Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Buat yang lupa, kandang Tottenham kini bukan lagi White Hart Lane, melainkan Tottenham Hotspur Stadium. Itu adalah stadion 'super megah' yang hingga kini belum ada korporasi yang berani membeli hak penamaannya.
Jadi, White Hart Lane kini telah ditinggalkan, hanya tinggal kenangan. Walau begitu, memori yang telah terukir di sana tak boleh lekang oleh zaman.
Dan tentu saja, tak selalu ingatan yang menyenangkan, tetapi juga memalukan. Salah satunya, seperti yang cerita akan kumparanBOLA paparkan dalam stori ini. Silakan disimak.
Buka laci meja belajar kalian lebar-lebar, lalu melompatlah ke dalam mesin waktu yang ada di dalamnya. Atur waktunya, agar mesin itu membawa kalian melesat ke 13 November 2004.
Dengan begitu, kalian bisa tahu bahwa salah satu Derbi London Utara terfenomenal terjadi pada tanggal itu. Tottenham harus menjamu tamu yang merupakan rival berat sekaligus juara Premier League musim sebelumnya di White Hart Lane.
ADVERTISEMENT
Pada pertemuan di musim sebelumnya, tamu mereka itu numpang berpesta di sana. The Gunners menahan imbang si empunya rumah dengan skor 2-2. Sepintas, pasukan Arsene Wenger hanya membawa pulang 1 poin dari sana.
Akan tetapi, skor akhir itu sudah cukup membuat ofisial Premier League men-delivery trofi juara ke rumah mereka kala itu, Highbury. Namun sebelum itu, Patrick Vieira dan kolega menumpang 'hore-hore' di White Hart Lane.
Nah, sebagai ajang balas dendam, kali itu, Tottenham enggan membiarkan Arsenal pulang bahkan dengan satu poin di tangan. Pokoknya, armada Martin Jol bertekad untuk menang.
Niat itu tampak bakal terealisasi pada babak pertama setelah Tottenham unggul 1-0 berkat gol Noureddine Naybet. Sepakan kerasnya usai memanfaatkan salah antisipasi pemain Arsenal di momen tendangan bebas sukses merobek jala Jens Lehmann.
ADVERTISEMENT
Namun, keunggulan itu buyar di pengujung babak pertama. Thierry Henry mampu mengoyak gawang Paul Robinson.
Gol itu tampaknya meningkatkan moral pemain Arsenal karena mereka mampu menambah dua gol lagi pada babak kedua, yang masing-masing oleh Lauren (55') via sepakan penalti dan Vieira (60') yang mengandalkan aksi individu ciamiknya.
Hingga fase ini, publik tak salah jika berpikir bahwa Tottenham akan dipermalukan lagi. Namun, salah. Tuan rumah menolak mati.
Setelahnya, saling kejar-mengejar gol terjadi. Sepakan Jermaine Defoe ke sudut kiri gawang Arsenal mengubah skor jadi 2-3 pada menit 62. Lalu, Freddie Ljungberg kembali memperlebar jarak di papan skor menjadi 2-4 usai dengan cerdik lolos dari jebakan offside.
Lagi-lagi, tuan rumah ogah menyerah. Kembali memanfaatkan sitausi bola mati, Ledley King mengubah skor menjadi 3-4. Kemudian, gocekan maut Robert Pires yang disusul oleh tembakan mendatarnya kembali memperlebar keunggulan tim tamu jadi 3-5.
Namun, hei, Tottenham masih berniat bangkit. Memanfaatkan blunder Henry--ya, sang raja gol Arsenal ini bisa blunder juga--Reto Ziegler lalu mengirim umpan lambung yang kemudian dikonversi menjadi gol oleh Frederic Kanoute.
ADVERTISEMENT
Dan..... Ya, skor akhir laga itu adalah 4-5. Sembilan gol tercipta. Di akhir cerita, White Hart Lane tetap 'memerah'. Walau begitu, setidaknya, Tottenham telah berjuang dengan sebenar-benarnya, sehormat-hormatnya.
---
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona .