Mengenang 'Anthem' Liga Champions yang Tersohor Itu

23 Mei 2018 18:21 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sebuah laga Liga Champions. (Foto: Wikipedia Italia)
zoom-in-whitePerbesar
Sebuah laga Liga Champions. (Foto: Wikipedia Italia)
ADVERTISEMENT
Cahaya lampu dan papan iklan biru tua yang disisipi bintang putih di sudut membuat stadion tampak megah. Tak lama, 11 pemain kedua tim keluar dari lorong stadion untuk berdiri di pinggir lapangan. Dengan sang wasit dan ofisial pertandingan berjalan terlebih dahulu dengan membawa star ball.
ADVERTISEMENT
Tengok tengah lapangan, ada sekumpulan orang yang mengibarkan kain bulat dengan pola bintang. Dan di tribune, para suporter memainkan koreo apik sebagai wujud dukungan terhadap timnya.
Lalu, sebuah lagu menggema seantero stadion. Sebuah lagu klasik yang sukses membuat kulit pemain, pelatih, dan suporter meremang. Hanya karena ada banyak orang yang tak memahami liriknya, bukan berarti ia tak bisa dikhidmati.
Tak sedikit pula yang ikut berteriak 'The Champions' saat lagu memasuki pengujung. Lewat lagu ini, orang-orang tahu bahwa mimpi bisa melompat ke dunia nyata.
Mereka yang berlaga di lapangan hijau bahkan mengaku, lagu ini kerap memberikan sekelebat pengalaman sublim. Lionel Messi, misalnya. "Ketika kamu di lapangan dan kamu mendengar anthem itu, kamu tahu kamu akan menjalani partai yang spesial," ujar La Pulga kepada UEFA. Atau Thiago Silva, "Ketika kamu mendengar anthem Liga Champions saat sudah di lapangan, tentu saja itu akan membuat siapa pun merinding."
ADVERTISEMENT
"Ajaib, sungguh ajaib. Ketika kamu mendengar anthem itu, kamu jadi bersemangat dengan masa depan," itu yang dikatakan oleh Zinedine Zidane. Dan berkat anthem itu pula, Liga Champions tetap dipandang sebagai kompetisi sepak bola paling berkelas di Eropa.
Anthem Liga Champions diciptakan pada 1992 bersamaan dengan rebranding European Cup menjadi Liga Champions. Tragedi sepak bola, entah itu perkelahian suporter di jalan hingga di dalam stadion, yang terjadi di era 80-an adalah sebab dilakukannya rebranding. UEFA menginginkan Liga Champions menawarkan nuansa baru dalam sepak bola: kompetisi yang lebih berkelas dan berbudaya.
Namun, lagu klasik bukanlah ide utama anthem Liga Champions. Craig Thompson, eks Managing Director TEAM, agen pemasaran yang mengurus proses rebranding Liga Champions, mengatakan bahwa UEFA sendiri sempat berpikir untuk menggunakan salah satu lagu Queen.
ADVERTISEMENT
“Dari awal kami tahu kami perlu musik. Lalu, semua orang menyarankan sebaiknya kami memakai lagu ‘We Are the Champions’ Queen saja. Ujung-ujungnya, kami memutuskan bahwa genre klasik adalah yang paling pas,” ujar Thompson.
Yang ditugaskan untuk menciptakan anthem ini adalah Tony Britten. Britten sendiri memang punya reputasi yang bagus dalam urusan bermusik. Terlalu banyak musik yang ia ciptakan untuk film, acara televisi, hingga jingle iklan.
Sebagai langkah awal, Britten mengirimkan berbagai sampel lagu klasik kepada TEAM. Kemudian, TEAM mengatakan bahwa lagu-lagu klasik dengan paduan suara yang mereka inginkan. Langkah berikutnya, Britten mengubek-ubek lagu lama yang bisa ia modifikasi.
Kemudian, Britten bertemu dengan satu lagu yang menarik hatinya: 'Zadok de Priest' yang diciptakan Handel pada 1727. Dari sanalah, Britten bisa membuat nada-nada magis seperti lagu Liga Champions yang kita kenal saat ini.
ADVERTISEMENT
Lantas, bagaimana dengan lirik? Untuk lirik sendiri, Britten menyesuaikan dengan bahasa resmi UEFA: Bahasa Inggris, Prancis, dan Jerman. Liriknya sendiri mendeskripsikan Liga Champions yang akan mempertemukan tim terbaik di Eropa. Meski begitu, Britten ingin lagu ini berakhir dengan klimaks yang mengena. Maka, karena Bahasa Inggris adalah bahasa paling universal, dipilihlah kata dalam Bahasa Inggris.
Saat itu benak Britten dipenuhi dengan sejumlah pilihan sebagai kata penutupnya. 'The finest', 'the most exciting', 'the most significant' adalah beberapa di antaranya. Namun, pilihan jatuh kepada 'The Champions'. Sebuah pilihan yang pada akhirnya disyukuri Britten. “Setelah dipikir-pikir, jelek juga kalau pakai kata selain ‘The Champions’,” ujar Britten.
Setelah proses itu, Britten hanya tinggal merekamnya. Lokasi yang ia pilih adalah Angel Studio yang berada di London. Sementara, orkestra yang ia pilih adalah Royal Philharmonic dan Academy of St. Martin in the Fields.
ADVERTISEMENT
Proses kreatif yang berjalan hanya beberapa bulan ini tentu tak lepas dari kritik. Steve Smith, editor musik Time Out New York, berkata, karya Britten ini betul-betul menjiplak karya Handel. Mengetahui itu, Britten sendiri tak peduli karena ia sama sekali tak berniat menciptakan karya seni saat membuat anthem ini.
Tapi siapa pula yang menyangka bahwa jingle ini pada akhirnya menjadi karya Britten yang paling dikenang?