Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Memisahkan Sepak Bola dengan Buruh itu Mustahil, Bung!
1 Mei 2018 9:15 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:09 WIB

ADVERTISEMENT
Maret 2018, London Stadium berubah menjadi seperti kuali yang bergejolak. Amarah menggelegak di sana. Pertandingan sepak bola antara West Ham United dan Burnley pun harus terinterupsi oleh aksi yang kemudian menuai kecaman serta pujian di saat yang bersamaan.
ADVERTISEMENT
Suporter West Ham marah besar. Segala uneg-uneg yang telah mereka pendam selama hampir dua tahun akhirnya ditumpahkan. Lapangan permainan mereka invasi dan boks direktur mereka datangi. Dua lelaki tua dengan rambut penuh uban, David Gold dan David Sullivan, pada akhirnya harus diamankan sebelum misil yang dilemparkan ke arah mereka menimbulkan malapetaka.
Gold dan Sullivan adalah bos besar West Ham. Orang-orang menjuluki mereka sebagai The Dildo Brothers, merujuk pada masa lalu mereka sebagai pengusaha hiburan dewasa. Sejak mengakuisisi West Ham pada 2010, mereka senantiasa menyuapi para suporter dengan janji-janji manis. Dari mulut mereka selalu muncul wacana bahwa West Ham akan menjadi klub sepak bola berkelas dunia.
Puncaknya adalah pada 2016 silam. Mereka memindahkan West Ham dari rumah spiritualnya di Boleyn Ground ke stadion megah yang dibangun untuk Olimpiade 2012.
ADVERTISEMENT
Bagi Gold dan Sullivan, kepindahan West Ham ke London Stadium itu adalah sebuah keberhasilan. Biar bagaimana pun, stadion tersebut punya kapasitas yang jauh lebih besar ketimbang Upton Park di Boleyn Ground. Kapasitas yang lebih besar seharusnya bisa mendatangkan untung yang lebih besar pula dan itulah yang jadi pertimbangan utama The Dildo Brothers dalam rangka menjadikan West Ham klub berkelas dunia.
Namun, bagi para suporter setia West Ham, langkah Gold dan Sullivan itu adalah sebuah pengkhianatan. Dengan kepindahan tersebut, para suporter jadi tercerabut dari akarnya. Mereka tak lagi bisa melakukan hal-hal yang sudah menjadi kebiasaan seperti mengantre di kios pai setempat atau memasang taruhan sebelum masuk ke stadion. Semenjak pindah ke London Stadium, para suporter kehilangan jiwanya.
ADVERTISEMENT
Apa yang dilakukan Gold dan Sullivan itu hanyalah bukti teranyar bahwa sepak bola tak lagi ramah kepada kaum yang dulu membesarkannya. Kelas pekerja yang membuat sepak bola jadi salah satu produk budaya paling populer itu disingkirkan demi profit, profit, dan profit. Dengan makin mahalnya biaya untuk menyaksikan sepak bola, para suporter kelas pekerja pun semakin terpinggirkan.
Ini jelas ironis. Terlebih, praktik pemerasan terhadap suporter dari kaum buruh itu paling kerap terjadi di Inggris, khususnya di Premier League. Padahal, kelas pekerja Inggris adalah kaum yang paling bertanggung jawab atas mengglobalnya sepak bola seperti sekarang.
Di Inggris yang merupakan tempat lahirnya sepak bola modern itu, sepak bola mulai muncul ketika industrialisasi sedang mencapai puncaknya pada paruh kedua abad ke-19. Manchester United, misalnya, didirikan oleh para pekerja Lancashire and Yorkshire Railway pada 1878.
ADVERTISEMENT

Awalnya, nama Manchester United adalah Newton Heath yang merupakan nama daerah para pekerja itu ditempatkan. Tim sepak bola yang mereka bentuk ini nantinya terlibat dalam pertandingan-pertandingan antardepartemen di perusahaan atau melawan tim perusahaan lain.
Dari Inggris, sepak bola kemudian tersebar ke seluruh dunia dan dalam proses penyebaran itu, andil kaum pekerja sama sekali tidak bisa dinafikan. Di Brasil, meski awalnya diperkenalkan oleh sosok terpelajar bernama Charles Miller, sepak bola pada akhirnya dibesarkan juga oleh kalangan buruh.
Awalnya, Miller yang bekerja di jawatan kereta api itu memperkenalkan sepak bola kepada para koleganya. Lambat laun, karena permainan ini memang mudah dipahami dan dimainkan, ia menjadi populer. Setelah itu, buruh-buruh di perusahaan gas di kota Sao Paulo pun ikut dalam euforia ini sampai akhirnya, sepak bola berhasil menggusur popularitas kriket.
ADVERTISEMENT
Brasil tidak sendiri. Di Spanyol, lahirnya Athletic Club de Bilbao juga tidak bisa dipisahkan dari peran masyarakat kelas pekerja. Pada 1894, sepak bola pertama kali dimainkan di Bilbao dan mereka yang terlibat pada pertandingan itu di antaranya merupakan para pekerja telegram dan tambang dari Inggris.
Dalam perkembangannya pun sepak bola tetap lekat dengan masyarakat kelas pekerja sampai akhirnya, dua hal ini sempat menjadi sinonim. Salah satu contohnya adalah para suporter West Ham tadi.

