Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.1
ADVERTISEMENT
![Suporter Ajax (Ilustrasi) (Foto: Reuters/Michael Kooren)](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1495521039/eofwvnhzhlstfukq91hw.jpg)
Namanya Sonny Silooy dan dia adalah pemain Ajax terakhir yang menendang bola di final kompetisi antarklub Eropa. Ketika itu, tepat 21 tahun yang lalu di Stadio Olimpico Roma, eksekusi penalti Silooy bisa digagalkan oleh Angelo Peruzzi dan dengan demikian, musnah sudah harapan Ajax untuk membawa "Si Kuping Besar" ke Amsterdam untuk kali kelima.
ADVERTISEMENT
Pemain berambut perak, Fabrizio Ravanelli, membawa Juventus unggul terlebih dahulu lewat sebuah tendangan dari sudut sempit. Meski bola bergulir pelan, ia tetap gagal dihalau oleh Silooy yang berusaha menyapunya.
28 menit setelah gawang Edwin van der Sar bobol, gelandang serang asal Finlandia, Jari Litmanen, berhasil menyamakan kedudukan. Memanfaatkan bola muntah hasil tendangan bebas Frank de Boer, Litmanen berhasil menaklukkan Peruzzi dari jarak dekat.
Setelah selama 120 menit tidak ada lagi gol yang tercipta, juara Liga Champions 1995/96 pun harus diserahkan pada nasib. Sonny Silooy bukan satu-satunya penendang Ajax yang gagal. Sebelumnya, pemain yang kelak bakal berkostum Juventus, Edgar Davids, juga gagal menaklukkan Peruzzi. Sementara itu, Ciro Ferrara, Gianluca Pesotto, Michele Padovano, dan Vladimir Jugovic semuanya sukses menunaikan tugas. Malam itu, Juventus pun membawa pulang trofi Liga Champions untuk kali kedua.
ADVERTISEMENT
Pada pertengahan dekade 1990-an itu, baik Juventus maupun Ajax memang sedang gahar-gaharnya. Ajax ketika itu adalah juara bertahan setelah pada musim sebelumnya mengalahkan wakil Italia lain, Milan, dengan skor tipis 1-0. Gol tunggal anak-anak asuh Louis van Gaal ketika itu dicetak oleh seorang remaja bernama Patrick Kluivert.
Masa-masa inilah yang di kemudian hari menjadi identitas Louis van Gaal sebagai seorang pelatih. "Kalau Anda sudah cukup bagus, berarti Anda sudah cukup umur," kata Van Gaal.
Dan benar. Pada masa-masa itu, Ajax menjadi kekuatan besar lagi di Eropa dengan mengandalkan pemain-pemain belia.
Didampingi pemain-pemain senior dalam diri Frank Rijkaard dan Danny Blind, pemain-pemain muda seperti Edwin van der Sar, Frank dan Ronald de Boer, Michael Reiziger, Clarence Seedorf, Edgar Davids, Finidi George, Jari Litmanen, Marc Overmars, Winston Bogarde, Nwankwo Kanu, dan Patrick Kluivert sedang mengemban misi untuk mengulangi kiprah Johan Cruyff dkk. di dekade 1970-an.
ADVERTISEMENT
Saat Ajax diperkuat Cruyff cs., mereka sukses menjuarai Liga Champions tiga kali berturut-turut pada tahun 1971 (mengalahkan Panathinaikos), 1972 (Internazionale), dan 1973 (Juventus). Namun, setelah generasi Cruyff itu berpencar ke mana-mana, mereka pun butuh waktu lebih dari dua dekade untuk kembali ke puncak.
Pada tahun 1995, mereka mengalahkan Milan di final. Padahal, setahun sebelumnya Milan asuhan Fabio Capello itu sukses menghancurkan Barcelona besutan Johan Cruyff dengan skor telak 4-0. Ajax pun kembali ke khitah mereka sebagai salah satu bangsawan sepak bola Eropa.
Pada musim berikutnya, Ajax sukses mengatasi perlawanan Real Madrid, Ferencvaros, dan Grasshopper di fase grup. Kemudian, di babak perempat final dan semifinal, "Putra-putra Dewa" berhasil menyingkirkan Borussia Dortmund dan Panathinaikos.
ADVERTISEMENT
Ketika itu, mengingat Liga Champions era modern baru berjalan selama empat tahun, belum ada yang namanya kutukan juara bertahan seperti yang kita kenal saat ini. Ajax pun berangkat ke Roma dengan rasa percaya diri tinggi.
