Mari Mendedah Kebobrokan Milan

28 Mei 2019 1:04 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pemain Milan rayakan gol Bonaventura di laga melawan Chievo. Foto: MARCO BERTORELLO / AFP
zoom-in-whitePerbesar
Pemain Milan rayakan gol Bonaventura di laga melawan Chievo. Foto: MARCO BERTORELLO / AFP
ADVERTISEMENT
AC Milan lagi-lagi harus melambaikan tangan kepada Liga Champions. Selamat tinggal, sampai jumpa entah kapan.
ADVERTISEMENT
Milan hanya finis di peringkat kelima pada klasemen akhir musim ini. Mereka berselisih satu angka dari Inter yang nangkring di batas aman zona Liga Champions.
Sad but true, Milan yang sudah tujuh kali menggondol trofi 'Si Kuping Besar' itu mesti manggung di Liga Europa musim depan. Dengan begitu, sudah tiga musim beruntun Rossoneri berkutat di Liga Europa.
Apa, sih, sebenarnya yang membuat Milan tampil begitu buruk di musim ini?
'Roller coaster' Milan
Sebenarnya tak mengherankan andai Milan finis di luar posisi empat besar pada akhir musim. Toh, mereka memang sudah menunjukkan performa sergut di laga-laga awal Serie A. Usai keok dari Napoli 2-3 di pekan pertama, Milan hanya mampu bermain seri dengan Cagliari, Atalanta, dan Empoli dalam tiga laga beruntun.
ADVERTISEMENT
Setelahnya, Milan bangkit. Lima kemenangan berhasil dipetik dalam durasi enam pertandingan. Hingga akhirnya Juventus datang dan memutus tren positif Milan di pertengahan November.
Setelah ditaklukkan Bianconeri dua gol tanpa balas, Milan hanya mengemas 7 angka dalam 6 laga berikutnya. Itu belum dihitung dengan kekalahan mereka dari Olympiacos di fase grup Liga Europa.
Peruntungan Milan beralih seiring momen pergantian tahun, tepatnya sejak 26 Desember. Mereka berhasil melewati 10 pertandingan tanpa terkalahkan.
Gattuso, pelatih AC Milan, tertunduk. Foto: REUTERS/Eric Vidal
Namun, lagi-lagi performa Milan menukik pada pertengahan bulan ketiga tahun ini. Dari tujuh pertandingan, mereka cuma mampu mendulang sebiji kemenangan. Sementara sisanya berujung dengan empat kekalahan serta sepasang hasil imbang.
Oh, ya, dalam durasi itu pula Alessio Romagnoli dan kawan-kawan kudu angkat koper dari Coppa Italia usai disingkirkan Lazio dengan agregat 0-1.
ADVERTISEMENT
Keberhasilan Milan menyapu bersih empat pertandingan sisa juga sia-sia. Raihan Mereka tak cukup untuk mengejar defisit angka dari Inter yang finis di peringkat keempat.
Tumbangnya Pemain Pilar
Ya, cedera jadi salah satu pemicu inkonsistensi Milan. Tumbangnya pilar-pilar macam Lucas Biglia, Giacomo Bonaventura dalam durasi yang lama cukup memengaruhi performa Milan secara signifikan.
Gennaro Gattuso berusaha menyiasati absennya Biglia dengan Tiemoue Bakayoko. Namun, untuk urusan intensitas tekel, Bakayoko memang masih kalah dari Biglia. Namun, postur yang tinggi plus kemampuannya membaca permainan jadi nilai tambahnya.
Well, ketiadaan Biglia mungkin bisa sedikit ditambal. Akan tetapi, lain cerita dengan Bonaventura. Kontribusinya dari lini kedua sulit digantikan.
Bonaventura vs Rafinha. Foto: REUTERS/Alessandro Garofalo
Bahkan tak berlebihan untuk menganggap pemain yang akrab dipanggil 'Jack' itu merupakan gelandang terbaik Milan di musim lalu. Buktinya, ia sukses mengemas 8 gol di Serie A edisi 2017/18--tertinggi kedua setelah Patrick Cutrone.
ADVERTISEMENT
Franck Kessie memang berhasil menonjolkan agresivitasnya di musim ini --7 gol dirangkumnya pada Serie A musim ini. Sayangnya, agresivitas itu tak bisa diimbangi dua gelandang reguler lainnya: Bakayoko dan Lucas Paqueta.
