Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Mengenang Keagungan Real Madrid Era 1950-an
12 September 2017 18:39 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB

ADVERTISEMENT
"Di semifinal, Eintracht Frankfurt mengalahkan Rangers dan kami memandang Eintracht sebagai tim yang hampir pasti menjadi juara. Tetapi, Real Madrid adalah tim yang spesial," tutur Sir Alex Ferguson suatu kali. Di situ, dia sedang menceritakan soal sebuah laga yang disaksikannya ketika muda dulu.
ADVERTISEMENT
18 Mei 1960, Sir Alex yang masih berusia 18 tahun itu, menjadi saksi bagaimana salah satu pertandingan sepak bola paling legendaris tersaji. Di Hampden Park, stadion kebangaan rakyat Glasgow, Real Madrid menghancurkan Eintracht Frankfurt 7-3.
Pada menit ke-18, Richard Kress, kanan luar Eintracht, lebih dulu membobol gawang Real yang dikawal Rogelio Dominguez. Namun, seperti yang dituturkan kiper Eintracht, Egon Loy, gol itu adalah kesalahan terbesar yang dibuat oleh timnya. Pasalnya, Sebelum Erwin Stein membuat gawang Dominguez bobol untuk kedua kalinya pada menit ke-72, Loy sudah harus memungut bola dari gawangnya sebanyak enam kali.
Gol-gol Real itu hanya bersumber dari dua pemain, yakni Alfredo Di Stefano dan Ferenc Puskas. Setelah Stein mencetak gol kedua Eintracht itu, Di Stefano kembali mencetak gol dan membuat gawang Loy koyak tujuh kali. Satu gol lagi dari Stein pada menit ke-75 pada akhirnya tak memiliki arti apa-apa.
ADVERTISEMENT
Hari itu, di Glasgow, Real Madrid merengkuh trofi European Cup kelima mereka secara berturut-turut. Meski sebagai juara bertahan mereka berlaga sebagai unggulan, kemenangan dengan skor sekian sebenarnya agak mengejutkan. Masalahnya, Eintracht sebenarnya bukan tim yang buruk.
Kemenangan atas Rangers yang dibicarakan Sir Alex itu diraih Eintracht dengan agregat 12-4. Tentunya, lumrah jika ada sebagian orang yang kemudian berharap bahwa Eintracht akan mengakhiri dominasi Real di Eropa. Namun, seperti kata Fergie, Real Madrid adalah tim yang spesial.
Untuk melihat sespesial apa Real Madrid kala itu, kita harus menengok ke bangku cadangan mereka. Di sana, bercokollah Didi. Pada tahun 1958, pemain keling ini menjadi salah satu aktor penting di balik keberhasilan Brasil menjuarai Piala Dunia.
ADVERTISEMENT
Didi, di usianya yang sudah 32 tahun, memang sudah menua, tetapi Di Stefano (34 tahun) dan Puskas (33) pun usianya lebih tua dari Didi. Usut punya usut, yang membuat "Pangeran Ethiopia" ini tersingkir dari skuat utama adalah perselisihannya dengan Di Stefano. Real Madrid, tentu saja, memprioritaskan Di Stefano yang sudah bersama mereka sejak 1953.
Di Stefano pun kemudian berperan besar dalam keberhasilan Real dalam menjuarai lima European Cup secara beruntun itu. Namun, meski pria Argentina itu adalah salah satu pesepak bola terhebat sepanjang masa, dia tidak sendirian. Dengan formasi ultra-ofensif 3-2-5, Di Stefano bermain sebagai ujung tombak.