Di kalangan klub-klub London, West Ham adalah salah satu klub yang paling sederhana dan bersahaja. Mereka yang datang ke Upton Park dan hidup dari aktivitas persepakbolaan di stadion tersebut adalah orang-orang kelas pekerja. Tak cuma itu, West Ham adalah klub yang punya kebiasaan membesarkan para pemuda lokal di akademinya. Para pemuda lokal ini pun datang dari kelas pekerja.
ADVERTISEMENT
Itulah mengapa, West Ham United dianggap lebih dari sekadar klub sepak bola. Ia adalah sebuah komunitas, sebuah keluarga, dan sebuah support system bagi masyarakat setempat. West Ham contoh dari bagaimana kultur sepak bola dibentuk oleh kaum buruh. Maka dari itu, ketika kultur mereka dirampas secara semena-mena, para suporter meradang.
Contoh kedekatan sepak bola dengan kelas pekerja tak cuma sampai di situ. Meskipun saat ini sepak bola sudah menjadi industri besar, aktivisme-aktivisme khas buruh sebenarnya masih kerap tampak. Salah satu contohnya adalah dengan keberadaan asosiasi pemain.
Di Serie A, pada 2011 silam, pernah terjadi pemogokan. Penyebabnya ada dua. Yang pertama, soal aturan pajak yang ditetapkan pemerintah Italia dan kedua adalah soal hak para pemain surplus untuk ikut berlatih bersama tim utama.
ADVERTISEMENT
Aturan pajak itu lahir setelah pemerintah menetapkan kebijakan pengetatan anggaran. Dari sana, orang-orang yang berpenghasilan lebih dari 90 ribu euro dan 150 euro per tahun dikenai pajak tambahan. Asosiasi pesepak bola Italia (AIC) menekan klub-klub Serie A untuk melakukan penyesuaian pada kontrak pemain terkait hal ini.

Sementara, soal pemain surplus tadi, para pemain yang dipinggirkan seperti Goran Pandev dan Federico Marchetti dilaran untuk mengikuti latihan bersama tim utama. Ketua AIC, Damiano Tommassi, menganggap bahwa hal ini tidak bisa dibenarkan. Maka dari itu, asosiasi pemain kemudian menawarkan solusi sementara yang akhirnya ditolak. Dari sinilah pemogokan itu berawal.
Selain soal asosiasi pemain yang sebenarnya tak jauh berbeda dari serikat pekerja, kedekatan kelas pekerja dengan sepak bola juga hadir dari sosok-sosok tertentu. Sir Alex Ferguson, misalnya.
ADVERTISEMENT
Ferguson sendiri lahir dari keluarga kelas pekerja di Glasgow sana. Jiwa pekerja itu dia bawa sampai akhirnya dia menjadi manajer Manchester United. Selain menekankan etos kerja keras yang kemudian menjadi ciri khas klub, dia pun senantiasa memperlakukan semua orang di klub dengan setara, mulai dari direktur, pemain, sampai tukang rumput. Kultur kelas pekerja itulah yang menjadi ciri khas era manajerial Ferguson.
Dengan demikian, meski orang-orang kelas pekerja secara perlahan disingkirkan oleh sepak bola, olahraga ini sebetulnya tidak pernah bisa mengenyahkan jiwa kelas pekerjanya secara keseluruhan. Di balik gemerlapnya industri sepak bola, ada kultur yang sulit untuk dienyahkan begitu saja.
Apa yang dilakukan suporter West Ham tadi merupakan contoh dari apa yang terjadi ketika kultur itu coba dihilangkan. Maka dari itu, sudah semestinya para pemodal yang berkecimpung di sepak bola mawas diri dan melihat kembali ke akar dari olahraga ini.
ADVERTISEMENT