Melawan Tabu dan Kutukan, Menjadi Atlanta United

11 Desember 2018 20:28 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:04 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Selebrasi juara MLS Cup pemain-pemain Atlanta United. (Foto: USA Today/Reuters/Brett Davis)
zoom-in-whitePerbesar
Selebrasi juara MLS Cup pemain-pemain Atlanta United. (Foto: USA Today/Reuters/Brett Davis)
ADVERTISEMENT
Benjamin Zand, seorang jurnalis BBC, datang ke Louisiana pada 2014 dengan misi yang jelas: mencari keberadaan sepak bola. Di akhir cerita Zand berhasil menemukan apa yang dia cari. Namun, untuk sampai ke sana dia dihadapkan pada realitas yang sebenarnya sesuai dengan ekspektasi tetapi tetap saja terlalu pahit untuk dihadapi secara langsung.
ADVERTISEMENT
Perjalanan Zand tersebut dirilis BBC lewat rangkaian dokumenter yang ikhtisarnya bisa ditemukan di YouTube dengan judul 'Football (soccer) seen as 'sissyball' in Deep South'. Di situ, diperlihatkan bagaimana Zand menemui kenyataan pahit tadi. Dengan mengunjungi Tigers Stadium, dia melihat bahwa di Louisiana sepak bola adalah tamu yang tak diinginkan.
Tigers Stadium adalah sebuah arena raksasa yang bisa menampung lebih dari 102 ribu penonton. Menariknya, stadion tersebut bukan merupakan kandang dari tim profesional, melainkan tim universitas: Lousiana State University Tigers, atau yang dikenal sebagai Fighting Tigers.
LSU Tigers adalah tim football dan bagi orang-orang Deep South, termasuk Louisiana, football adalah segalanya. Sejatinya, karena mereka tak pernah punya pilihan lain. Basket memang belakangan masuk lewat waralaaba Pelicans-nya, tetapi football, khususnya football universitas, tak pernah bisa didongkel dari takhtanya.
ADVERTISEMENT
Ketika mewawancarai sepasang suporter Tigers, Zand mendapati ada seorang wanita yang tertawa tidak percaya ketika temannya berkata bahwa sepak bola adalah olahraga nomor satu di dunia. Tawa sang wanita itu sudah cukup untuk menjadi gambaran umum bagaimana football diperlakukan di sana dan bagaimana olahraga-olahraga lain, khususnya sepak bola, menjadi korban.
Di Amerika Serikat sepak bola memang kerapkali dipandang dengan syak wasangka. Pada era Perang Dingin dulu olahraga ini sempat disebut sebagai olahraganya orang-orang komunis. Meskipun era itu sudah lama berlalu, stereotip soal sepak bola itu masih membekas terutama di kalangan orang-orang Deep South.
Ketika kita bicara Deep South, sebenarnya kita bicara soal geografi sederhana. Yakni, wilayah yang dilewati Sungai Mississipi sampai ke Samudera Atlantik. Di wilayah tersebut ada lima negara bagian: Louisiana, South Carolina, Georgia, Alabama, dan Mississipi. Namun, nyatanya Deep South punya arti lebih dari itu. Tak cuma perkara geografis, Deep South adalah sebuah identitas kultural.
ADVERTISEMENT
Sebagai identitas kultural, Deep South pun cakupannya menjadi lebih luas. Oleh karenanya, wilayah Texas, Florida, North Carolina, West Virginia, Virginia, dan Kentucky pun bisa dimasukkan sebagai anggota dari Deep South. Muasalnya jelas: Dulu, sebelum Perang Sipil berkobar, roda perekonomian di wilayah ini sangatlah bergantung pada pertanian kapuk.
Industri agraria itulah yang kemudian menumbuhsuburkan perbudakan dan akhirnya memicu Perang Sipil antara kaum Union di Utara dan Konfederasi di Selatan. Pada akhirnya Konfederasi berhasil dihantam tetapi sampai sekarang nilai-nilai yang ketika itu mereka junjung tinggi masih tertanam cukup kuat. Nilai-nilai itu bisa disederhanakan jadi satu istilah bernama konservatisme.
