Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Cedera adalah momok bagi atlet mana pun, tak terkecuali atlet sepak bola. Tak jarang, cedera bisa merenggut masa depan mereka begitu saja.
ADVERTISEMENT
Bak gelas kaca, tubuh seorang atlet sebenarnya sangat rapuh. Ini memang terdengar aneh. Namun, banyak kejadian yang sudah membuktikan pengandaian itu. Seorang atlet, termasuk pesepak bola, memang lebih mudah terkena cedera.
Cedera itu pun bisa menyerang bagian tubuh mana saja. Kepala, engkel, paha, pinggang, lutut, bahkan selangkangan, semua bisa dengan mudah menimpa para pesepak bola. Memang mereka tidak menginginkannya, tapi, ya, semua itu bisa terjadi. Benturan, duel, dan tekel di atas lapangan jadi penyebab utamanya.
Sebagai fisioterapis Timnas U-23 Indonesia, Asep Azis sudah sangat familiar dengan cedera-cedera di sepak bola. Pemahaman inilah yang mengantarkannya ikut dalam tim seleksi pemain Timnas U-22 sejak Piala AFF U-22 2019 silam. Ia memeriksa apakah seorang pemain membawa cedera dari klubnya atau tidak.
ADVERTISEMENT
Mengenai cedera itu sendiri, Asep membagi cedera menjadi dua: cedera saat latihan dan cedera saat pertandingan. Untuk cedera saat latihan, biasanya kemungkinan cedera yang muncul adalah hamstring strain, Ini adalah situasi di mana otot hamstring mengalami robekan atau tertarik terlalu kuat. Biasanya, cedera macam ini terjadi karena pemanasan yang kurang benar.
"Tapi kalau misalkan di dalam pertandingan, itu lebih banyak lagi jenisnya. Yang paling banyak ada contussion, benturan, memar, biasanya di daerah paha dan pinggang. Terus juga sprained ankle, cedera engkel, itu juga salah satu yang sering terjadi," ujar Asep saat diwawancara di Crowne Hotel Plaza, Hanoi, Senin (25/3/2019) silam.
"Dan yang paling ditakutkan pemain adalah ketika mereka mengalami cedera lutut, karena apabila terkena cedera ini, kaya ACL, MCL, waktu pemulihannya lebih lama. Bahkan beberapa kondisi yang misalkan sudah putus, itu memerlukan tindakan operasi dan pemulihannya bisa 6 sampai 9 bulan," tambahnya.
ADVERTISEMENT
Cedera bagi seorang atlet adalah sesuatu yang tak bisa dihindari dan dicegah. Oleh karena itu, menurut Asep, yang perlu dilakukan bukanlah pencegahan tetapi bagaimana caranya mengurangi risiko cedera itu sendiri.
Untuk mengurangi risiko cedera ini ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Untuk mengetahui risiko cedera, hal pertama yang bisa dilakukan adalah memerhatikan anatomi tubuh dari pemain. Apakah sang pemain mempunyai kaki flat, atau lututnya berbentuk X, hal-hal semacam itu bisa memperbesar risiko cedera.
"Tapi, ada juga risiko lainnya. Misalkan, mereka punya riwayat cedera yang tidak ditangani dengan benar, dan mereka tak dapat program pemulihan tepat. Lalu, kondisi kebugaran juga berpengaruh," ungkap Asep.
Asep berpendapat bahwa kebugaran adalah salah satu faktor penting yang dapat mengurangi risiko cedera seorang pemain. Saat pemain berada dalam kondisi bugar, maka ia akan melakukan gerakan-gerakan yang minim potensi cedera. Beda ceritanya ketika mereka kelelahan, maka tingkat konsentrasi menurun.
ADVERTISEMENT
Saat tingkat konsentrasi menurun itulah para pemain berpotensi melakukan gerakan-gerakan yang berujung pada hadirnya cedera. Maka, Asep menilai bahwa kebugaran adalah hal penting dalam usaha seorang pemain mengurangi risiko cedera.
"Tapi, yang paling penting, adalah bagaimana para pemain bisa me-manage tubuhnya. Mereka tahu bagaimana program untuk menguatkan otot tubuh, karena setiap orang pasti akan berbeda. Bahkan, setiap posisi sendiri punya spesifikasi otot berbeda," ujarnya.
Jika benturan dan kondisi tubuh sang atlet jadi faktor internal dalam munculnya sebuah cedera, ada pula faktor eksternal. Dalam hal ini, lapangan adalah faktor eksternal yang dimaksud. Sebagai olahraga yang dieksekusi dengan gerakan cepat, bermain di lapangan dengan permukaan buruk kian memperbesar risiko cedera. Misal, ketika seorang pemain terpeleset di lapangan tidak rata, engkelnya bisa terkilir.
ADVERTISEMENT
"Lalu jika lapangan licin. Lapangan licin karena hujan akan membuat para pemain ototnya bekerja lebih maksimal, karena mereka akan mempertahankan bagaimana tubuhnya supaya tidak jatuh. Jadi ototnya bekerja lebih berat dan mereka akan berisiko mengalami kram otot," tutur Asep.
Mendengar penjelasan di atas, tampaknya memang cedera adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari, ya. Ada saja faktor yang bisa membuat seorang pemain/atlet mengalami cedera, bahkan cedera parah. Lalu, apakah atlet/pemain harus takut?
Menurut Asep, di sinilah peran dari fisioterapis diperlukan. Sebagai seorang fisioterapis, ia sudah sering memberikan program bagi para pemain untuk mengurangi risiko cedera yang dimiliki. Program yang diberikan Asep berkisar pada latihan menjaga kebugaran serta latihan memperkuat otot.
ADVERTISEMENT
"Jadi sebenarnya dalam melakukan suatu proses recovery, pemulihan cedera, rehabilitasi, merupakan komponen yang saling berintegrasi antara dokter tim, pelatih fisik, fisioterapis, dan pelatih kepala. Kami sebagai tim medis bertanggung jawab untuk mengembalikan kondisi pemain," ujar Asep.
Dari sini, bisa disimpulkan bahwa cara mengurangi risiko cedera, entah bagi atlet maupun orang biasa, adalah dengan melatih tubuh dengan baik. Sebab, tubuh ini memang diciptakan untuk dirawat dan disayangi, bukan untuk digunakan secara salah dan berlebihan.