Memindai Benang Merah Timnas U-19 era Evan Dimas dengan Egy Maulana

22 November 2017 17:53 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Evan Dimas dan Egy Maulana (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Evan Dimas dan Egy Maulana (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
ADVERTISEMENT
Tim Nasional (Timnas) Indonesia U-19 di tangan Indra Sjafri selalu mampu menampilkan permainan yang memikat. Dua kali menangani Timnas U-19, dua kali pula Indra memberikan harapan akan masa depan sepak bola Indonesia.
ADVERTISEMENT
Harapan itu sempat datang pada 2013, kala Indra berhasil mempersembahkan trofi Piala AFF untuk pertama kalinya dalam sejarah. Selain meraih trofi, Indra juga berhasil memunculkan banyak pemain muda berbakat--yang bahkan bertahan hingga kini. Sebut saja seperti Evan Dimas Darmono, Hansamu Yama Pranata, Ilham Udin Armaiyn, Septian David Maulana, Awan Setho, dan Hargianto.
Setelah diberhentikan oleh Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) menyusul kegagalan di Piala Asia U-19 pada 2014 silam, Indra kembali ditunjuk federasi untuk menukangi Timnas U-19 pada tahun ini. Polanya pun hampir serupa ketika empat tahun silam yakni dengan berhasil menemukan talenta-telanta terpendam layaknya Egy Maulana Vikri, Nurhidayat, M. Luthfi, M. Iqbal, dan WItan Sulaeman.
Turun di Piala AFF 2017, pecinta sepak bola Tanah Air kembali berharap Indra mampu mengulangi pencapaian serupa pada 2013. Meski sempat kalah melawan Vietnam, Timnas U-19 kala itu berhasil melaju ke semifinal berbekal sembilan poin, 19 gol, dan hanya lima kali kebobolan.
ADVERTISEMENT
Namun, harapan tersebut runtuh saat Thailand berhasil memenangkan pertandingan melalui adu tendangan penalti di babak semifinal. Timnas U-19 finis di posisi ketiga usai menghajar Myanmar dalam laga perebutan tempat ketiga sekaligus membuat Indra gagal mengulangi pencapaiannya.
Jika menilik dari dua Timnas U-19 yang pernah diasuh oleh Indra, mana yang lebih baik? Adakah benang merah dari kedua tim tersebut?
Indra dikenal sebagai pelatih yang menerapkan gaya permainan possesion football. Hampir dalam setiap laga, timnya mampu unggul dalam penguasaan bola.
Tak hanya itu, napas dari kedua tim tersebut sejatinya juga serupa yakni dengan memakai pe-pe-pa (pendek-pendek-panjang). Maksudnya adalah memainkan bola-bola pendek dari kaki ke kaki dengan variasi umpan-umpan panjang ke sisi atau belakang pertahanan lawan.
ADVERTISEMENT
Yang menjadi pembeda--salah satunya--adalah formasi yang dipakai. Pada 2013, Indra menerapkan pola 4-3-3 dengan Evan Dimas, Hargianto, dan Zulfiandi diplot sebagai poros permainan di lini tengah. Di depannya, Indra sangat mengandalkan kecepatan dari Ilham Udin Armaiyn dan Maldini Pali atau pelapisnya Septian David Maulana dan Dinan Javier.
Pemain terbaik Timnas U-19 pada 2013 dan 2017. (Foto: Faisal Numan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pemain terbaik Timnas U-19 pada 2013 dan 2017. (Foto: Faisal Numan/kumparan)
Evan Dimas menjelma menjadi roh dari skuat asuhan Indra kala itu. Dengan kemampuan menggiring bola ciamik, Evan juga memiliki kelebihan karena mampu mengatur ritme pertandingan.
Tak hanya itu, Evan juga punya kemampuan melepaskan umpan dan tendangan dengan akurat. Singkatnya, pemain yang sempat trial di Espanyol itu merupakan pemain yang komplit. Tiga golnya ke gawang Korea Selatan dalam laga pamungkas kualifikasi Piala Asia U-19 pada 2014 bisa dijadikan acuan.
ADVERTISEMENT
Namun, Evan tak bekerja sendiri. Masih ada Hargianto dan Zulfiandi yang menemaninya di lini tengah. Ketiganya bermain saling melengkapi. Ketika Evan menyerang, ada Hargianto yang siap memotong aliran bola jika terjadi serangan balik.