Dalam praktiknya, konservatisme orang-orang Selatan tadi, menurut Freddie Steinmark, mewujud pada 3F: Faith (kepercayaan terhadap agama Kristen), Family (keluarga), dan Football. Dari sini, hal-hal lain yang tidak termasuk dalam 3F tadi dihindari dan dipandang dengan curiga. Tak terkecuali sepak bola.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, di Louisiana tadi sepak bola bukannya tidak ada sama sekali. Dari kaca mata Zand yang penuh optimisme itu, sepak bola dilihat sebagai sebuah olahraga yang terus berkembang. Zand memang tidak salah karena di sana sepak bola mulai dimainkan oleh anak-anak kecil. Ada orang-orang tak kenal menyerah yang menyebarkan agama baru berupa sepak bola.
Usaha itu masih jauh dari kata berhasil karena anak-anak tadi pun tidak bisa menjawab ketika ditanyai siapa pemain favoritnya. Namun, perubahan sekecil apa pun tetap harus dihitung sebagai sebuah perubahan. Apalagi, jika perubahan tersebut digelorakan di wilayah Selatan yang kaku.
***
Josef Martinez (kanan) dan kapten Michael Parkhurst membawa trofi MLS Cup. (Foto: USA Today/Reuters/Adam Hagy)
zoom-in-whitePerbesar
Josef Martinez (kanan) dan kapten Michael Parkhurst membawa trofi MLS Cup. (Foto: USA Today/Reuters/Adam Hagy)
Jika Louisiana tengah merangkak, tidak demikian halnya dengan Georgia. Di Georgia, sepak bola dalam waktu singkat telah menjadi olahraga yang terlalu besar untuk diabaikan begitu saja. Lewat keberhasilan Atlanta United menjuarai MLS Cup, Minggu (9/12/2018) lalu, Georgia pun kini menjadi sensasi baru dalam jagat persepakbolaan Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
Keberhasilan Atlanta United menjuarai MLS itu diraih pada tahun kedua mereka berlaga di liga tersebut. Di hadapan 73.019 penonton --rekor baru MLS-- yang memadati Mercedes-Benz Stadium, mereka sukses menumbangkan Portland Timbers dengan skor 2-0. Josef Martinez dan Franco Escobar menjadi pahlawan lewat masing-masing satu golnya.
Capaian Atlanta United itu disebut sebagai sensasi karena memang sensasional. Awalnya, kedatangan mereka ke Georgia disambut dengan skeptisisme berbagai pihak. Salah satu dari mereka yang skeptis itu adalah editor SB Nation, Jeremiah Oshan. Dalam artikelnya yang tayang pada 2016, Oshan secara gamblang menyebut bahwa 'ekspansi MLS ke Atlanta adalah sebuah kesalahan'.
Sekarang, Oshan memang telah mengakui kesalahannya. Namun, jika pada saat itu dia menyebut sepak bola di Atlanta adalah sebuah kemustahilan, Oshan punya alasan kuat.
ADVERTISEMENT
Ada dua hal yang menjadi dasar argumen Oshan, yaitu soal aji mumpung di balik kedatangan Atlanta United dan sifat penonton olahraga di Atlanta itu sendiri. Dengan perpaduan keduanya, membangun sebuah waralaba MLS di Atlanta (seharusnya) bakal menimbulkan bencana.
Aji mumpung yang dimaksud adalah bagaimana Arthur Blank AMB Group, pemilik Atlanta Falcons, melihat sepak bola sebagai sebuah cara untuk mengakali pemerintah kota agar mau membangun stadion baru. Jika stadion itu dipakai hanya untuk Falcons, maka ia akan mubazir. Sebab, dalam satu musim kompetisi sebuah tim NFL hanya akan menggunakan stadion paling banter 12 kali.
