Man City dan PSG: Klub Milik Orang Timur Tengah yang Kebal Sanksi Berat FFP

14 Juli 2020 14:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Logo Man City. Foto: Reuters/Craig Brough
zoom-in-whitePerbesar
Logo Man City. Foto: Reuters/Craig Brough
ADVERTISEMENT
Apa persamaan Man City dan Paris Saint-Germain (PSG)? Dua-duanya dimiliki oleh orang asal Timur Tengah dan sama-sama pernah lolos dari hukuman Financial Fair Play (FFP).
ADVERTISEMENT
Keputusan Pengadilan Arbitrase Olahraga (CAS) terkait banding Man City atas hukuman UEFA mengecewakan sejumlah pihak. Pasalnya, walau dinyatakan bersalah, klub rival sekota MU itu dijatuhi hukuman lebih ringan dari sebelumnya.
Sebelumnya, UEFA menghukum Man City dengan larangan tampil di kompetisi Eropa (Liga Champions dan Liga Europa) selama dua musim dan denda sekitar 30 juta euro (Rp489 miliar). Lalu, CAS memutuskan, Man City cuma perlu membayar denda sebesar 10 juta euro (Rp163 miliar).
Apa The Citizens bisa main di Liga Champions musim selanjutnya? Bisa. Begitulah, sanksi untuk mereka menjadi lebih ringan dari sebelumnya.

Man City dan PSG, Serupa tapi tak sama

Logo Man City di Stadion Etihad. Foto: Reuters/Jon Super
Kalau bicara soal klub kaya yang dimiliki oleh orang Timur Tengah, tentunya bukan cuma Man City. Sekarang, sudah banyak. Namun, satu yang paling terkenal lain ada di negeri Prancis. Merekalah PSG.
ADVERTISEMENT
Man City adalah klub yang kini dimiliki oleh Sheikh Mansour bin Zayed Al Nahyan, seorang anggota keluarga kerajaan (royal family) Abu Dhabi di Uni Emirat Arab. Selama ini, bisnis Man City dikontrol oleh City Football Group.
Itu adalah holding company yang mengelola klub-klub sepak bola di bawah kepemilikan Abu Dhabi United Group (ADUG). Salah satunya, Man City.
Nah, kalau PSG, mereka dikuasai oleh Qatar Sports Investments (QSI), anak perusahaan Qatar Investment Authority (QIA)--perusahaan pengelola dana kekayaan negara Qatar yang mengurus investasi dalam dan luar negeri.
Logo Paris Saint-Germain. Foto: Shutter Stock
QSI punya seorang chairman bernama Nasser bin Ghanim Al-Khelaifi, yang juga menjabat sebagai Presiden PSG. Dia adalah seorang pengusaha, bukan anggota keluarga kerajaan, tetapi dekat dengan Emir Qatar, Sheikh Tamim--yang merangkap Kepala QIA.
ADVERTISEMENT
Berbekal kekuatan dana yang kuat, PSG bertransformasi secara cepat menjadi tim juara yang bertabur bintang. Sejumlah pemain-pemain tenar didaratkan ke Parc des Princes demi menjadikan PSG sebagai kekuatan baru di daratan Eropa.
Kalian tahu siapa pemain termahal di dunia? Ya, Neymar, bintang asal Brasil yang ditebus PSG dari Barcelona dengan mahar 222 juga euro pada 2017.
Neymar Junior. Foto: AFP/Franck Fife
Di belakangnya, ada nama Kylian Mbappe yang resmi jadi milik PSG sejak 2018. Sebelum-sebelumnya, mereka juga pernah membeli pemain lain dengan harga selangit, misalnya Edinson Cavani (64,5 juta euro) pada 2013 dan Angel Di Maria (64 juta euro) pada 2015.
Dengan aktivitas transfer 'gila-gilaan' itu, PSG pernah enggak, sih, diusik UEFA terkait pelanggaran FFP? Jawabannya: Pernah, dong.
ADVERTISEMENT
Ini ada kaitannya dengan transfer Neymar dan Mbappe. Ya, wajar kalau UEFA curiga. Masa iya, dalam waktu setahun berturut-turut, ada klub yang bisa membeli pemain dengan harga selangit seperti itu.

Tuduhan untuk PSG

Kylian Mbappe, topskorer Ligue 1 2019/20. Foto: AFP/Valery Hache
New York Times menyebut, berdasarkan dokumen-dokumen yang mereka terima, UEFA melakukan investigasi mendalam terkait dua transfer itu. Penyelidik UEFA lalu memutuskan bahwa PSG layak dihukum karenanya.
Namun, PSG berdalih. Mereka menyatakan punya duit untuk beraktivitas di bursa transfer karena mendapat modal dari perusahaan telekomunikasi Ooredoo, Bank Nasional Qatar, dan Qatar Tourism Authority--sponsor paling penting.
Sponsor yang terakhir disebut menggelontorkan dana lebih dari 100 juta euro. Namun, angka segitu dinilai 'mengada-ada'.
Well, tuduhan perkaranya sama kayak Man City yakni penggelembungan dana sponsor.
Logo UEFA. Foto: Reuters/Denis Balibouse
UEFA punya alasan kuat untuk melempar tuduhan itu. Mereka meminta jasa Octagon Worldwide, sebuah perusahaan marketing olahraga, untuk menganalisis perjanjian sponsor antara PSG dan Qatar Tourism Authority.
ADVERTISEMENT
Hasilnya, kata Octagon, nilai kesepakatan antara keduanya tak sampai 5 juta euro. Nah, lho, jomplang banget.
Di sisi lain, PSG juga menunjuk perusahaan lain, Nielsen, untuk melakukan analisis serupa. Hasilnya, disebutkan bahwa nilai kesepakatan PSG dan Qatar Tourism Authority mendekati 100 juta euro.
Mana yang bisa dipercaya?
Yves Leterme, mantan Perdana Menteri Belgia yang mengepalai tim investigasi UEFA kala itu, berpihak pada hasil kerja Nielsen. Dengan begitu, PSG dinyatakan tak melakukan pelanggaran, kasus ditutup, segala tuduhan dicabut.
Sakti? Hiya.. Hiya.. Hiya...
Apakah ada penyelidikan lanjutan setelahnya? Menurut New York Times, tidak.
Jose Narciso da Cunha Rodrigues, mantan hakim di pengadilan tinggi Eropa dan ketua panel UEFA yang biasa menghukum tim yang melanggar aturan keuangan, menyebut penutupan kasus ini sebagai sebuah kesalahan besar.
ADVERTISEMENT

Kelemahan sistem UEFA

Parc des Princes, kandang PSG. Foto: AFP/Franck Fife
Sama seperti Man City, lolosnya PSG itu juga setelah mereka melakukan banding ke CAS. Masih menurut New York Times, ada celah yang dimanfaatkan PSG untuk terhindar dari hukuman.
Jadi, ada masalah teknis dalam investigasi UEFA. Ibaratnya, mereka seperti tenggelam dalam investigasi mereka sendiri. Intinya, ada kesalahan prosedural yang mereka lakukan.
Timbul pertanyaan: Apakah Man City juga memanfaatkan kelemahan sistem UEFA hingga lolos dari sanksi yang lebih berat terkait FFP?
---
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona.