Marcus Thuram dan Seruan 'Black Lives Matter' dari Arena Olahraga

1 Juni 2020 10:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
No explanation needed, kata Gladbach. Foto: Martin Meissner / POOL / AFP
zoom-in-whitePerbesar
No explanation needed, kata Gladbach. Foto: Martin Meissner / POOL / AFP
Selain mendatangkan banyak gol dan kemenangan, kedua kaki Marcus Thuram mengampu penghormatan untuk mereka yang memperjuangkan keadilan dan memprotes mereka yang menindas orang-orang kulit hitam.
Borussia Moenchengladbach menggila di pekan 29 Bundesliga 2019/20. Berlaga di Borussia Park pada Minggu (31/5/2020), Gladbach menang 4-1 atas Union Berlin. Dua dari empat gol di pertandingan ini dicetak oleh Thuram pada menit 40 dan 59.
Marcus Thuram merayakan gol di laga melawan Union Berlin. Foto: Martin Meissner / POOL / AFP
Gol pertama Thuram menegaskan karakternya sebagai pemain. Ia cepat, gesit, tangguh, ngotot, dan paham menggunakan kekuatan fisiknya. Sundulannya yang juga memanfaatkan pertahanan ringkih Union membawa Gladbach pada keunggulan 2-0.
Ia tidak merayakannya dengan jenaka. Setelah berteriak dan mengacungkan tinju, ia memisahkan diri dari kawan-kawannya.
Thuram berlutut layaknya satria dalam epos. Lutut kirinya menyentuh tanah, sedangkan lutut kanannya menopang tangan kanannya.
Di hadapan kamera, Thuram menundukkan kepala. Di menit itu ia memberikan penghormatan kepada George Floyd. Thuram mempersembahkan salut kepada siapa pun yang memperjuangkan keadilan bagi orang-orang kulit hitam.
****
Floyd, seorang African-American, tewas karena lehernya ditindih lutut seorang polisi Minneapolis bernama Derek Chauvin, Senin (25/5/2020).
Thuram tidak mengenal Floyd. Mereka mungkin belum pernah berbincang atau berpapasan. Namun, ia tahu betul bahwa apa yang menimpa Floyd itu tidak adil.
Thuram adalah anak kandung mantan pesepak bola Prancis, Lilian Thuram (selanjutnya kami sebut Lilian -red). Lilian adalah bagian dari skuat Timnas Prancis yang menjuarai Piala Dunia 1998 dan menjadi runner up Piala Dunia 2006.
Prancis di kedua ajang itu adalah Prancis yang memberi ruang pada pemain dari berbagai ras.
Bahkan yang menjadi kunci permainan Prancis saat itu adalah Zinedine Zidane. Semua tahu Zidane anak imigran Aljazair. Ia seorang Muslim dan waktu kecil tinggal di lingkungan kumuh Marseille.
Politisi sayap kanan, Jean-Marie Le Pen, mengolok-olok Lilian, Zidane, dan kawan-kawannya sehari jelang final Piala Dunia 2006. Kata Le Pen, ia tidak mengenal skuat Prancis yang sekarang karena diisi oleh banyak orang kulit hitam, imigran, dan Muslim.
Skuat Timnas Prancis di Piala Dunia 2006. Foto: VALERY HACHE / AFP
Lilian menyerang balik Le Pen yang memang sudah berkoar-koar demikian sejak Piala Dunia 1998. Bagi Lilian, Le Pen tak lebih dari orang yang berambisi menjadi presiden, tetapi tidak memahami sejarah Prancis.
Seluruh cerita itu membentuk satu pengertian bahwa sepak bola tidak seindah yang dipikirkan orang-orang. Sepak bola itu juga kotor. Ia mempunyai sisi yang diisi dengan kepengecutan dan ketamakan, yang celakanya, tak selalu terlihat.
Lilian menelanjangi sisi itu. Ia menolak menunduk dan manggut-manggut pada penguasa busuk. Zidane mati martir. Ia menyeruduk setan yang bersemayam dalam dada Marco Materazzi.
Wasit mengacungkan kartu merah, Zidane dicampakkan ke dalam olok-olok. Ia berjalan dalam diam menuju kamar ganti tanpa melirik trofi emas yang bakal diangkat oleh kampiun.
Piala Dunia Zidane. Foto: ROBERTO SCHMIDT / AFP
Seharusnya Zidane meninggalkan Stadion Olimpiade Berlin dengan tepuk tangan dan elu-elu. Namun, ia meninggalkan para pemujanya demi melawan keanggunan palsu sepak bola.
Maka ketika orang-orang di 30 kota di Amerika Serikat turun ke jalan melakukan protes terhadap kekerasan yang menghilangkan nyawa Floyd, Thuram turun arena. Ia mencetak gol dan berlutut di hadapan kamera yang mampu memperlihatkan aksinya ke seluruh dunia.
Gestur berlutut itu bukan tanda menyerah, tetapi simbol protes kepada para penindas. Adalah mantan pemain NFL, Colin Kaepernick, yang memperkenalkan gestur itu pertama kali pada 2016.
Dia berlutut kala lagu kebangsaan Amerika Serikat, 'The Star-Spangled Banner' dikumandangkan dalam sebuah laga pramusim.
Colin Kaepernick (tengah) berlutut. Foto: Reuters via USA Today Sports
Kaepernick tidak sedang malas-malasan atau bercanda. Dengan berlutut, ia memprotes ketidakadilan sosial yang dialami minoritas, terutama orang-orang kulit hitam.
