Marcelo Gallardo yang Garang seperti Lamborghini

15 Oktober 2019 15:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pelatih Barcelona, Ernesto Valverde Foto: Juan Medina/Reuters
zoom-in-whitePerbesar
Pelatih Barcelona, Ernesto Valverde Foto: Juan Medina/Reuters
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Di tangan Ernesto Valverde, Barcelona tak ubahnya sekumpulan komedian dan mulai terlihat mustahil bagi eks pelatih Athletic Bilbao itu mengubah citra demikian. Apalagi, semua orang -- kecuali fans Barcelona -- masih tertawa dengan punchline terkonyol Valverde.
ADVERTISEMENT
Itu terjadi saat Barcelona kembali menghadapi Liverpool dalam laga putaran kedua semifinal Liga Champions musim lalu. Sebelum laga tersebut, La Blaugrana dijagokan dapat melaju ke final karena sudah menang 3-0 pada pertandingan pertama.
Namun, setelah laga yang digelar di Anfield itu usai, dunia tercengang karena Barcelona takluk 0-4. Pendekatan reaktif yang diusung Valverde lagi-lagi menjadi bumerang, seperti saat menjadi korban remontada AS Roma semusim sebelumnya.
Sampai saat ini, media-media Catalunya masih mengungkit komedi gelap itu. Mereka menyebutnya 'Bencana Anfield'. Selain itu, selalu terlihat gif aksi tipu Trent Alexander-Arnold yang berujung gol Divock Origi dalam setiap unggahan di akun Twitter Barcelona.
Bahkan, Lionel Messi pun mereduksi harapannya semenjak hari itu. Agustus 2018, kapten Barcelona ini berkhotbah di tengah Camp Nou yang terisi penuh bahwa dia dan rekan-rekannya akan berjuang untuk memenangi Liga Champions.
ADVERTISEMENT
Sementara, dalam pidato di awal musim ini, Messi mengutarakan ketidaksetujuannya kalau Barcelona dinyatakan gagal pada musim 2018/19. Pasalnya, tim berjuluk La Blaugrana itu berhasil memenangi La Liga ke-8 mereka dalam satu dekade terakhir.
Pada akhirnya, manajemen Barcelona pun mulai merasa muak menjadi olok-olok semua orang. Josep Bartomeu cs. dikabarkan telah menyusun kandidat terkuat untuk melatih Barcelona. Yang paling kuat adalah Marcelo Gallardo.
Ya, Gallardo, sama seperti nama seri mobil Lamborghini.
***
Memang Lamborghini Gallardo sudah berhenti diproduksi sejak enam tahun silam. Namun, sampai detik ini, Gallardo masih menjadi seri mobil dengan penjualan tertinggi dalam sejarah perusahaan otomotif asal Italia itu. Angka tepatnya, 14.022 unit.
Gallardo sendiri memiliki segala hal yang dicari dari mobil sport kelas premium. Mulai dari mesin yang bisa diajak berlari kencang hingga 325 kilometer per jam, hingga bodi yang tak lekang akan zaman, meski desain mobil ini sendiri dibuat pada 2003.
ADVERTISEMENT
Dan selayaknya Gallardo yang itu, Gallardo yang ini pun juga memiliki daya tarik yang sulit untuk ditolak. Gallardo yang sekarang kami maksud adalah sosok yang kini melatih River Plate, yang merupakan murid dari pelatih genius bernama Marcelo Bielsa.
Marcelo Gallardo merayakan kemenangan River Plate. Foto: ALEJANDRO PAGNI / AFP
Sebenarnya, Gallardo sudah mendapatkan sorot lampu sejak menjadi pesepak bola. Dulu, orang-orang Argentina pernah berharap dia bisa menjadi Diego Maradona baru. Harapan itu gagal terwujud, tetapi setidaknya Gallardo sudah kenyang akan gelar.
Karier sosok kelahiran Buenos Aires ini diwarnai dengan 14 trofi sebagai pesepak bola. Dua di antaranya adalah trofi Copa Libertadores dan Sudamericana yang dimenangi saat beroperasi sebagai gelandang serang River Plate pada 1996 dan 1997.
Kisah Gallardo sebagai pelatih bermula pada Juni 2011, atau tujuh hari setelah dia memutuskan gantung sepatu. Tim terakhir yang dibelanya sebagai pesepak bola adalah tim pertamanya sebagai pelatih: Nacional Montevideo.
ADVERTISEMENT
Di akhir musim 2011/12, tim berjuluk La Maquina Blanca ini menjuarai Primera Division di Uruguay. Atensi publik Argentina pun mulai kembali ke arahnya. Walau begitu, secara mengejutkan Gallardo memilih mengambil jeda setelah musim tersebut.
Pada akhirnya, Gallardo kembali ke dunia kepelatihan pada 2014. Kala itu, El Muneco mendapatkan tawaran untuk melatih River Plate. Sejak statusnya masih menjadi pemain, Gallardo sudah bermimpi untuk melatih tim berjuluk Los Millonarios itu.
Sekarang mimpi itu disodorkan di depan mejanya dan tanpa pikir panjang Gallardo pun menerimanya.
Ketika Gallardo kembali ke River, situasinya sedang tak bagus. Tim yang bermarkas di El Monumental ini masih berusaha bangkit dari momen degradasi pada 2011 silam. Agustus 2015, roda nasib sudah berputar dan Gallardo membawa River kembali ke atas.
