Marta Viera: Bocah Kampung yang Merevolusi Sepak Bola Wanita

20 Juni 2019 18:18 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Marta di Olimpiade Rio 2016. Foto: AFP/Miguel Schincariol
zoom-in-whitePerbesar
Marta di Olimpiade Rio 2016. Foto: AFP/Miguel Schincariol
ADVERTISEMENT
"Mengapa Tuhan memberi talenta ini kalau tidak ada orang yang mengizinkanku menggunakannya?"
ADVERTISEMENT
Kalimat itu adalah satu-satunya yang dicetak miring dalam surat panjang Marta Viera da Silva kepada dirinya yang berusia 14 tahun. Surat itu terbit 24 Agustus 2017 dalam situsweb milik mantan bintang bisbol Derek Jeter, The Players' Tribune.
Letter to My Younger Self. Surat untuk Diriku ketika Muda. Judul surat itu memang generik lantaran telah berubah menjadi nama rubrik di The Players' Tribune. Pun sudah banyak sosok yang telah melakukan hal serupa sebelum Marta. Namun, rasanya tak ada figur lain yang memiliki cerita seperti dirinya.
Ketika Marta bertanya kepada Tuhan tadi, dia tidak sedang menghujat. Marta adalah sosok religius yang tidak akan berani melakukan hal demikian. Akan tetapi, memang wajar jikalau dia mengajukan tanya. Mengapa Tuhan memberinya talenta itu kalau dia tak pernah diizinkan menggunakannya?
ADVERTISEMENT
Surat tersebut ditujukan Marta kepada dirinya yang berusia 14 tahun, kepada seorang remaja yang tengah dihadapkan pada keputusan maha besar. Itu adalah momen to be or not to be baginya. Oleh karena itu, Marta cuma punya satu pesan kepada dirinya yang masih muda: Naiklah ke bus itu.
Perjalanan dengan bus tersebut merupakan tonggak krusial bagi hidup Marta. Perjalanan itu adalah pemisah antara Marta sang pesepak bola wanita terbaik sepanjang masa dan Marta si bocah kampung yang jadi bahan omongan tetangga karena hobi bermain bola. Perjalanan itu, di kemudian hari, akan menimbulkan efek kupu-kupu dahsyat bagi persepakbolaan wanita di muka bumi.
***
Menjadi Marta adalah menjadi seorang pionir; seorang peretas jalan yang mencapai tujuan dengan bersimbah darah. Perjalanan yang dia tempuh dari titik nol ke titik puncak adalah perjalanan yang cuma bisa ditempuh oleh segelintir orang. Itulah mengapa, Marta adalah manusia yang tiada duanya di dunia.
ADVERTISEMENT
Perjalanan itu berawal di kota kecil bernama Dois Riachos. Hanya ada belasan ribu jiwa yang tinggal di sana dan tak ada satu pun anak perempuan yang berani menyepak bola seperti Marta.
Bagi Marta, sepak bola hadir karena absennya pilihan lain. Setidanya, begitulah awalnya. Dia dibesarkan oleh ibunya yang setiap hari harus bekerja sampai larut malam. Ayahnya, sementara itu, sudah minggat entah ke mana ketika Marta masih bayi. Tanpa keberadaan sosok ibu di rumah, Marta pun kemudian 'teracuni' oleh siaran sepak bola di televisi.
Dari sanalah Marta mengenal si Kulit Bulat. Apa yang dia saksikan lantas dia praktikkan di jalan-jalan lengang Dois Riachos. Sebagai satu-satunya anak perempuan yang bermain sepak bola, Marta pun sudah dihadapkan pada berbagai penolakan baik yang dilakukan secara halus maupun terang-terangan.
ADVERTISEMENT
Marta muda di Piala Dunia 2003. Foto: AFP/Tim A. Clary
Ada kalanya Marta diizinkan bermain bola tetapi dia harus bermain di tim jelek yang berasal dari kecamatan sebelah. Ada pula kalanya dia menumpahkan air mata lantaran tim lawan menolak bermain jika dirinya tetap berada di lapangan. Lalu, ada juga momen di mana kakak laki-lakinya melarang dia bermain supaya tidak dirisak.
