Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Melihat Kegigihan Pesepak Bola Difabel di Bandung: Mengejar Mimpi, Menanti Janji
4 Desember 2021 9:00 WIB
·
waktu baca 2 menitDiperbarui 5 Maret 2022 13:14 WIB
Aditya tidak pernah menduga. Kakinya yang semula utuh–bahkan lihai menendang dan menggiring bola–mesti diamputasi karena kesalahan penanganan ketika dia mengalami patah tulang pada 2019 lalu. Aditya yang bercita-cita merumput di Persib Bandung dan menjadi pemain profesional di sana pun terpaksa mengubur keinginannya dalam-dalam.
Tak berselang lama, harapan itu kembali tiba. Aditya ditawari untuk masuk ke klub sepak bola khusus para penyandang disabilitas, Garuda Indonesia Amputee Football ( Garuda INAF). Lelaki kelahiran Palembang, 15 Juni 1997, itu pun kembali bersemangat.
Dalam sekejap, Aditya kembali bisa bermain bola lagi karena sebetulnya lelaki 24 tahun itu pernah menjalani pendidikan dan pelatihan (diklat) di Persib Bandung sejak 2014. Ditambah lagi, menjalani kegemarannya menyepak bola–meski dalam kondisi yang berbeda 180 derajat dibandingkan sebelumnya–sudah menjadi obat tersendiri baginya.
Aditya menjadi satu dari sekitar 22,5 juta penyandang disabilitas di Indonesia atau lebih dari 8 persen total penduduk saat ini. Mereka memiliki kesempatan yang sangat terbatas untuk bekerja dan berkontribusi kepada masyarakat.
Problem di masyarakat ini perlu disorot untuk membawa kesadaran tentang keberadaan penyandang disabilitas seperti Aditya dan sekian juta orang lainnya. Bertepatan dengan momen Hari Penyandang Disabilitas Internasional pada 3 Desember 2021, Aditya pun membawa semangat ini sekaligus mengkampanyekan pemenuhan fasilitas yang dapat membantu mereka.
Karenanya, dia seringkali mengunggah kegiatan bersepak bolanya di media sosial. Selain untuk memberikan semangat ke sesama penyandang disabilitas, tetapi juga sekaligus untuk mengkampanyekan pemenuhan fasilitas yang layak bagi mereka.
"Di medsos, saya banyak ketemu sesama penyandang disabilitas. Kami berkomunikasi, menjalin hubungan silaturahmi, dan itu menguatkan kami," kata Adit.
Adit merasakan fasilitas penunjang penyandang disabilitas masih banyak yang kurang. Kewajiban negara memenuhi fasilitas bagi penyandang disabilitas belum terwujud merata.
Mau tak mau, Adit berjuang untuk mandiri dan menyetarakan diri di tengah janji negara memenuhi fasilitas untuk kaum difabel yang hingga kini belum jelas realisasinya.
Tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas untuk menghormati, melindungi, memenuhi dan memajukan hak-hak penyandang disabilitas. Sudah hampir sewindu undang-undang itu disahkan, tetapi realisasinya belum cukup terasa.