Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Mencintai Sepak Bola Indonesia, lalu Menuliskan Buku Tentangnya
25 Januari 2017 13:29 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:19 WIB
ADVERTISEMENT

kumparan mendapat kesempatan berbincang dengan Antony Sutton, pria Inggris yang begitu mencintai dan menggilai sepak bola Indonesia dengan sebaik-baiknya.
ADVERTISEMENT
Pada awalnya, Antony Sutton datang ke Indonesia untuk tujuan sama seperti bule-bule lain pada umumnya: berlibur. Ia datang pertama kali tahun 1987 dan langsung mengunjungi berbagai daerah; Jakarta, Bali, hingga Yogyakarta.
Lima belas tahun berselang, Sutton kembali menginjakan kaki di Indonesia. Kali ini, bukan liburan tujuannya. Pada tahun 2002 itu, ia memutuskan tinggal di Jakarta. Awalnya hanya sekadar untuk bekerja, tapi kemudian Sutton semakin kerasan karena ia menemukan tambatan hati, seorang wanita yang kelak menjadi istrinya.
Sutton berasal dari London Utara. Dan ia adalah penggila sepak bola. Klub kesayangannya, tentu saja, adalah Arsenal (maaf, Tottenham Hotspur). Sejak kecil, ia kerap diajak oleh sang ayah berkeliling Inggris untuk menonton Arsenal berlaga.
ADVERTISEMENT
Saking fanatiknya, ia mengaku rela melakukan apapun untuk menonton The Gunners. Ia pernah mengumpulkan uang saku untuk menonton Arsenal berlaga kandang-tandang. Atau jika Arsenal sedang tidak berlaga, ia tak berhenti menonton bola dan memilih menyaksikan klub-klub lokal London lainnya.
Kini, Sutton bukan lagi bocah --kendati ia enggan menyebutkan berapa umurnya--, tapi kecintaannya akan sepak bola masih tetap sama. Ia telah memiliki seorang anak, berusia 7 tahun, dan ia belum akan berhenti menonton sepak bola. Justru, ia semakin gila dengan si kulit bulat. Terlebih, setelah ia mulai menonton sepak bola di Indonesia.
Di salah satu kafe yang ada di sebuah mal di Jakarta Selatan, setelah meneguk bir di gelasnya, ia mulai bercerita kepada kumparan tentang awal mula pertemuannya terhadap sepak bola Indonesia.
ADVERTISEMENT

Pada 14 Januari 2006, Sutton mengajak sang istri menonton langsung pertandingan Persija Jakarta melawan Sriwijaya FC. Dengan taksi, mereka berdua berangkat ke Stadion Lebak Bulus. Kali itulah pertama kalinya Sutton menyaksikan langsung laga sepak bola Tanah Air. Dan setelah itu, ia mulai jatuh cinta.
"Saya nonton bola di Australia, di Thailand, di Jerman, di Inggris, di mana saja. Tapi setelah saya menonton satu pertandingan di sini, saya langsung suka. Ada budaya dan atmosfer yang berbeda di sini, suasana di stadion begitu luar biasa, banyak suporter-suporter yang gila. Luar biasa!"
Setelah pertandingan itu, Sutton memutuskan untuk tidak hanya menonton, tetapi memerhatikan (dan mengikuti) dengan seksama perkembangan sepak bola Indonesia. Total, hingga awal tahun 2017 ini, sudah lebih dari 200 pertandingan yang telah disaksikannya.
ADVERTISEMENT
"Saya pernah ke Jakarta, Bandung, Surabaya, Purwakarta, Sidoarjo, Malang, Yogyakarta, Palembang, Padang, Balikpapan, hingga Samarinda untuk menonton sepak bola," ujarnya.
Menariknya, Sutton tak hanya menonton divisi teratas sepak bola Indonesia saja. Ia juga menonton divisi-divisi bawah sepak bola Indonesia, seperti Divisi Utama atau Liga Nusantara. Bagi Sutton, ada sensasi tersendiri menyaksikan pertandingan-pertandingan itu. Dalam bahasanya, ada kebahagiaan tersendiri.
"Divisi-divisi bawah juga sepak bola, bukan? Jadi saya pikir itu sama saja, sama-sama sepak bola. Saya bisa melihat pertandingan yang bagus di sana, suporter memenuhi stadion, dan ada atmosfer yang luar biasa," ucapnya.
"Anda lihat sekarang pertandingan Liverpool melawan Manchester United begitu membosankan. Tapi jika Anda menonton pertandingan Divisi Utama, Anda bisa melihat pertandingan sepak bola yang begitu luar biasa, begitu menghibur. Jadi saya pikir tidak masalah divisi mana saja," tambahnya.
ADVERTISEMENT
Mengapa sedemikian gilanya Sutton menyukai sepak bola Indonesia, terutama divisi bawah?
Ia kemudian menjelaskannya. Dalam pandangannya, sepak bola di Indonesia memiliki kultur dan hal-hal non-teknis yang kuat. Dan itu, yang membuatnya semakin tertarik. Bahkan ia tak segan menyebutkan, jika bicara kultur, sepak bola Indonesia adalah yang terbaik di Asia Tenggara.
Bagi Sutton, kemeriahan sepak bola Indonesia saat ini mengingatkannya akan Inggris di masa lalu.
"Sepak bola sebuah wilayah adalah cerminan dari masyarakatnya. Jadi saya rasa, di Indonesia saya menemukan sepak bola yang sesungguhnya. Di Malaysia bukan sepak bola, di Thailand bukan sepak bola, di Singapura bukan sepak bola. Sepak bola Indonesia saat ini saya lihat seperti sepak bola Inggris 40 tahun lalu. Mereka sama-sama memiliki passion," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Sutton kemudian menceritakan, jika selama ia menonton sepak bola di negara-negara Asia Tenggara, sangat jarang ia menemui stadion-stadion penuh dengan suporter seperti di Indonesia. Suporter-suporter di Indonesia, menurutnya, memperlihatkan passion yang luar biasa.