Ketika diserang, Zulfiandi dan Hargianto bekerja keras membendung serangan lawan, sementara Evan bersiap-siap memungut bola untuk gantian melancarkan serangan balik kilat. Ketiga pemain inilah yang menjadi kekuatan Indra Sjafri untuk mengekplorasi permainan lawan.
Meski demikian, Timnas U-19 ketika itu juga bukan tanpa celah. Hal terbesar terlihat dari ketiadaan penyerang murni yang andal. Nama Muchlis Hadining Saifulloh yang kerap menjadi starter dianggap kurang mumpuni. Tercatat, Muchlis hanya mampu melesakkan tujuh gol dari 23 penampilannya selama berseragam Timnas U-19.
ADVERTISEMENT
Selang empat tahun, perubahan terjadi. Meski masih memakai pola dasar 4-3-3, Timnas U-19 yang dipersiapkan menuju Piala AFF 2017 mengembangkan permainan mereka dengan formasi anyar 4-1-3-1-1. Formasi itu ditemukan Indra ketika mereka berlaga di Turnamen Toulon yang akhirnya bertahan hingga turun di kualifikasi Piala Asia U-19 2017.
Yang menjadi pembeda antara tim 2017 dengan 2013 ialah kolaborasi di lini tengah. Tidak adanya gelandang yang memiliki kemampuan sekelas Evan Dimas menjadi penyebabnya.
Untuk mengatasi permasalahan itu, aliran bola lebih banyak diarahkan ke lini sayap. Kecepatan dan kemampuan mengirim bola silang yang baik dari Rifat Marasabessy dan Firza Andika sangat diandalkan. Rifat dan Firza bahkan sangat aktif membantu serangan sampai menusuk ke jantung pertahanan lawan. Hal yang jarang dilakukan oleh Putu Gede atau Fatchurohman pada 2013.
ADVERTISEMENT
Sementara, lini sayap yang ditempati M.Iqbal dan Witan Sulaeman tidak bermain melebar saat melakukan penyerangan. Kedua pemain ini kerap masuk dan mendekat ke kotak penalti lawan dari tengah lapangan.
Timnas Indonesia U-19 melawan Timnas Malaysia U-19 (Foto: PSSI)
zoom-in-whitePerbesar
Timnas Indonesia U-19 melawan Timnas Malaysia U-19 (Foto: PSSI)
Namun, pada tim 2017, Indra punya seorang Egy Maulana Vikri. Kemampuan olah bolanya serta kelincahan di atas rata-rata membuat serangan mereka terasa lebih menggigit. Egy menjadi tumpuan untuk mengobrak-abrik pertahanan lawan.
Dan, perbedaan lain pada Timnas U-19 tahun ini adalah memiliki sosok striker murni yang mumpuni pada diri M. Rafli Mursalim dan Hanis Saghara. Keduanya punya kemampuan sama baiknya. Hanis bahkan sempat mencetak gol (satu-satunya gol Timnas U-19) ke gawang Skotlandia U-20 di Turnamen Toulon.
Dari dua tim yang telah ditangani, Indra terlihat memegang teguh filosofi permainanya. Tak pula ragu mempertahankan gaya bermain pe-pe-pa yang dinilai cocok dengan pemain-pemain Indonesia. Ketika Luis Milla mulai melatih Timnas U-23 dan senior, banyak pemain jebolan Timnas U-19 bahkan mengakui apa yang diterapkan Indra memiliki guratan yang sama dengan Milla.
ADVERTISEMENT
Jika kembali ke pertanyaan awal, mana yang lebih baik? Timnas U-19 era Evan Dimas dkk. mungkin lebih unggul menyusul raihan trofi pada Piala AFF 2013.
Kendati demikian, Timnas U-19 era Egy Maulana Vikri dan kolega juga telah menunjukkan potensi besarnya. Apalagi, mereka baru berlatih bersama selama delapan bulan (berbeda dengan Evan Dimas cs yang sudah dua tahun).
Jika lebih lama bersama-sama, bukan tak mungkin Egy, Iqbal, Witan dan penggawa Timnas U-19 lainnya tampil semakin memikat dengan meraih trofi Piala AFF 2018 dan lolos ke Piala Dunia U-20 via Piala Asia U-19 2018.
Namun, sayangnya, tak akan ada lagi sosok pelatih sekaligus bapak seperti Indra Sjafri yang berteriak di tepi lapangan.
ADVERTISEMENT