Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Lucas Vazquez: Dari Tribune ke Rumput Bernabeu
26 April 2018 20:16 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:09 WIB
ADVERTISEMENT
Petang itu Santiago Bernabeu riuh. Sang empunya Stadion, Real Madrid, menggulung Villarreal dengan skor 4-0. Guti Hernandez mencetak hat-trick pada laga yang dihelat 14 April 2001 itu. Performa Los Blancos amat mengesankan.
ADVERTISEMENT
Seorang bocah yang duduk di salah satu tribune begitu kagum melihat penampilan Raul Gonzalez dan kawan-kawan petang itu. Itu adalah kali pertama dia menginjakkan kaki di Bernabeu dan menonton langsung Madrid berlaga.
Sang bocah memang asli Coruna, bukan Madrid. Tapi buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Karena sang ayah, kakek, serta ibunya adalah pendukung Madrid, dia tak mengubah tradisi. Dia kekeh menjadi Madridistas.
Sang bocah, sama seperti bocah-bocah lain pada umumnya, menghabiskan masa kecil bermain sepak bola. Dia kerap bermain di area restoran milik sang paman, bersama kakak dan para sepupu. Bocah itu memimpikan bisa menjadi pemain Madrid suatu saat nanti.
"Raul adalah bintang Madrid pada masa itu dan dia adalah idola. Saya sering menonton pertandingan di Bernabeu dan berkata: 'Saya harap saya bisa berada di sana [lapangan] suatu saat nanti'," ujar sang bocah seperti dilansir ManagingMadrid.
ADVERTISEMENT
Dia juga menimba ilmu di klub lokal tanah kelahirannya, C.C.D Curtis. Tampil bersinar sebagai striker di klub itu, banyak klub lokal lain yang ingin mengajaknya bergabug. Dia kemudian pindah ke Ural Club de Futbal dan di sana mampu mencetak 50 gol hanya dalam tempo satu tahun.
Enam tahun setelah petang di Bernabeu itu, kabar gembira datang. Sang ayah memberi tahu bahwa bocah itu mendapat undangan trial dari Akademi Real Madrid, Juvenil C. Sang bocah sempat tak percaya dengan perkataan sang ayah, tapi pemain berusia 16 tahun itu akhirnya memutuskan angkat kaki ke Madrid.
Orang tua, tanah kelahiran, dan teman-temannya di Coruna dia tinggalkan demi mengais mimpi di Madrid. Mimpi itu semakin jadi nyata ketika dia mendapat hal-hal baik di Madrid. Dia beruntung di Juvenil C mendapat rekan-rekan yang tak kalah berbakat, seperti Alvaro Morata, Nacho, Pablo Sarabia, hingga Dani Carvajal.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2010, setelah ia dan rekan-rekannya naik kelas ke Juvenil A, mereka berhasil menjadi kampiun gelar terbesar dalam kategori Juvenil, Copa de Campeones dari División de Honor. Dari situ, talenta-talenta muda Juvenil mulai tercium kemasyhurannya.
Namanya mulai terdengar, dan dari situ orang-orang mulai mengetahui ada satu bocah berbakat bernama Lucas Vazquez di skuat Juvenil A. Dan dari situ, jalan menuju mimpinya mulai tertiti dengan rapi. Jalan menuju karier yang lebih mengilap.
Namun, ketika naik kelas ke Real Madrid C, Vazquez mendapat perubahan dalam kariernya. Dia dipindahkan, tak lagi jadi striker, tetapi menjadi gelandang sayap kanan. Adalah Manolo Diaz, sang pelatih kala itu, yang meyakinkan bahwa Vazquez bisa menjadi pemain hebat di posisi tersebut.
ADVERTISEMENT
Kala itu Vazquez hanya diberi instruksi sederhana: kalau dia selalu mengikuti perintah Diaz, dia akan bisa menembus skuat utama Madrid. Tentunya juga bila ditambah dengan kerja keras. Namun, semua tak berjalan mudah untuk pemuda kelahiran 1 Juli 1991 itu.
Di tim itu dia mulai kesulitan mengembangkan permainan dan mulai tidak terlalu mendapat kepercayaan besar dari tim pelatih. Akan tetapi, dia tak menyerah. Dia menambah porsi latihan secara pribadi, untuk meningkatkan fisik dan mentalnya.
Ketika situasi terus biasa-biasa saja baginya, tawaran dari Espanyol datang. Bukan untuk pembelian permanen, tapi hanya peminjaman. Lucas yang mendapat tawaran secara personal, dengan mudah mengiyakan Espanyol. Terlebih dia digaransi tempat utama di skuat.
ADVERTISEMENT
Di Espanyol, kariernya menanjak. Dia menjadi salah satu sosok penting di musim 2014/15, dengan mencatatkan 4 gol dan 7 assist. Orang-orang mengenalnya. Di jalan-jalan, banyak yang mulai meminta tanda tangannya. Titik cerah mulai terlihat.
