerja di balik layar. Kondisi liga yang cenderung situasional memberikan banyak tantangan kepada para agen.
ADVERTISEMENT
Logikanya, selama ada orang-orang yang mau menjadi pesepak bola profesional, selama ada klub yang membutuhkan pemain untuk mengarungi kompetisi, selama itu pula kesempatan bagi para agen terbuka.
Namun yang menjadi persoalan, bagaimana bila tidak ada kompetisi?
Persoalan ini bukan omong kosong, bukan pula ketakutan yang mengada-ada. Pada 2015, kompetisi resmi sepak bola Indonesia dihentikan. Kala itu, dualisme menjadi tajuk utama dari segala pemberitaan tentang ranah si kulit bulat dalam negeri.
Menpora Imam Nahrawi memutuskan untuk menghentikan kompetisi. Alhasil, FIFA tidak mengakui federasi dan Timnas Indonesia tak punya tempat di pentas internasional. Hidup segan mati tak mau menjadi pepatah paling pas untuk menggambarkan seperti apa kehidupan sepak bola lokal di periode itu.
ADVERTISEMENT
Yang kelabakan bukan cuma pelatih, pemain, dan seluruh jajaran klub--tapi juga para agen yang apa boleh bikin, memang menggantungkan hidupnya pada keberadaan kompetisi. Mau sehebat apa pun pemain yang dimiliki, apalah gunanya jika tak ada kompetisi yang menaungi?
Hanya, kabar buruk tidak selamanya menjadi alarm untuk banting setir bagi sebagian orang, termasuk Gabriel Budi yang kala itu sedang merintis jam terbang di dunia peragenan sepak bola Indonesia.
Alih-alih panik dan beralih profesi, Gabriel tetap kukuh pada pendiriannya untuk menjadi agen pemain.
Jadi, saat kompetisi resmi di Indonesia vakum selama dua tahun, Gabriel justru memutuskan untuk mengasah kemampuan dengan mengorbitkan para pemainnya ke mancanegara. Benar-benar skenario blessing in disguise paling mantap karena pemain-pemain asuhan Gabriel justru menunjukkan kualitasnya di luar negeri.
ADVERTISEMENT
Ambil contoh Ilija Spasojevic. Hijrah ke Malaysia selama dua tahun, pemain asal Montenegro ini berhasil mencatatkan 30 gol dalam 35 laga bersama Melaka United.
"Puji Tuhan pasar luar negeri semakin terbuka waktu itu. Saya mengalihkan dari 70% di Indonesia dan 30% di luar negeri, lalu berbalik 30% di Indonesia serta 70% di luar," jelas Gabriel kepada kumparanBOLA.
Tidak cuma melebarkan sayap lewat transfer pemainnya, Gabriel sekaligus menambah relasi dari agen dan klub luar negeri. Dari situlah, dia mendapatkan akses ke pemain-pemain berkualitas yang belum pernah menjajal kompetisi di Indonesia.
Yang dilakukan oleh Gabriel sebenarnya bukan perkara baru, tapi esensial. Pekerjaannya bukan menjual pemain ke klub, tapi maintenance pemain. Ia tidak mengincar kerja sama jangka pendek, tapi jangka panjang. Lewat perannya ini, Gabriel seperti membuktikan bahwa agen adalah teman bagi para pemain.
ADVERTISEMENT
“Saya sebagai agen pemain sepak bola untuk pemain jangka panjang dan harus ada untuk pemain saat suka dan duka. Saat mereka punya masalah, saya harus ada untuk mereka," ujar Gabriel.
Pola kerja agen pemain sepak bola (Foto: Putri Sarah Arifira/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pola kerja agen pemain sepak bola (Foto: Putri Sarah Arifira/kumparan)
Upaya Gabriel tak sia-sia. Ketika kompetisi resmi kembali bergulir pada 2017--bertajuk Liga 1--aturan marquee player dinilainya sebagai kesempatan emas. Nama-nama top ditawarkan kepada beberaapa klub. Hasilnya juga tak mengecewakan. Shane Smeltz mendarat di Borneo FC, Didier Zokora berlaga mengibarkan panji Semen Padang. Nilai plusnya, keduanya pernah mencicipi atmosfer Piala Dunia. Smeltz membela Selandia Baru pada Piala Dunia 2010, sedangkan Zokora adalah bagian dari skuat Timnas Pantai Gading yang berlaga di Piala Dunia 2006.
Belum lagi pemain asing tanpa label marquee player yang semakin mengharumkan nama Gabriel. Dialah sosok di balik kedatangan striker-striker tajam. Ada Sylvano Comvalius sang topskorer Liga 1 2017, Marko Simic yang merebut predikat serupa di Piala Presiden 2018, dan Aleksandar Rakic yang keluar sebagai topskorer Liga 1 2018.
ADVERTISEMENT
Situasi naik-turun pada 2015 juga dialami oleh Eddy Syahputra yang mulai menggeluti profesi sebagai agen sejak 2004. Serupa kebanyakan agen lainnya, keputusan Eddy untuk menjajal pekerjaan ini berawal dari renjananya terhadap sepak bola.