Di belakang Di Stefano, kuartet Ferenc Puskas, Luis Del Sol—yang juga diakui sebagai legenda Juventus—, Canario, dan Francisco "Paco" Gento menjadi penyokong. Di tengah, duo Jose Maria, Vidal dan Zarraga, menjadi poros halang. Sementara, di lini belakang, trio Marquitos, Pachin, dan Jose Santamaria menjadi pelindung kiper Dominguez.
ADVERTISEMENT
Itu adalah skuat inti mereka tahun 1960. Sebelumnya, mereka juga pernah memiliki legenda-legenda besar sepak bola lain seperti Raymond Kopa, Rafael Lesmes, dan tentunya, Miguel Munoz sendiri. Munoz pun kemudian menjadi orang pertama yang menjuarai European Cup serta Liga Champions sebagai pemain dan pelatih.
Lalu, bagaimana bisa mereka mendapatkan uang untuk mendatangkan pemain-pemain macam itu?
Jawabannya adalah karena ketika itu, Real Madrid dijadikan proyek mercusuar oleh rezim fasis Francisco Franco. Dibajaknya Alfredo Di Stefano—yang sebelumnya sudah sempat bermain di pramusim untuk Barcelona—disebut-sebut sebagai bukti campur tangan sang diktator dalam keberhasilan Real Madrid itu.
Ketika itu, keberadaan Franco yang baru akan mampus pada 1975 membuat Spanyol dikucilkan dari dunia internasional. Di situ, Franco melihat sepak bola sebagai sebuah peluang untuk menunjukkan bahwa Spanyol masih ada. Kebetulan, ketika itu tim-tim Eropa lain, terutama tim-tim Britania, menganggap European Cup sebagai sebuah distraksi, alih-alih trofi yang layak untuk diperjuangkan.
ADVERTISEMENT

Sebenarnya keterlibatan Franco ini tidak sepenuhnya bisa dibuktikan dan ada pula kecurigaan bahwa Barcelona juga punya peran dalam melebih-lebihkan cerita. Akan tetapi, Barcelona dan Athletic Bilbao yang merupakan seteru berat Real di Spanyol ketika itu benar-benar dibuat sengsara.
Athletic bahkan dipaksa untuk mengubah nama klubnya menjadi Atletico. Lalu, Franco juga sempat mengancam akan membunuhi pemain Barcelona sebelum El Clasico 1943 hingga akhirnya, El Barca kalah 1-11 di Estadio Chamartin. Di saat yang bersamaan, ketika Real Madrid sedang mendominasi Eropa ini, Franco kerapkali hadir di stadion baru Real, Santiago Bernabeu.
Inilah yang membuat orang tidak percaya kalau tidak ada campur tangan pemerintah. Masalahnya, Raymond Kopa pernah berkata bahwa ketika itu Real Madrid sama sekali tidak punya sponsor dan berhubung tidak ada siaran televisi, uang hak siar pun otomatis tidak ada. "Kami harus pontang-panting bermain di luar negeri untuk bisa mendapat uang," kenang Kopa seperti dilansir situs resmi UEFA.
ADVERTISEMENT
Tetapi, entahlah. Mungkin juga apa yang diceritakan Kopa itu masuk akal juga. Mungkin, "mengamen" di luar negeri itu akhirnya cukup untuk menghidupi Real Madrid yang mewah itu. Kemudian, karena tidak ada televisi, tiket pertandingan selalu ludes terjual dan kala itu, Estadio Santiago Bernabeu bisa menampung sampai 125 ribu penonton.

Terlepas dari semua kontroversinya, Real Madrid 1956-60 yang menjuarai lima European Cup itu memang layak untuk menjadi juara. Setidaknya, begitulah di atas lapangan.
Pasalnya, lawan-lawan yang mereka hadapi kala itu juga merupakan tim-tim legendaris lain yakni Fiorentina, Milan, dan Stade de Reims.
Kiper Reims kala itu, Dominique Colonna, mengatakan bahwa apabila tidak ada Real Madrid, maka timnyalah yang akan menguasai Eropa dan Colonna benar, karena dalam kurun waktu itu, Reims sempat menantang Real dua kali.
ADVERTISEMENT
Sayang, setelah juara tahun 1960 itu, Real Madrid hanya mampu sekali menjuarai European Cup—pada tahun 1966, juga di bawah Munoz—sebelum Predrag Mijatovic memenangkan mereka atas Juventus tahun 1998. Walau begitu, lima trofi European Cup itu sudah cukup untuk membentuk identitas Real Madrid sebagai klub tersukses sepanjang masa di Eropa.