Namun, Madrid belum memanggil kembali. Espanyol justru yang ingin membelinya secara permanen. Vazquez gusar dan di saat itu dia memutuskan berlibur dengan sang kekasih. Dan di situlah, dia mengalami deja vu. Tawaran kedua untuk Madrid datang kepadanya.
Sang agen menelepon dan memberi tahu bahwa Madrid ingin memberinya kontrak sebagai pemain profesional. Vazquez tak berpikir panjang. Dia mengiyakan dan kemudian menelepon sang ayah untuk memberi tahu kabar baik itu. Namun, sang ayah tak percaya, sebagaimana ketidakpercayaan Vazquez saat sang ayah memberi tahu ada undangan trial datang dari Juvenil C.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, ketika dia benar-benar resmi dipinang Madrid, sang ayah bangga bukan kepalang. Vazquez kemudian mulai meniti karier di tim utama Madrid. Mimpinya memang terwujud, tapi jelas tak akan ada hal mudah untuk seorang pemuda di tim utama Madrid yang bergelimang bintang itu.
Ketika Real Madrid menunjuk Zinedine Zidane sebagai pelatih, posisi Vazquez terjepit. Pemain bernomor punggung 17 itu bukanlah pemain yang akan dijadikan andalan oleh Zidane. Pria Prancis itu hanya memberi tahu Vazquez bahwa suatu saat, jika dia bersabar dan bekerja keras, kesempatan besar akan datang.
Kesabaran, kata orang bijak, akan selalu berbuah manis. Vazquez tahu itu benar. Ketika bintang-bintang Madrid terkena badai cedera, Zidane tak punya pilihan lain selain kepada pemuda itu. Vazquez kemudian diberi banyak kesempatan, dan dia mampu berkembang pesat.
ADVERTISEMENT
Dia menjadi salah satu sosok yang diandalkan Zidane. Di akhir musim 2015/16, Vazquez mendapat kesempatan tampil sebanyak 33 kali di seluruh kompetisi. Empat gol berhasil dilesakkannya. Zidane mulai percaya, dan di akhir musim itu dia juga mendapat kepercayaan lain dari Vicente del Bosque untuk masuk ke tim utama Tim Nasional (Timnas) Spanyol.
Vazquez mendapat kesempatan terbang ke Piala Eropa 2016, meski tak dimainkan oleh Del Bosque. Namun, dari situ Vazquez mulai diperhitungkan. Oleh semua orang, termasuk Zidane. Sebab, di musim 2016/17, dia sukses mencatatkan 50 penampilan di seluruh kompetisi pada akhir musim.
Dua musim itu menjadi musim yang begitu menyenangkan untuk Vazquez. Dia memang tak mendapat kepercayaan untuk menjadi pemain inti, tapi berstatus sebagai pemain cadangan pun, Vazquez mampu menunjukkan pendarnya. Pun dia semakin dipercaya oleh Zidane.
ADVERTISEMENT
Di musim ini, statusnya belum naik menjadi pemain inti. Namun, ketika Zidane mengubah formasi andalan 4-3-3 Madrid ke 4-4-2, pemain yang kini berusia 26 tahun itu pasti jadi pemain utama. Dia menjadi pilihan Zidane di sayap kanan, sementara Marco Asensio di sayap kiri.
Dan kepercayaan itu berbuah manis. Vazquez berhasil mencetak 12 assist di seluruh kompetisi musim ini dan hal itu mengantarkannya menjadi pemain asal La Liga dengan torehan assist terbanyak kedua setelah Lionel Messi. Pencapaian gemilang bagi seorang pemain yang bukanlah pemain inti.
Dan salah satu puncak penampilan Vazquez boleh dibilang terjadi pada laga semifinal leg pertama Liga Champions yang berlangsung Kamis (26/4/2018) dini hari tadi. Pada laga itu dia berhasil mencatatkan satu assist untuk kemenangan 2-1 Madrid atas Bayern Muenchen.
ADVERTISEMENT
Pada laga itu, Vazquez memang bermain gemilang. Dia melepas 2 umpan kunci yang kemudian satu menjadi assist, melepaskan 7 tekel yang membuat sisi kanan Madrid menjadi sisi yang solid, dan melakukan satu dribel sukses.
Malam itu, WhoScored memilih Vazquez sebagai man of the match alias pemain terbaik. Nilai 7,7 diberikan untuknya. Dan bukan tak mungkin, pencapaian itu akan membawanya menjadi pemain inti di sisa musim ini dan seterusnya.
Kini, bocah yang menonton Madrid 17 tahun lalu itu sudah tampil di atas rumput Bernabeu, sesuai mimpinya. Dan dia menjadi idola yang membuat bocah-bocah di Bernabeu juga memiliki mimpi yang sama.