Sekitar awal tahun 2000-an, pelatih PSM Makassar, Syamsuddin Umar, dan pelatih Persipura, Ruddy Keltjes, yang menyarankannya untuk mencoba dunia peragenan. Lantas, baru pada 2004 ia mendirikan perusahaan manajemen pemain, LiginaSportIndo.
Kemelut sepak bola Indonesia pada 2015 juga menghantam perjalanan Eddy. Kontrak yang tadinya disepakati bahkan diputus di tengah jalan. SItuasi yang tak kondusif pun membuat sejumlah klub kelabakan.
“Pada 2015 itu, kontrak langsung putus tengah jalan dan sebagian klub ruwet akhirnya habis. Saya harus bantu juga, saya tanggulangi masalah itu. Federasi sudah bantu. Saya tidak mau pemain ngoceh ke FIFA. Jangan sampai melayangkan surat tuntutan,” ucap Eddy.
ADVERTISEMENT
“Itu konsekuensi karena saya mulai dari nol. Kalau harus mengulang dari nol lagi ya tidak apa-apa. Positifnya, saya merasa tidak perlu takut menghadapi kesusahan seperti ini, saya harus buktikan solusi juga bisa muncul saat kita ada di ujung tanduk,” jelas Eddy kepada kumparanBOLA.
Perjalanan agen di Indonesia pada 2015 tidak cuma tentang bertahan saat kompetisi dibekukan, tapi juga merespons perubahan regulasi yang ditetapkan oleh FIFA.
Berhitung mundur hingga 2008, FIFA meluncurkan regulasi yang mengikat agen pemain yang bernama FIFA Players Agent Regulations (FIFA PAR). Fungsinya untuk memagari dan mengontrol aktivitas agen pemain dengan sistem lisensi.
Lucunya, selama dunia peragenan berjalan dalam koridor FIFA PAR, pertumbuhan agen malah melesat. Namun, tetap saja ada yang janggal. Sekitar 70% transfer internasional diselesaikan oleh agen-agen tanpa lisensi sehingga transparansi nilai transaksi jadi angan-angan semata.
ADVERTISEMENT
Berangkat dari fenomena ini, FIFA menyadari bahwa regulasi mereka tak berjalan efektif sehingga mendorong mereka untuk menelurkan regulasi baru.
Agen Pemain Sepak Bola, Gabriel Budi Liminto. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Agen Pemain Sepak Bola, Gabriel Budi Liminto. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Lewat rangkaian proses, pada April 2015 FIFA akhirnya melahirkan regulasi baru bertajuk Regulations on Working with Intermediaries. Artinya, tamat sudah eksistensi FIFA PAR. Dalam regulasi tersebut, FIFA bahkan mengubah istilah agen menjadi perantara--sesuai dengan Article 18 (1).
Adapun, perantara (dalam tulisan ini akan tetap kita sebut sebagai agen) dijabarkan sebagai pihak yang merepresentasikan pemain dengan bayaran maupun tanpa bayaran untuk menuntaskan kontrak maupun transaksi transfer pemain.
Sederhananya, jika pemain punya tugas untuk fokus pada setiap pertandingan, maka agen punya tugas untuk membereskan urusan para pemain di luar lapangan dalam ranah legal.
ADVERTISEMENT
Imbas dari pencabutan sistem lisensi tentunya melahirkan kebebasan dalam new level kepada pemain dan klub dalam memilih agen. Berangkat dari sinilah mengapa orang-orang yang memiliki kedekatan kepada pemain atau klub dapat ‘bertindak’ sebagai agen. FIFA hanya menekankan agar agen yang dipercaya memenuhi kriteria dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip transaksi transfer atau kontrak pemain.
Situasi serupa juga terjadi di Indonesia. Sistem lisensi yang dihapus pada akhirnya menjadi peluang emas bagi siapa pun yang ingin menjadi agen. Seketika, agen pemain sepak bola bukan menjadi profesi yang kelewat tinggi untuk dicapai. Agen lantas menjadi profesi yang dapat dijangkau oleh banyak orang.
Itu kabar baiknya. Kabar buruknya, hubungan antara agen dan pemain jadi tidak eksklusif sehingga tidak ada ikatan yang tetap antara keduanya. Perbedaan signifikan itu jugalah yang dirasakan sendiri oleh Eddy. Menurutnya, saat regulasi lisensi agen diberlakukan, kontrol federasi lebih jelas dan terarah.
ADVERTISEMENT
“Yang saya rasakan dulu, situasinya lebih tertib saja karena pemain itu terkontrol. Semua jelas, agennya siapa, dan kami terus diawasi. Tentu dalam arti positif. PSSI selalu memberi perhatian kepada agen karena namanya di bawah mereka. Kami sering diajak ketemu dan ngobrol. Sekarang lepas begitu saja dan saya pikir, dulu kualitasnya memang lebih bagus,” jelas Eddy.
====
*kumparanBOLA membahas cerita-cerita perihal pekerjaan agen pemain di sepak bola Indonesia. Anda bisa menyimaknya di topik 'Suka-Duka Agen Bola'.