ADVERTISEMENT
Selama kurun waktu tersebut, River sudah merasakan gelar-gelar bergengsi seperti Copa Libertadores, Copa Sudamericana, serta Recopa Sudamericana. Jika di Eropa, tiga titel ini setara dengan Liga Champions, Liga Europa, dan Piala Super Eropa.
Marcelo Gallardo bersama trofi-trofi yang sudah dimenanginya di River Plate. Foto: ALEJANDRO PAGNI / AFP
Prestasi River sendiri memang menurun pada 2016 dan 2017. Tetapi, Gallardo tetap dipertahankan karena manajemen sadar bahwa itu terjadi gara-gara pemain-pemain terbaik River tak bisa menolak tawaran untuk hijrah ke Eropa, Meksiko, hingga China.
Keputusan ini pada akhirnya terbukti tepat. Pada 2018, Gallardo membawa River kembali melesat sekaligus mempecundangi sang rival Boca Juniors dalam panggung semegah Copa Libertadores.
Kedua tim ini bertemu di final dua putaran turnamen itu. Laga Superclasico pertama digelar di La Bombonera pada November 2018 dan skor akhirnya adalah 2-2. Setelah berkali-kali ditunda, laga kedua digelar di Santiago Bernabeu pada bulan Desember.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, River berhasil memetik kemenangan 3-1 atas Boca. Status kampiun Copa Libertadores 2018 menjadi milik River. Atas keberhasilan tersebut, Gallardo meraih penghargaan Pelatih Terbaik Amerika Latin edisi 2018.
Prestasi-prestasi ini pada akhirnya membuat nama Gallardo harum. Hingga saat ini, dia sudah memberikan enam titel dan inilah yang membuat dia layak disebut sebagai pelatih tersukses dalam sejarah tim yang sudah berdiri sejak 118 tahun silam itu.
***
Pertanyaannya, bagaimana cara Gallardo mengukir kesuksesan semegah ini dalam usia kepelatihan yang relatif muda?
Selayaknya pelatih muda pada umumnya, Gallardo tahu caranya menguatkan hubungan dengan para pemain dan menjaga mereka untuk tak tunduk dengan tekanan. Karena dia sadar, mau sebagus apa pun taktik, semua bergantung pada para pemainnya.
ADVERTISEMENT
Sebab lainnya, karena pelatih berusia 43 tahun itu tak terlalu cinta dengan idenya sendiri. Malah, Gallardo sangat cair: Taktiknya sering berubah, tergantung dengan siapa yang dilawan.
Sebagai bukti, mari tengok kembali apa yang terjadi dalam pertandingan final Copa Libertadores 2018.
Sebelumnya, River sangat identik dengan sistem 4-4-2. Namun, saat final pertama dihelat, para pemain River rupanya disusun dengan kerangka 3-5-2. Sempat muncul tanda tanya terkait dengan keputusan ini, apalagi laga pertama digelar di La Bombonera.
Namun, langkah yang mulanya terasa gila ini nyatanya terbukti jitu. Meski berstatus sebagai tim tandang, River berhasil memegang kemudi laga ini di awal. Bermodalkan kecepatan, dua wing-back River membikin tiga gelandang Boca kewalahan.
ADVERTISEMENT
Laga tersebut kemudian berakhir dengan skor 2-2. Setelah hasil tersebut diraih, bek Javier Pinola pun memuji kegeniusan Gallardo.
"Saya baru mengetahui taktik kami berubah pada pagi ini. Tidak apa-apa, karena kami sempat mencoba cara ini di pramusim. Lagipula, saya tahu Gallardo sangat superior dalam membaca laga dan dia tahu bagaimana mendapatkan hasil maksimal," ujar Pinola.
Pada final kedua, Gallardo menanggalkan sistem 3-5-2. Karena hanya ada satu penyerang yang bisa dia andalkan, formasi berubah menjadi 4-5-1. Sang striker tunggal, Lucas Pratto, mencetak gol penyama kedudukan pada menit ke-63.
Skor 1-1 bertahan hingga 90 menit, dan kemudian River memetik kemenangan 3-1. Titel Copa Libertadores pun menjadi milik mereka.
Namun, bukan dua aspek itu saja yang membuat Gallardo eksepsional sebagai pelatih. Jika ide awalnya tak berjalan sesuai rencana, dia bakal mengganti pemain. Seringkali, substitusi ini pun berujung efektif untuk mengubah nasib tim yang dilatihnya.
ADVERTISEMENT
***
Dalam acara The Best yang dihelat FIFA tak lama ini, Pep Guardiola sebenarnya ingin menyumbangkan satu suaranya untuk Gallardo dalam nominasi Pelatih Terbaik. Namun, niat itu harus diurungkan karena nama Gallardo tidak masuk daftar kandidat.
"Dia (Gallardo) terus membawa timnya tampil konsisten. Padahal, timnya terus kehilangan pemain. Saya tak mengerti kenapa dia tak pernah masuk dalam nominasi seperti ini," kata pelatih kelahiran Santpedor itu kepada TyC Sport.
Guardiola bukan satu-satunya yang ingin memilih Gallardo pada saat itu. Seorang Messi pun juga percaya bahwa Gallardo merupakan satu dari tiga pelatih terbaik dunia saat ini.
Mungkin, Messi kini sedang membayangkan apa yang akan terjadi jika Barcelona dilatih seorang Marcelo Gallardo. Mungkin, mereka tak lagi menjadi olok-olok. Mungkin, mereka akan dipandang kembali sebagai tim yang garang. Seperti Lamborghini Gallardo.
ADVERTISEMENT