Ia juga kemudian menyebutkan jika sepak bola Indonesia masih original. Menurutnya, konsep demokrasi yang diterapkan di negara ini, turut membuat sepak bola di Indonesia tak mudah berubah. Dari dulu, selalu banyak yang mau menonton sepak bola. Itu menurutnya berbanding terbalik dengan sepak bola Thailand yang baru merebak setelah 2009.
Sayangnya, ia juga mengakui jika keunggulan Indonesia atas negara-negara Asia Tenggara lain hanya perihal kultur. Tapi jika berbicara pertndingan di atas lapangan, Indonesia masih tertinggal dari Thailand. Menurutnya, fisik dan mental pesepak bola dan juga pelatih Indonesia, masih di bawah Negeri Gajah itu.
ADVERTISEMENT
"Alfred Riedl mungkin bilang dua tahun lagi Indonesia bisa mengalahkan Thailand. Tapi kita lihat bagaimana para pemainnya. Lihatlah pemain-pemain Thailand, Kawin (Thamsatchanan) dan Siroch (Chatthong). Badan mereka kekar, mereka mengatur pola makan. Coba lihat pemain Indonesia, mereka kecil-kecil. Mungkin terlalu sering makan bakso atau minum teh kemasan," tuturnya.
"Lihatlah juga Kiatisuk (Senamuang), saat jadi pemain, dia lebih banyak berkarier di luar negeri. Itu yang kemudian membentuk mentalnya. Karenanya ia bisa bagus sebagai pemain dan pelatih. Sekarang ada Chanatip (Songkrasin) yang bermain di Jepang," ujarnya
"Sekarang, coba lihat berapa banyak pemain Indonesia yang berkarier di luar negeri? Paling ada di Malaysia. Saya pikir siapa pun pelatihnya (Timnas Indonesia) pasti akan butuh waktu lama."
ADVERTISEMENT

Kendati demikian, Sutton mengaku bakal tetap memilih Indonesia dalam hal sepak bola. Ia sudah kadung cinta. Karenanya pula, sejak 2006, ia membuat sebuah blog pribadi yang berisi tulisan-tulisan tentang sepak bola Indonesia dan terkadang juga Asia Tenggara. Ia ingin merekam apa yang telah disaksikannya dalam sebuah tulisan.
Blog pribadi itu, pada awalnya hanya ia gunakan untuk menceritakan sepak bola Indonesia dan Asia Tenggara kepada orang-orang asing, khususnya untuk rekan-rekannya di Inggris. Ia kemudian menamakan blognya itu dengan nama Jakarta Casual. Sebuah nama yang menurutnya, bisa menarik perhatian banyak orang. Nama yang sama kemudian ia jadikan akun untuk Twitter-nya.
"Waktu itu (2006), tak ada satu pun website sepak bola Indonesia dalam bahasa Inggris. Saya adalah yang pertama. Saya memang sudah terpikir sejak lama untuk menulis, tapi tak mungkin saya menulis tentang Arsenal karena sudah banyak situs lain. Jadilah saya akhirnya memilih menulis tentang sepak bola Indonesia," cerita Sutton.
ADVERTISEMENT
"Lalu kemudian saya memikirkan namanya, saya ingin nama ini menjadi branding, enak didengar dan mudah diketahui orang. Jadinya saya tidak mungkin memilih nama seperti 'Antony Indonesia Football' atau 'Indonesia Football Blog' tidak akan banyak orang ingat. Jadi karena saya di Jakarta dan kata 'Casual' sangat dekat dengan Inggris, jadi saya akhirnya pilih nama 'Jakarta Casual'," sebutnya.
Jakarta Casual pada akhirnya kemudian tak hanya dikenal oleh rekan-rekan Sutton saja, tetapi juga masyarakat Indonesia. Kini, banyak yang telah tahu blog pribadinya. Bahkan di Twitter, Sutton telah memiliki 18 ribu pengikut. Walau pada awalnya, ia bercerita banyak sekali yang menganggapnya adalah anggota suporter Persija, Jakmania.
"Karena nama yang saya gunakan adalah Jakarta Casual, saya sering dikira suporter Persija. Saya pernah di-mention 'a***g, t*i b*b*!' di Twitter sama pendukung Persib Bandung. Tapi pada akhirnya mereka tahu kalau saya itu cuma penulis dan orang Inggris," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Kini, setelah berkeliling Indonesia, menyaksikan lebih dari 200 pertandingan, dan telah dikenal dengan nama Jakarta Casual, Sutton akan menerbitkan sebuah buku. Buku itu berjudul Sepakbola: The Indonesian Way of Life dan akan diluncurkan pada 14 Februari mendatang.
Setelah kembali meneguk bir di gelas keduanya, Sutton menutup ceritanya kepada kumparan. Tapi sebelum itu, ia kembali menegaskan jika sepak bola Indonesia dalam hal budayanya memang begitu luar biasa, dan karena itu, ia tidak bisa berhenti untuk kagum dan cinta.
"Tontonlah pertandingan sepak bola Indonesia, dan kemudian tonton juga pertandingan di Malaysia, Thailand, atau Vietnam. Percayalah, Indonesia adalah yang nomor satu."