news-card-video
26 Ramadhan 1446 HRabu, 26 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45

Menelusuri Jejak Penuh Liku Vigit Waluyo di Liga Indonesia

8 Januari 2019 10:56 WIB
clock
Diperbarui 15 Maret 2019 3:50 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Vigit Waluyo terduga pelaku pengaturan skor. (Foto: Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Vigit Waluyo terduga pelaku pengaturan skor. (Foto: Istimewa)
ADVERTISEMENT
Pada 1994, sepak bola nasional geger dengan keberhasilan Gelora Dewata menyabet gelar juara Piala Liga Indonesia setelah mengalahkan tuan rumah Mitra Surabaya 1-0 di partai final. Otomatis gelar tersebut membawa mereka tampil di Piala Winners Asia 1994.
ADVERTISEMENT
Haji Muhammad Mislan, sebagai pemilik Gelora Dewata, tentu semringah melihat pencapaian itu. Tak pelak, pada 1994 merupakan era kejayaan klub berjuluk 'Naga Hitam Putih' itu. Berlaga di level Asia merupakan dambaan setiap klub Indonesia. Gelora Dewata tak membutuhkan waktu lama untuk mencicipi turnamen antarklub di Asia itu.
Gelora Dewata mengawali berlaga di kompetisi level kedua Indonesia (Divisi I) sejak berdiri pada 1989. Mereka hanya butuh waktu satu musim untuk promosi ke level tertinggi Liga Indonesia (Divisi Utama). Perlahan tapi pasti, kiprah Gelora Dewata menanjak. Tim yang bermarkas di Bali itu menjelma menjadi kekuatan anyar Liga Indonesia dan puncaknya ialah prestasi pada 1994.
Mencuatnya nama Gelora Dewata sekaligus membuat nama sang pemilik naik daun. Haji Mislan, sapaan akrabnya, sontak menjadi orang yang paling disorot di sepak bola Indonesia. Pengusaha asal Sidoarjo itu terkenal gila bola. Namun, ia tak lama mengurus Gelora Dewata. Pada 1997 klub yang bermarkas di Bali itu diserahkan ke putra kelimanya, Vigit Waluyo.
ADVERTISEMENT
Pada 2001, Vigit lantas membawa Gelora Dewata ke Sidoarjo. Seiring kepindahan kandangan dari Bali ke Sidoarjo, nama Gelora Dewata pun ikut berubah menjadi Gelora Putra Delta.
Pada 2003, status kepemilikan Gelora Putra Delta berpindah kepada pemerintah Kabupaten Sidoarjo. Nama klub pun sempat berubah menjadi Delta Putra Sidoarjo atau Deltras. Perubahan nama terakhir terjadi pada 2011 ketika pemerintah Kabupaten Sidoarjo mengubah menjadi Delta Raya Sidoarjo (Deltras).
Meski sudah tak aktif di dunia si kulit bulat, jejak sepak bola Haji Mislan bukan berarti hilang setelah tak lagi memiliki Deltras. Tercatat, ia juga pernah mendirikan klkub internal Persebaya, Putra Gelora, dan pernah menjadi manajer Persebaya. Tak cuma itu, ada kisah yang paling diingat ketika Haji Mislan “menyelamatkan” Arema.
ADVERTISEMENT
Haji Mislan merupakan “ayah angkat” Arema. Ia pernah menduduki kursi Ketua Umum Yayasan Arema pada 1985 /86. Certia bermula pada musim 1994 ketika Haji Mislan tengah semringah lewat pencapaian apik Gelora Dewata.
Sebaliknya, Arema saat itu terseok-seok dan dalam keadaan krisis finansial. Ia tergugah untuk membantu Arema. Hanya saja, ia tak bisa terlibat lebih dalam membantu Singo Edan lantaran sudah memiliki Gelora Dewata. Peraturan yang berlaku saat itu tidak boleh memiliki lebih dari satu klub.
Pengusaha kelahiran Kebumen itu tentu sadar akan aturan tersebut. Haji Mislan kemudian menjadi penyandang dana 'Singo Edan' untuk satu musim kompetisi.
Kegilaan terhadap sepak bola membuat Haji Mislan tanpa pamrih menggelontorkan uang untuk Arema. Musim berikutnya, kala Arema kesulitan mencari penyandang dana pengganti, Haji Mislan siap sedia untuk kembali menjadi ayah angkat.