Namun, semua itu tak digubris oleh Marta. Sejak kanak-kanak, dia sudah tidak memiliki cita-cita lain. Sepak bola adalah hidupnya dan itulah yang dia kejar secara persisten. Melihat tekad baja anak perempuannya, sang ibu pun akhirnya tidak punya pilihan lain. Sang ibu mendukung Marta sepenuhnya dan tak jarang terlibat perang mulut dengan tetangga yang cerewet.
Semua yang dimiliki Marta dimulai dari sana. Sebagai anak perempuan satu-satunya, dalam pertandingan bersama anak laki-laki, Marta diharuskan mencari seribu satu cara untuk menjadi pemain terbaik. Ketika itu, tujuan satu-satunya yang ada di benak Marta adalah bagaimana caranya dia tetap diizinkan bermain di pertandingan selanjutnya.
ADVERTISEMENT
Kecepatan sudah ada dalam diri Marta secara natural dan itu masih terlihat sampai sekarang. Namun, dia sadar bahwa kecepatan saja tidak cukup. Maka, trik dan teknik pun dia asah sedemikian rupa agar bisa terus bersaing dengan anak-anak laki-laki di tim yang dia perkuat. Awalnya, bagi Marta, memang sesederhana itu. Semua yang dia lakukan hanyalah agar bisa terus menyepak bola.
Sampai akhirnya, tibalah Marta di momen krusial tadi. Di usia 14 tahun, dia ditemukan oleh seorang pelatih bernama Helena Pacheco yang lantas mengirimnya ke Vasco da Gama untuk mengikuti seleksi. Bus yang ditumpangi Marta tadi adalah bus yang mengantarkannya ke Rio de Janeiro, tempat Vasco berada.
Marta dalam laga kontra Jerman di Piala Dunia 2011. Foto: AFP/Odd Andersen
Setibanya di Rio, Marta tidak langsung mengikuti seleksi bersama Vasco. Dia harus menumpang di rumah seseorang kerabat bernama Marcos selama beberapa hari sebelum mendapat panggilan telepon dari pihak klub. Setelah mengikuti seleksi Marta pun dikontrak secara profesional dan bermain dalam 16 pertandingan. Sayangnya, tak lama kemudian, tim putri Vasco dibubarkan.
ADVERTISEMENT
Ini adalah masa-masa tersulit Marta. Pada titik ini, dia sudah telanjur basah. Ini adalah momen go big or go home dan Marta harus menjalaninya pada usia di mana dia seharusnya menempuh pendidikan sekolah menengah atas. Akhirnya, solusi pun didapatkan. Sembari menunggu ulang tahun yang ke-18, Marta pindah ke Santa Cruz untuk bermain dengan status amatir.
Dua tahun lamanya Marta berada di Santa Cruz dan setelah usianya sudah cukup di mata hukum sepak bola, Marta segera angkat kaki dari Brasil menuju Swedia. Ketika kepindahan ini berlangsung, Marta sudah berstatus sebagai pemain Timnas Brasil senior. Marta muda pun bergabung bersama Umea IK.
Swedia adalah tempat yang begitu penting bagi Marta. Di negara itu dia benar-benar merasakan kehidupan yang sesungguhnya sebagai seorang profesional. Selama belasan tahun berkarier, Umea pun jadi klub terlama yang pernah dibela oleh Marta.
ADVERTISEMENT
Enam gelar, termasuk satu trofi UEFA Women's Cup (cikal bakal Liga Champions), berhasil dipersembahkan Marta untuk Umea. Sebagai pemain Umea pula wanita 33 tahun ini mendapatkan tiga dari enam gelar pemain terbaik versi FIFA. Pencapaian hebat ini kemudian membawa Marta ke Amerika Serikat.