Produktivitas
Bukan pertahanan yang jadi titik terlemah Milan di musim ini. Toh, mereka cuma kebobolan 36 kali atau 6 gol lebih sedikit ketimbang musim lalu. Justru rendahnya tingkat kesuburan jadi salah satu masalah terbesar Milan di Serie A musim ini.
Lihat saja, cuma 55 gol yang mampu mereka cetak. Artinya, rata-rata mereka cuma bisa mencetak 1,4 gol per laga.
Oke, Milan memang telah mendatangkan Krzysztof Piatek dari Genoa dan hasilnya impresif. Ia tak pernah absen mencetak gol dalam lima laga perdananya. Namun, masalah muncul begitu Piatek mandek.
ADVERTISEMENT
Milan sulit menang kalau Piatek absen mencetak gol. Hasil negatif yang mereka telan dalam tiga laga beruntun akhir April lalu jadi buktinya. Ketika bermain imbang dengan Parma, serta keok dari Lazio di Coppa Italia dan Torino pada pentas Serie A, Piatek nihil gol.
Piatek merayakan gol ke gawang Udinese. Foto: REUTERS/Daniele Mascolo
Pakem dasar 4-3-3 yang diusung Gennaro Gattuso memang sukses memunculkan keseimbangan dalam tim. Namun, wadah tersebut tak cukup efektif untuk menempatkan Piatek dan Patrick Cutrone secara bersamaan.
Meninggalkan salah satunya di bangku cadangan pun terasa ganjil. Sementara Piatek adalah juru gedor utama Milan musim ini, Cutrone adalah goal-getter utama musim lalu.
Cutrone memang mengalami penurunan produktivitas musim ini (dari mencetak 10 gol musim lalu, menjadi cuma menorehkan 3 gol musim ini), tetapi langsung melupakannya cuma karena Piatek datang tetap terasa janggal untuk Gattuso.
ADVERTISEMENT
Alhasil, Gattuso masih memaksakan memainkan Cutrone, meskipun masuk sebagai pemain pengganti. Jika dihitung, ada 24 kesempatan musim ini di mana Cutrone bermain sebagai pemain pengganti.
Gattuso bukannya tak pernah memasang Piatek dan Cutrone secara bersamaan, tetapi hasilnya tak maksimal. Pertandingan melawan Udinese, April 2019, bisa menjadi contoh. Milan bermain imbang 1-1 dan cuma Piatek yang mencetak gol.
Pada laga tersebut, Cutrone dimainkan sebagai penyerang sayap sebelah kiri. Tentu ada alasan mengapa Gattuso menempatkan Cutrone di pos tersebut. Di dalam skuat saat ini, Milan memang tidak punya winger yang subur.
Suso (kanan) pada pertandingan melawan Bologna. Foto: Miguel MEDINA / AFP
Lihat saja Suso dan Hakan Calhanoglu. Soal penciptaan peluang, sulit untuk meragukan kualitas keduanya. Musim ini, kedua pemain itu menjadi penyumbang assist tertinggi di Milan; Suso membuat 10 assist, sementara Calhanoglu 6 assist. Namun, untuk urusan mencetak gol nanti dulu.
ADVERTISEMENT
Suso memang rajin melepaskan tembakan (2,7 tembakan per laga), tetapi efisiensinya tergolong rendah. Dari jumlah tersebut, ia cuma mencetak 7 gol. Sebagai perbandingan, Kessie yang melepaskan rata-rata 2,7 tembakan per laga saja bisa mencetak 7 gol.
Calhanoglu lebih parah lagi, ia cuma mampu menyarangkan 3 gol. Padahal, rata-rata tembakannya merupakan yang tertinggi di Milan: 2,8.
Padahal, jika para penyerang utama mandek, Milan butuh opsi dari pemain lain untuk mencetak gol. Kalau pemain lain juga sama mandeknya, apa boleh bikin? Gattuso tentu semakin pusing saja.
Gattuso bukannya tanpa opsi. Ia masih memiliki Samu Castillejo, winger yang tergolong rajin dalam mencetak gol. Eks penggawa Villarreal itu sukses mengemas 4 gol dalam 1.008 menit atau mencetak gol tiap 252 menit sekali.
ADVERTISEMENT
Tak spesial, sih, akan tetapi masih lebih baik ketimbang Suso yang mengemas satu gol tiap 433 menit serta Calhanoglu yang butuh 966 menit untuk mengemas satu golnya.
So, andai masih dipertahankan Milan musim depan, Gattuso layak berpikir baik-baik untuk merombak susunan trisula timnya.