Ketika itu, ada beberapa perubahan yang terjadi di skuat Ajax. Seedorf sudah hengkang ke Sampdoria dan tempatnya digantikan oleh Ronald de Boer yang di final sebelumnya bermain sebagai penyerang tengah. Adapun, pos penyerang tengah sendiri diisi oleh Kanu yang di final sebelumnya bermain dari bangku cadangan.
Selain Seedorf, pemain lain yang sudah tidak memperkuat Ajax kala itu adalah Frank Rijkaard. Tempat Rijkaard yang telah pensiun itu menjadi jatah Frank de Boer. Pria yang sempat melatih Internazionale pada awal musim 2016/17 itu pada laga final melawan Milan bermain sebagai bek kiri. Adapun, pada laga melawan Juventus, pos Frank de Boer menjadi milik Winston Bogarde.
ADVERTISEMENT
Tak hanya Seedorf dan Rijkaard, pada laga melawan Juventus itu, ada dua protagonis Final 1995 lain yang berhalangan tampil. Mereka adalah Michael Reiziger dan Marc Overmars. Tempat mereka di starting XI masing-masing dihuni oleh Sonny Silooy dan Kizito "Kiki" Musampa.
Juventus sendiri, ketika itu adalah raksasa yang baru saja bangkit. Setelah berjaya pada era Giovanni Trapattoni di dekade 1980-an, Juventus sempat mengalami masa suram hingga akhirnya dibangunkan oleh Marcello Lippi.
Perlahan, Lippi membenahi performa dan mentalitas "Si Nyonya Tua". Mengambil alih kendali Juventus dari Mr. Trap yang gagal di kesempatan keduanya, Lippi langsung membawa Juventus juara Serie A pada musim 1994/95. Mereka pun berhak untuk mewakili Italia di Liga Champions 1995/96.
ADVERTISEMENT
Jika Ajax dihuni pemain-pemain muda berbakat, maka Juventus diperkuat oleh banyak pemain berusia matang seperti Angelo Peruzzi, Gianluca Pesotto, Paulo Sousa, Antonio Conte, Didier Deschamps, Gianluca Vialli, dan Fabrizio Ravanelli. Satu-satunya pemain yang boleh dibilang sebagai wonderkid di starting XI Juventus malam itu hanyalah Alessandro Del Piero. Ketika itu, pemain berjuluk Pinturicchio itu baru berusia 22 tahun.
Bermain di Italia, Juventus memulai laga dengan agresif. Beberapa peluang, di antaranya lewat Moreno Torricelli dan Ravanelli sempat mengancam gawang Van der Sar. Akhirnya, pada menit ke-13, terciptalah gol Ravanelli tersebut.
Usai kebobolan, Ajax tak terima. Biar bagaimana pun, mereka adalah juara bertahan. Tak heran jika kemudian mereka mulai mengepung pertahanan Juventus. Kiki Musampa yang di kemudian hari bakal memperkuat Atletico Madrid dan Manchester City menjadi pemain yang paling kerap merepotkan Peruzzi. Walau begitu, butuh waktu hampir setengah jam sebelum akhirnya Ajax benar-benar mampu mencetak gol penyama kedudukan.
ADVERTISEMENT
Pertandingan ini sendiri berjalan cukup keras. Terbukti dari tujuh kartu kuning yang keluar dari saku wasit asal Spanyol, Manuel Diaz Vega. Namun, meski terjadi hujan kartu, tidak ada gol yang tercipta bahkan setelah perpanjangan waktu diberikan. Adu penalti pun akhirnya menjadi satu-satunya opsi untuk mencari pemenang.
Kegagalan Silooy menaklukkan Peruzzi itu pun menjadi sebuah penanda dari berakhirnya sebuah era. Setelah itu, pemain-pemain Ajax yang hengkang pun makin banyak.
Pada dekade 2000-an, Ajax sebenarnya sempat memiliki dua tim yang jika terus bermain bersama, bakal bisa mengulangi prestasi para pendahulunya. Sayang, tim-tim itu layu sebelum berkembang karena keburu ditinggal para penggawanya.
Baru pada musim 2016/17 inilah Ajax kembali menuai hasil aktivitas persepakbolaannya. Dengan skuat belia dan pelatih yang progresif, mereka berhasil menembus partai puncak Liga Europa. Laga yang bakal dihelat Kamis (25/5) dini hari WIB itu adalah laga final pertama Ajax sejak malam di Roma itu. Memang kompetisinya bukan Liga Champions, melainkan hanya Liga Europa. Akan tetapi, setidaknya Ajax yang tidak pernah mengkhianati identiasnya itu kini mendapat ganjaran sepadan.
ADVERTISEMENT