Kaepernick ingin membangkitkan kesadaran publik bahwa kekerasan struktural terhadap kaum minoritas itu bukan isapan jempol.
NFL atau American football adalah simbol konservatisme Amerika. Ia merupakan bagian dari 3F: Faith, Family, Football. Ketiga unsur tersebut merupakan standar yang dipakai para konservatif untuk menentukan baik-buruknya seorang Amerika.
Penolakan Kaepernick untuk berdiri dan menyanyikan lagu kebangsaan dianggap para konservatif sebagai sebuah penghinaan atas simbol negara.
Justice for George Floyd dalam perayaan gol Jadon Sancho. Foto: Lars Baron / POOL / AFP
Serupa Kaepernick, Floyd berbicara begini saat berlutut: Kalau kalian menggunakan lutut untuk membunuh, saya menggunakan lutut untuk menghormati orang-orang yang kau injak dan mereka yang memperjuangkan keadilan.
Floyd tidak bersuara sendirian. Bintang Borussia Dortmund, Jadon Sancho, juga berseru lantang begitu mencetak gol di laga melawan Paderborn.
Ia berselebrasi dengan melepas jersi dan memperlihatkan tulisan Justice for George Floyd. Tidak masalah dikartu-kuning karena melanggar aturan selebrasi. Kali ini Sancho ingin dunia mendengar suaranya.
Hakimi merayakan gol di laga Paderborn vs Dortmund. Foto: Lars Baron / POOL / AFP
Achraf Hakimi yang membawa Dortmund unggul 4-1 di pertandingan tersebut melakukan aksi mirip. Ia memang baru memperlihatkan kaus bertuliskan Justice for George Floyd ke arah kamera seusai laga.
Namun, Hakimi merayakan golnya dengan menyilangkan kedua tangan di atas kepala. Gestur itu merupakan simbol anti-perbudakan dan komitmen untuk memutus rantai penindasan.
Gelandang Schalke 04, Weston McKennie, menggunakan ban lengan kiri bertuliskan Justice for George Floyd. McKennie yang juga merupakan orang African-American berseru dengan memeluk lengan kirinya.
Weston McKennie kenakan ban lengan bertuliskan "Keadilan unutk George Floyd." Foto: Dok. Schalke 04
Jagat olahraga tidak hanya berbicara tentang siapa yang menjadi juara. Ia juga menjadi ranah kelahiran berbagai epos, termasuk perjuangan untuk membela orang-orang kulit hitam.
Ingat-ingat kembali cerita Joe Louis, petinju kulit hitam yang berjuluk The Brown Bomber. Pada 1936, ia dikalahkan petinju yang konon terpaksa menjadi boneka Adolf Hitler, Max Schmeling.
Dua tahun berselang, Hitler menggelar duel serupa. Kali ini giliran Louis yang menumbangkan Schmeling di ronde pertama. Lewat kemenangan di Yankee Stadium itu Louis mencoreng ideologi sinting Hitler yang menyebut kulit hitam tidak ada apa-apanya dibandingkan ras Arya.
Dunia juga bisa membaca ulang kisah Muhammad Ali. Jika para nabi berjalan dari satu kota ke kota lain untuk memberitakan nubuat Tuhan, Ali bertarung dari ring ke ring untuk menyuarakan keadilan bagi orang-orang kulit hitam.
Muhammad Ali berduel melawan Brian London. Foto: AFP
Dari lapangan tenis Serena Williams membuktikan bahwa tempat ini bukan hanya milik orang-orang kulit putih.
Sepanjang sejarah, hanya ada enam petenis kulit hitam yang pernah mendapatkan gelar Grand Slam: Arthur Ashe, Yannick Noah, Althea Gibson, Venus Williams, Serena Williams, dan Sloane Stephens.
Tidak sulit untuk mencari hinaan bernuansa rasialisme dan seksisme yang ditujukan kepada Serena. Saat berusia 19 tahun, Serena sudah diolok-olok saat bertanding di Indian Wells.
"Arus rasialisme itu menyakitkan, membingungkan, dan tidak adil. Dalam permainan yang saya cintai dengan sepenuh hati, di salah satu turnamen saya yang paling dihargai, saya tiba-tiba merasa tidak disukai, sendirian, dan takut," demikian nukilan esai Serena di Time.
Serena Williams juara Australian Open 2010. Foto: PAUL CROCK / AFP
Akan tetapi, Serena adalah Serena. Dunia tahu tidak ada yang bisa menghentikannya ketika ia harus bicara. Suaranya lantang, pesannya tajam.
Dalam olahraga yang didominasi oleh prestasi atlet kulit putih, Serena tampil sebagai ratu yang mendaki puncak gunung prestasi dengan 23 gelar Grand Slam di nomor tunggal putri.
Pun demikian dengan sepak bola. Raheem Sterling dan Kalidou Koulibaly yang mati-matian melawan rasialisme.
Dani Alves dan Hakan Calhanoglu tak ketinggalan. Jika Alves memakan pisang yang dilempar suporter, Calhanoglu menyingkirkan roti dan remah-remahnya dengan telaten ke pinggir lapangan.
Raheem Sterling berlaga di depan suporter Montenegro. Foto: Reuters/Carl Recine
Pisang dan roti adalah objek asing yang tidak boleh ada di lapangan. Bukankah rasialisme juga seperti itu?
Serupa pisang dan roti yang tidak boleh mengotori lapangan sepak bola dan arena olahraga apa pun, rasialisme dan ketidakadilan adalah kenajisan yang tidak boleh ada di mana pun, sampai kapan pun.
====
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona. Yuk, bantu donasi atasi dampak corona!