ADVERTISEMENT
Meski Haji Mislan tutup usia pada 2015, jasanya di dunia sepak bola Indonesia tak pernah dilupakan. Kegilaannya akan sepak bola ditularkan kepada anak-anaknya.
Putri sulung almarhum, Kartini, sering diajak sang ayah ketika sedang mengurus Gelora Dewata. Putri keempat Haji Mislan, Iriawati, bahkan sempat menjadi dokter tim Arema. Sementara, anak kelima Haji Mislan, Vigit Waluyo, menularkan semangat aktif di sepak bola.
Vigit bukan orang baru di sepak bola Indonesia. Berawal dari tugas menangani Deltras yang dibebankan sang ayah pada 1997, Vigit kemudian tercatat aktif di beberapa klub Tanah Air.
Skema pengaturan skor (match fixing) di sepak bola Indonesia. (Foto: Sabryna Putri Muviola/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Skema pengaturan skor (match fixing) di sepak bola Indonesia. (Foto: Sabryna Putri Muviola/kumparan)
Ia pernah menjadi manajer Persewangi Banyuwangi, PSIR Rembang, dan Persikubar Kutai Barat. Nama klub yang disebut terakhir merupakan cikal bakal Persebaya dengan pengelola PT Mitra Muda Inti Berlian (MMIB).
ADVERTISEMENT
Klub tersebut kini menjadi Bhayangkara FC. Vigit berandil dalam lahirnya Persebaya versi PT MMIB atau membuat Persebaya menjadi dua. Tak cuma itu, ia juga berjasa dalam memasok pemain ke Persebaya (PT MMIB).
Nama Vigit saat ini menjadi bahan perbincangan panas. Pengelola PS Mojokerto Putra itu diduga sebagai dalang pengaturan skor yang terjadi di sepak bola Indonesia.
Kemunculan nama Vigit bermula ketika Bambang Suryo, Manajer Persekam Metro FC, mengungkap kasus pengaturan skor di Liga 2. Kala itu, publik sepak bola Tanah Air dikejutkan partai “tak masuk akal” Aceh United versus PS Mojokerto Putra. Eksekusi penalti salah satu pemain PS Mojokerto Putra melenceng jauh dan terkesan disengaja.
Saat itu, skor 3-2 milik Aceh United. PS Mojokerto Putra hanya membutuhkan hasil seri untuk lolos ke empat besar Liga 2. Hadiah penalti itu pun gagal dieksekusi Krisna Adi Darma. Aceh United akhirnya lolos ke empat besar Liga 2.
ADVERTISEMENT
Vigit kemudian disebut-sebut sebagai sutradara pengaturan skor di partai tersebut. Tak cuma itu, namanya lalu dikaitkan sebagai dalang lawas dalam pengaturan skor di sepak bola Indonesia.
Kasus tersebut tentu mencoreng semangat cinta sepak bola almarhum ayahnya. Vigit salah mengartikan pengabdiannya di sepak bola Indonesia.
Tak sedikit yang menjadi korban dari skandal pengaturan skor tersebut. Krisna Adi Darma saja mendapat hukum seumur hidup tak boleh berkecimpung di sepak bola Indonesia dari Komisi Disiplin PSSI.
Eks pemain Persebaya dan Timnas Indonesia, Mursyid Effendi, buka suara perihal skandal tersebut. Baginya, hal itu melukai banyak hati pelaku sepak bola.
“Intinya, banyak yang terluka, baik itu pelaku sepak bola maupun pecinta sepak bola atau suporter di Indonesia. Sebagai pelaku, saya masih hidup di sepak bola, saya mencari makan di sepak bola. Kasus pengaturan skor tentu melahirkan banyak korban. Pemain tak bisa lagi mencari nafkah dari sepak bola," ujar Mursyid.
ADVERTISEMENT
"Kita semua sama-sama tahu soal sepak bola Indonesia. Banyak hal-hal ganjil. Semoga dengan kehadiran Satuan Tugas (Satgas) Antimafia Bola ini menjadi awal yang baik untuk sepak bola Indonesia ke depan. Saya mendukung sepak bola Indonesia lebih baik tanpa mafia. Pasalnya, banyak orang yang mencari makan dari sepak bola,” tutur pria yang musim lalu menjadi pelatih Persiga Trenggalek itu.