Marta menerima penghargaan Pemain Terbaik FIFA 2018. Foto: AFP/Ben Stansall
Ketika itu kompetisi sepak bola wanita di Amerika Serikat belum disebut National Women's Soccer League (NWSL) seperti sekarang, melainkan Women's Professional Soccer (WPS). Antara 2009 dan 2011, Marta memperkuat tiga klub berbeda, yaitu Los Angeles Sol dan FC Gold Pride di WPS serta Santos di Liga Brasil.
Meski harus berpindah-pindah, Marta mampu menyegel dua trofi pemain terbaik wanita lagi pada 2009 dan 2010. Dengan begitu, dia pun sukses menyandang status pemain wanita terbaik selama lima tahun berturut-turut.
ADVERTISEMENT
Setelah itu, Marta bergabung dengan tim bertabur bintang Western New York Flash yang juga diperkuat Alex Morgan dan Christine Sinclair sebelum kembali ke Swedia. Lima tahun di Swedia bersama Tyresoe FF dan FC Rosengard, Marta pulang ke Amerika Serikat pada 2017 untuk memperkuat Orlando Pride sampai sekarang.
***
Dari rekam jejak itu terlihat bahwa Marta memiliki karier yang cukup bagus di level klub. Akan tetapi, itu semua tidak akan cukup tanpa membicarakan kehebatannya bersama Timnas Brasil.
Hal termudah untuk mengukur kehebatan Marta untuk Timnas Brasil adalah menengok catatan golnya karena dia memang merupakan seorang pemain depan. Sejak 2002, Marta sudah memperkuat Brasil dalam 146 kesempatan dan melesakkan 112 gol. Dari 112 gol itu, 17 di antaranya dia ciptakan di putaran final Piala Dunia.
ADVERTISEMENT
Gol ke-17 Marta di Piala Dunia hadir pada pertandingan fase grup turnamen edisi 2019 menghadapi Italia. Dalam laga itu, Brasil butuh poin penuh untuk menjaga asa lolos ke babak 16 besar. Sementara itu, Italia sendiri sudah memastikan kelolosan berkat kemenangan atas Australia dan Jamaika.
Menghadapi Italia yang tampil mengejutkan di Piala Dunia 2019, Brasil tampil kesetanan. Akan tetapi, pertahanan kokoh yang digalang Sara Gama membuat Marta cs. kesulitan. Meski demikian, setelah laga memasuki menit ke-74, wasit menghadiahkan penalti kepada Brasil usai Debinha dilanggar Elena Linari.
Marta ditunjuk sebagai ekeskutor. Dalam laga sebelumnya, ketika Brasil kalah 2-3 dari Australia, tugas serupa sudah dia emban dan gol ke-16 sudah berhasil dia lesakkan. Kini, berhadapan dengan kiper Juventus, Laura Giuliani, Marta punya peluang mencetak sejarah sekaligus memenangkan negaranya.
ADVERTISEMENT
Dan Marta pun berhasil. Tanpa kesulitan, dia mengecoh Giuliani dan mencetak gol tunggal kemenangan Brasil. Bagi Marta, itu adalah gol ke-17 yang membuat dirinya jadi topskorer sepanjang masa Piala Dunia mengalahkan Miroslav Klose.
Tentu saja, gol Marta ke gawang Giuliani itu adalah gol bersejarah karena rekor yang ada di baliknya. Akan tetapi, sesungguhnya, gol terpenting yang pernah dicetak Marta sudah lahir 12 tahun silam dalam laga semifinal Piala Dunia 2007 menghadapi Amerika Serikat. Gol itu mengubah lanskap persepakbolaan wanita sampai sekarang.
Ketika pertandingan memasuki menit ke-79, Marta menerima bola sekitar 27 meter dari gawang Amerika. Ketika menerima bola, posisi tubuhnya membelakangi bek Amerika, Tina Ellertson, yang sesungguhnya terlihat berada dalam posisi bagus. Namun, Marta punya rencana lain. Trik yang dia pelajari di masa kecil itu keluar secara instingtif.