Mercedes-Benz Stadium di Atlanta. (Foto: USA Today/Reuters/John Mercer)
zoom-in-whitePerbesar
Mercedes-Benz Stadium di Atlanta. (Foto: USA Today/Reuters/John Mercer)
Maka, ketika mendengar ada wacana dari MLS untuk melakukan ekspansi ke Selatan, Arthur Blank AMB Group melihat itu sebagai sebuah kesempatan. Mumpung ada alasan untuk mendirikan sebuah klub sepak bola, mereka pun akhirnya mendirikan klub sepak bola. Pokoknya, biar bagaimana pun, stadion yang kini bernama Mercedes-Benz Stadium yang mewah itu harus dibangun.
ADVERTISEMENT
Oshan khawatir bahwa aji mumpung itu nantinya bakal membuat Atlanta United mati prematur. Pasalnya, biar bagaimana juga kepentingan utama Arthur Blank AMB Group adalah Falcons. Jika nantinya United dianaktirikan, maka klub ini bakal menghadapi kejamnya perlakuan penonton olahraga Atlanta yang begitu mudah berpaling.
Atlanta Hawks dan Atlanta Thrashers menjadi dua contoh yang dikedepankan Oshan. Hawks adalah tim NBA yang sudah bercokol di Atlanta sejak 1968. Namun, karena tim ini payahnya bukan main, mereka pun ditinggalkan penonton. Dalam beberapa musim ke belakang, rata-rata jumlah penonton Hawks selalu berada di tiga terbawah. Sementara, tim hoki es Thrashers bahkan harus angkat kaki menuju Kanada.
Argumen Oshan sebenarnya cukup kuat. Namun, ada dua hal yang dia lupakan. Yakni, kerinduan orang-orang Selatan terhadap sepak bola berkualitas serta betapa dinamisnya Atlanta itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Praktis sejak Tampa Bay Mutiny dan Miami Fusion gulung tikar pada 2001 para penggemar sepak bola di Selatan kesulitan untuk mendapat tontonan langsung berkualitas. Perlahan, sepak bola memang merambah kawasan ini lewat Orlando City FC. Namun, sambutan baru benar-benar meriah ketika Atlanta, yang disebut sebagai ibu kotanya kawasan Selatan itu, mendapatkan jatah ekspansi.
Atlanta disebut sebagai ibu kota wilayah Selatan karena kota ini merupakan barometer perubahan sosial politik dan dari dulu ia memang selalu berubah. Kota ini pernah dibumihanguskan pasukan Union karena menjadi sarang tentara Konfederasi. Namun, setelah itu ia mampu menjadi pusat pergerakan orang kulit hitam sehingga julukan Black Mecca pun tersemat kepadanya.
Belakangan, Atlanta berkembang menjadi salah satu pusat industri dan kebudayaan di Amerika sana. Sebagai salah satu pusat industri, Atlanta bisa menghasilkan produk domestik bruto (GDP) sampai 385 juta dolar AS. Dengan catatan sekian, Atlanta menjadi kota dengan GDP tertinggi nomor 21 di dunia. Hal ini pada akhirnya berujung pada perubahan demografi. Variasi penduduk Atlanta pun semakin kaya dengan kedatangan orang-orang baru ini.
ADVERTISEMENT
Suporter Atlanta United merayakan gol. (Foto: USA Today/Reuters/Adam Hagy)
zoom-in-whitePerbesar
Suporter Atlanta United merayakan gol. (Foto: USA Today/Reuters/Adam Hagy)
Dalam reportase apiknya untuk The Guardian yang berjudul ''A-T-L!': the soccer team outselling the NFL', Bryan Armen Graham menjelaskan bagaimana perubahan demografi itu begitu krusial dalam perkembangan sepak bola di Atlanta. Para pendatang itu adalah orang baru di Atlanta dan sepak bola pun merupakan hal baru di sana.
Lewat Atlanta United, para pendatang tadi benar-benar menjadi orang Atlanta. Lewat sepak bola, mereka mengasosiasikan diri dengan kota yang sekarang mereka tinggali. Kata United dalam Atlanta United terejawantahkan betul dalam semangat para penduduk kota ini.
Beruntung, antusiasme para penduduk kota ini mendapatkan ganjaran sempurna dengan keseriusan manajemen klub dalam menjalankan Atlanta United. Sedari awal, klub ini sudah punya filosofi dan ide yang jelas. Mereka pun akhirnya mengeksekusi itu dengan brilian.