Vigit kini tengah mendekam di Lapas 1A Delta, Sidoarjo, karena tersangkut kasus korupsi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Sidoarjo sebesar Rp 3 miliar. Ia menyerahkan diri pada Jumat (28/12/2018) setelah menjadi buronan. Kasus tersebut sudah divonis Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi pada Juli 2018. Sejak saat itu ia masuk dalam daftar pencarian orang (DPO).
ADVERTISEMENT
Vigit memang bukan pejabat PDAM. Ia dilaporkan karena berupaya meminjam dana Rp 3 miliar kepada PDAM Sidoarjo pada 2010 lalu untuk mendanai Deltras. Ia pun sempat dijatuhi hukuman 20 tahun pernjara di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Surabaya pada 11 November 2010.
Jaksa Wahyu Dwi Prasetyo mendakwa Vigit melanggar pasal ayat 1 Undang-undang 31/1999 sebagaimana diperbarui Undang-undang 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal korupsi ini dikenakan terkait upaya Vigit pinjam dana Rp3 miliar pada PDAM Sidoarjo pada 2010 lalu.
Menurut kronologi, Vigit mengajukan peminjaman uang ke PDAM Sidoarjo pada 12 Agustus 2010. Surat permohonan tersebut mengetahui Ketua DPRD Sidoarjo, Daud Budi Sutrisno. Dalam surat pinjamannya, Vigit berjanji mengembalikan pinjaman pada akhir Nopember 2010 atau setelah pencairan dana APBD 2010.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, permohonan itu diproses oleh Djayadi, yang kala itu masih menjabat Direktur Utama PDAM Sidoarjo. Padahal, diketahui PDAM bukan lembaga pembiayaan atau perbankan, melainkan perusahaan daerah di bidang penyediaan air minum yang sehat. Karena itu, pencairan dana baru akan terlaksana melalui persetujuan Bupati Sidoarjo.
Meskipun tanpa persetujuan Bupati Sidoarjo, Djayadi tetap mencairkan bantuan tersebut setelah melakukan rapat dengan jajaran direksi PDAM Sidoarjo pada 13 Agustus 2010. Hasilnya, PDAM Sidoarjo memberikan dana talangan kepada Deltras sebesar Rp 3 miliar dengan bunga enam persen persen per tahun.
Pelanggaran prosedur tersebut membuat Vigit dan Djayadi melanggar Pasal 12 ayat 1 Perda Sidoarjo nomor 11 tahun 1987 tentang perubahan Perda 5 tahun 1987 tentang PDAM Kabupaten Sidoarjo yang berbunyi “direksi memerlukan persetujuan kepala darah untuk untuk meminjam uang atas nama perusahaan daerah dan mengadakan perjanjian utang”.
ADVERTISEMENT
Vigit dan Djayadi juga dijerat dugaan tindak pidana penipuan dan/atau penggelapan dan/atau tindak pidana suap dan/atau tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 KUHP dan/atau Pasal 372 KUHP dan/atau UU No 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap dan/atau Pasal 3, 4, 5, UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang tindak pidana pencucian uang. Barang buktinya pun sudah lengkap seperti uang tunai sebesar Rp 3 miliar yang diuangkan dari bilyet giro Bank Bukopin No. 22466663.
Hanya saja, kasus itu kemudian berlarut-larut hingga akhirnya menyeret Djayadi, mantan Direktur Utama PDAM pada 2016. Djayadi sendiri akhirnya dieksekusi Kejaksaan Negeri Sidoarjo pada awal 2017. Ia menjalani hukuman penjara selama 1 tahun 6 bulan.
ADVERTISEMENT
Sementara, Vigit baru menyerahkan diri pada akhir Desember lalu. Ia tak cuma diperiksa perihal tindak pidana korupsi, tapi juga soal keterlibatan pengaturan skor sepak bola Indonesia. Satgas Antimafia Bola juga tengah memburu Vigit untuk mendalami kasus pengaturan skor tersebut.
Terkini, Satgas Antimafia Bola tegah membidik Vigit sebagai tersangka pengaturan skor. Vigit diduga menyetorkan uang sejumlah Rp 115 juta kepada mantan anggota Komisi Disiplin PSSI, Dwi Irianto alias Mbah Putih, guna memuluskan PS Mojokerto Putra promosi dari Liga 3 2017 ke Liga 2.
Kini, akankah jalan panjang Vigit Waluyo di dunia si kulit bulat Tanah Air berakhir dengan menyandang gelar "Sang Pengatur Skor"? Menarik dinantikan.