ADVERTISEMENT
Marta mengangkat bola ke udara, mengarahkannya melewati sisi kanan tubuh Ellertson, sementara dia sendiri bergerak melewati penjaganya dari sisi kiri. Tak sampai sedetik kemudian, dia pun sampai di kotak penalti. Akan tetapi, misinya belum selesai karena persis di depannya sudah ada Cat Whitehill yang berdiri mengadang.
Marta sudah terbiasa berada dalam posisi do or die dan adangan Whitehall itu tak membuatnya panik. Dengan tenang, Marta melakukan gerak tipu kecil yang membuat Whitehall menjulurkan kakinya ke sisi yang salah. Setelah itu, sebuah tembakan keras dilepaskan Marta tanpa bisa dihalau kiper veteran Brianna Scurry.
Brasil menang 4-0 pada laga itu dan berhak lolos ke final. Marta sendiri mencetak dua gol dalam pertandingan yang digelar di Hangzhou, China, tersebut. Sayangnya, setelah itu Brasil harus mengakui keunggulan Jerman dalam pertandingan final yang diwarnai kegagalan Marta mengeksekusi penalti.
ADVERTISEMENT
Marta memang gagal merengkuh trofi tetapi dia sudah merevolusi sepak bola dengan golnya ke gawang Scurry tadi. Akibat gol itulah Timnas Amerika Serikat kemudian menyusun filosofi baru untuk menyongsong masa depan sepak bola. Berkat gol itulah pemain-pemain seperti Lieke Martens, Eugenie Le Sommer, dan Tobin Heath kini mampu melejit di pentas dunia.
Sebelum Marta mencetak gol tersebut, sepak bola wanita dieksekusi dengan cara yang begitu sederhana. Timnas Amerika Serikat, misalnya, sampai saat itu masih sangat mengandalkan fisik untuk mengatasi lawan-lawannya karena di sepak bola wanita bola panjang masih jadi andalan utama. Selain itu, biasanya, para pemain pun hanya memiliki satu spesialisasi dalam bermain.
Mia Hamm, contohnya, sangat mengandalkan kemampuan lolos dari penjagaan lawan. Birgit Prinz, sebagai contoh lain, adalah pemain yang sangat mengandalkan kekuatan fisik. Lalu, ada Sun Wen yang 'hanya' lihai dalam menempatkan bola dengan level presisi tinggi. Kemudian, dari Jepang ada Homare Sawa yang kelebihan utamanya 'cuma' terletak di visi bermain.
ADVERTISEMENT
Marta, sementara itu, memiliki perpaduan sempurna antara visi, teknik, presisi, serta kecepatan. Dia adalah purwarupa penyerang modern di sepak bola wanita yang sampai saat ini masih sulit dicari gantinya. Martens, barangkali, adalah pemain yang reputasinya paling mendekati Marta karena pemain Belanda itu juga pernah mendapat trofi pemain terbaik versi FIFA.
Lewat aksi Marta tadi, sepak bola wanita berevolusi. Bola panjang, sedikit banyak, memang masih kerap diandalkan di level internasional karena minimnya waktu pembangunan tim, tetapi di level klub situasinya sudah lain. Ketika Lyon dan Barcelona berhadapan di final Liga Champions musim 2018/19, yang tampak adalah permainan 'sepak bola seperti yang seharusnya' dilakukan lewat umpan pendek dan pergerakan tanpa bola ciamik.
ADVERTISEMENT
Semua itu adalah wujud sumbangsih Marta untuk sepak bola. Si pemain sendiri barangkali tidak pernah merencanakannya karena kemampuan yang dia miliki awalnya dipelajari hanya untuk 'bertahan hidup'. Namun, pada akhirnya, justru itulah yang menjadi warisan terbesarnya. Tanpa trofi Piala Dunia sekalipun, Marta adalah pesepak bola putri terhebat yang pernah dilahirkan. Titik.