ADVERTISEMENT
Di Amerika Serikat, hiburan adalah kata kunci dari segalanya. Maka, Atlanta United pun memiliki tujuan untuk memainkan sepak bola yang menghibur. Bukan tanpa alasan jika Gerardo 'Tata' Martino akhirnya ditunjuk menjadi pelatih. Martino sendiri dikenal sebagai sosok pelatih yang menganut mazhab sepak bola ala Marcelo Bielsa.
Namun, Martino saja jelas tidak cukup. Untuk mengeksekusi ide permainan Martino, United butuh pemain yang pas. Di situlah kemudian Darren Eales berperan penting.
Eales dulunya pernah menjabat sebagai direktur administrasi sepak bola di Tottenham Hotspur. Oleh Arthur Blank AMB Group, Eales direkrut untuk menjadi presiden klub. Pada dasarnya, segala keberhasilan United saat ini merupakan buah dari pemikiran Eales.
Dalam wawancara eksklusif dengan The Guardian, Eales bertutur bahwa dia tidak membutuhkan sosok David Beckham untuk mencapai kejayaan. Alih-alih mengejar bintang seperti Beckham, United lebih memilih untuk memperkuat jaringan rekrutmennya demi bisa mendapatkan pemain-pemain potensial dengan harga miring.
ADVERTISEMENT
Josef Martinez (kiri) dan Hector Villalba. (Foto: USA Today/Reuters/Brett Davis)
zoom-in-whitePerbesar
Josef Martinez (kiri) dan Hector Villalba. (Foto: USA Today/Reuters/Brett Davis)
Hasilnya pun kini sudah tampak. Di Atlanta United, pemain-pemain seperti Josef Martinez, Miguel Almiron, Ezequiel Barco, dan Hector Villalba kini telah bertransformasi menjadi bintang. Martinez yang pada musim 2018 mencetak 35 gol dan 6 assist dari 39 laga itu menjadi pemain yang jersinya paling laku setelah Zlatan Ibrahimovic dan Carlos Vela. Kemudian, penjualan jersi Almiron pun berada di atas Bastian Schweinsteiger.
Cara tersebut digunakan United karena Eales sadar bagaimana lokasi timnya di rantai makanan industri sepak bola. Oleh karena itu dia butuh rencana agar Atlanta United bisa bertahan lama. Mendatangkan bintang memang memiliki keuntungannya tersendiri tetapi untuk jangka panjang cara itu tak menjamin apa-apa.
***
Keberanian adalah kuncinya. Tetapi, kecerdasan tak boleh dilupakan. Atlanta United boleh saja lahir dari alasan yang salah di kota yang salah, tetapi keberanian dan kecerdasan itulah yang kemudian mengantarkan mereka ke tempat yang benar.
ADVERTISEMENT
Bagi orang-orang Atlanta, keberhasilan United menjuarai MLS adalah sebuah pelepas dahaga. Sudah 22 tahun tidak pernah ada pesta perayaan olahraga di sana, tepatnya sejak Atlanta Braves menjuarai MLB World Series 1995.
Falcons punya kans untuk mengenyahkan kutukan itu pada 2017 dalam ajang Super Bowl LI. Sampai kuarter ketiga mereka berhasil mengungguli New England Patriots dengan skor 28-3. Namun, setelah itu mereka tertidur dan akhirnya kalah 28-34. Bukannya menghilangkan, Falcons justru melanggengkan kutukan.
Pada akhirnya, bukan football, bukan basket, bukan bisbol, apalagi hoki yang memutus kesialan Atlanta, melainkan sepak bola. Keberhasilan United itu memang sudah memakan tumbal dengan perginya Martino dan munculnya rumor kepindahan Almiron ke Premier League. Namun, Atlanta United tak perlu melihat itu sebagai sebuah cobaan karena sebenarnya hilangnya nama-nama besar adalah bentuk pengakuan yang pantas mereka dapatkan.
ADVERTISEMENT