Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Tidak mudah memperbaiki kepercayaan diri dan kembali menampilkan performa terbaik setelah satu musim yang (teramat) buruk. Namun, Claudio Bravo menunjukkan bahwa ia mampu melakukan apa yang baru saja kami sebut tidak mudah itu.
ADVERTISEMENT
Pada Minggu (2/7/2017) malam waktu setempat, situs resmi Manchester City mengunggah artikel berjudul “Confederations Cup Heartbreak for Claudio Bravo”. Kekalahan memilukan untuk Claudio Bravo di Piala Konfederasi. Artikel tersebut naik tak lama setelah Cile, yang diperkuat Bravo, ditaklukkan Jerman 0-1 di final.
Ada beberapa hal yang bisa ditarik dari judul tersebut. Pertama, sebagai kesebelasan yang menaungi Bravo, City boleh dibilang cukup bangga dengan performa sang kiper; kedua, saking bangganya dengan Bravo, mereka merasa Cile semestinya tak layak kalah; ketiga, City juga harus mengingat, yang bermain di lapangan bukan cuma kiper seorang.
Ya, kiper, pada intinya, hanyalah sebuah kepingan kecil bagi kesuksesan sebuah kesebelasan secara keseluruhan. Sebagus apapun seorang kiper, mereka boleh jadi tidak akan berdaya menghadapi tim yang secara kolektif memang di atas rata-rata —seperti halnya Jerman.
ADVERTISEMENT
Namun, tentu ada alasan mengapa City bisa begitu kecewanya melihat Bravo mengangkat Piala Konfederasi. Kami akan beberkan beberapa alasannya, tapi sebelum itu, mari memutar waktu ke belakang untuk melihat bagaimana performa Bravo di Premier League musim 2016/2017.
Bravo boleh dibilang merupakan pembelian flop. Penilaian yang satu ini tidak bisa dibantah karena, selain didatangkan dengan harga mencapai 17 juta poundsterling, penampilan Bravo justru di bawah standar yang diharapkan.
Yah, kalau dia tidak buruk, bagaimana mungkin pos penjaga gawang diserahkan kepada Willy Caballero menjelang musim berakhir? Atau, kalau Bravo tidak buruk, mengapa Pep Guardiola sampai harus mendatangkan Ederson Moraes, kiper berusia 23 tahun asal Brasil, dari Benfica dengan harga 35 juta pounds?
ADVERTISEMENT
Guardiola mendatangkan Bravo karena merasa kiper utama City sebelumnya, Joe Hart, tidak sesuai dengan kriterianya. Berbeda dengan Hart, Bravo bisa mendistribusikan bola dari belakang, sesuatu yang esensial bagi filosofi permainan Guardiola. Mendatangkan kiper yang bagus dengan distribusi bola memang sah-sah saja, asal tugas utamanya —menyelamatkan gawang— juga tidak ditinggalkan.
Yang jadi masalah, Bravo punya catatan buruk dalam melakukan penyelamatan. Menurut catatan Squawka, Bravo punya catatan 1,23 penyelamatan per laga (dari 22 kali bermain). Catatan tersebut lebih buruk dari Caballero yang punya rata-rata penyelamatan 1,59 (dari 17 kali bermain).
Lalu, ketika City dikalahkan Everton 0-4 dan ditahan imbang Tottenham Hotspur 2-2 pada Januari silam, media-media Inggris ramai-ramai mengkritiknya. Bagaimana tidak, dari 6 shot on target yang dilepaskan lawan pada kedua laga tersebut, semuanya gagal diselamatkan oleh Bravo.
ADVERTISEMENT
“Yah, setidaknya dia bagus dengan kakinya.” Ucapan yang terakhir ini kerap terdengar kalau melihat catatan Bravo itu. Ucapan yang bernada mencemooh, tentu saja.
Dengan kinerja yang buruk di musim lalu, ditambah dengan cedera yang membekapnya tepat sebelum Piala Konfederasi dimulai, Bravo lalu menjungkalkan banyak pandangan miring. Ia tampil apik dan, pada puncaknya, ia menjadi pahlawan kemenangan Cile di babak semifinal.
Pada laga melawan Portugal tersebut, skor 0-0 bertahan selama 120 menit. Lalu, seperti halnya pertandingan sepak bola pada umumnya, babak adu penalti pun dilangsungkan untuk menentukan pemenang. Bravo, kiper yang diolok-olok di Inggris —dan di dunia maya— itu, unjuk kebolehan: tiga penalti, dari tiga penendang pertama Portugal, digagalkannya. Cile pun menang 3-0 di babak tos-tosan itu.
ADVERTISEMENT
Karena kepiawaian Bravo itu, pelatih Jerman, Joachim Loew, sampai mengatakan bahwa timnya akan bersiap untuk babak adu penalti, kendati Loew sendiri tidak merasa inferior. Namun, rupanya Jerman tidak perlu sampai ke babak adu penalti untuk menundukkan Cile.
Meski begitu, Bravo tetap tampil oke. Akibat dominasi penguasaan bola Cile, Jerman hanya mampu melepaskan 3 shot on target sepanjang laga. Die Mannschaft pada akhirnya memang tampil lebih efektif, karena 1 attempt on target di antaranya mereka maksimalkan menjadi gol. Namun, 2 attempts on target lainnya dibendung oleh Bravo.
“Dia terlihat begitu meyakinkan pada laga melawan Jerman. Penyelamatan terbaiknya adalah ketika menggagalkan tendangan Julian Draxler yang bisa saja menjadi gol indah,” demikian tulis situs resmi City.
ADVERTISEMENT
Kendati Cile akhirnya kalah, Bravo tetap mendapatkan gelar membanggakan: Golden Glove, yang mana diberikan untuk kiper terbaik turnamen. Sebuah gelar yang layak mendapatkan sedikit aplaus.
Kalau sudah begini, layaklah Bravo pulang ke Manchester untuk sekali lagi memperjuangkan tempatnya. Dan berhati-hatilah di sana, Ederson.